tirto.id - Demonstrasi tidak greget tanpa Toa. Toa jadi harus ada agar doktrinasi atau agitasi sampai ke telinga masyarakat sekitar. Tak hanya dalam berpolitik atau berdakwah saja Toa digunakan. Dalam berdagang, Toa juga dipakai pedagang keliling—dengan meletakkannya di atas kendaraan yang berjalan untuk woro-woro. Jadi, Toa sangatlah penting untuk merebut perhatian publik.
Di sebagian kampung di Indonesia, Toa sudah menjadi kata benda untuk menyebut: alat pengeras suara berbentuk kerucut. Padahal Toa sendiri sebenarnya merupakan salah satu merek asal Jepang. Ia menjadi brand yang akhirnya secara turun-temurun menjadi merek generik untuk sebuah produk. Sama halnya seperti sebutan Odol untuk pasta gigi, Sanyo untuk mesin air.
Baca juga: Semua Pasta Gigi adalah Odol
Toa sendiri merupakan perusahaan yang didirikan oleh Tsunetaro Nakatani, seorang warga negara Jepang kelahiran 10 Agustus 1890. Ia sebenarnya bercita-cita menjadi fotografer, selepas memenuhi wajib militer. Ia terjun ke dunia usaha setelah mewarisi bisnis dari kakak iparnya, yang sebelumnya mengoperasikan bisnis di Senba, Osaka.
Dia memulai bisnisnya dengan bendera Toa Electric Manufacturing Company di Kobe—pada 1 September 1934. Sejak muda dia tertarik pada mikrofon. Tak heran jika mikrofon termasuk produk yang awal-awal dibuat Toa—bersama juga Horn Speakers dan Amplifiers.
Keterlibatan Jepang dalam Perang Dunia II sempat mengganggu bisnis, hingga akhirnya perusahaan mengungsi keluar dari Kobe. Menurut laman Toa, setelah kembali pada 1947, perusahaan mulai mengembangkan The Reflex Trumpet Horn Speakers—pengeras suara berbentuk corong/trompet. Bentuknya mirip dengan Toa-toa yang ada di masjid atau musala.
Toa membuat gebrakanpentinglagi di tahun1954, dengan merilis megafon listrik EM-202, yang diklaim sebagai: Megafon listrik pertama di dunia. Produk ini bahkan diekspor ke Amerika Serikat. Toa terus menyempurnakan produk megafon mereka. Seperti pengeras suara Toa, megafon juga sering dipakai dalam demonstrasi juga.
Toa masuk ke Indonesia melalui seorang pengusaha keturunan Tionghoa asal Bangka, Uripto Widjaja. Uripto adalah pemilik PT Galva yang merakit radio merek Galindra. Radio tersebut sezaman dengan kejayaan radio Tjawang yang diproduksi PT Transistor Radio Manufacturing Co—yang dirintis Gobel pendiri Panasonic Indonesia. Masa-masa Transistor Radio merakit TV dengan bekerja sama dengan National, Galva juga merakit TV dengan bekerja sama dengan Galindra.
Baca Juga: Gobel Panasonic Berawal dari Kesuksesan Radio Tjawang
“Mulaitahun 60an itu juga Galva mulai melirik usaha pemasaran produk perangkat pengeras suara merek Toa. Dari sekadar agen distribusi, tahun 1975 Galva kemudian beralih membangun pabrik sound system dengan menggandeng Toa dan Sumitomo dengan total investasi sekitar satu juta dolar AS,” tulis buku "Usaha Yang Cocok Untuk Anda" (Jacky Ambadar, Miranti Abidin, Yanty Isa: 2008).
Pada tahun 1975, Toa memulai perkongsian dalam PT Toa Galva Industries. Sebelumnya, pada 1973, Toa sudah menata kantor perwakilan di Indonesia. Sebelum perusahaan itu dibangun, Toa menguasai 90 persen pasar Indonesia.
Pabrik di Indonesia adalah permulaan Toa merambah mancanegara. Dua tahun setelah masuk ke Indonesia, Toa mencatatkan sahamnya di Bursa Saham Osaka.
Galva yang lahir sejak 1946 di Jakarta itu, menurut situsweb Galva, belakangan tak hanya memasarkan merek Toa saja, tapi juga: Sony, BenQ, Acer juga Samsung. Sebelum orang-orang Indonesia punya barang-barang elektronik yang dipasarkan Galva, namun pengeras suara Toa lebih dulu mereka dengar.
Baca juga: Kenapa Sanyo Melekat Sebagai Pompa Air?
Toa sendiri kini bukan hanya sekadar berbisnis sound system. Ia juga merambah bisnis security system business, dan juga teknologi jaringan. Toa menyebut mereka sebagai perusahaan yang bisnisnya terfokus pada sound system dan security. Bisnis Toa sendiri pada tahun 2017 ini sedikit mengalami perlambatan. Hingga kuartal III 2017, Toa meraup pendapatan hingga 42,504 juta yen, turun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 45,840 juta yen.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti