Menuju konten utama

Tak Ada Alasan Meremehkan Mobil Cina

Produk Cina sering dipandang sebelah mata karena kualitasnya dianggap rendah, tak terkecuali kendaraan roda empat. Masuknya mobil Wuling ke Indonesia disambut dengan tanda tanya besar.

Tak Ada Alasan Meremehkan Mobil Cina
Mobil SUV Wuling. FOTO/Wuling

tirto.id - Sejak mobil pertama masuk Cina melalui Shanghai 115 tahun silam, populasi mobil di Cina bertumbuh lamban. Pada 1920-an hanya ada 7.000-an mobil yang lalu lalang, itu pun kebanyakan dimiliki oleh orang-orang asing yang menggandrungi mobil-mobil buatan Amerika.

Kini semua sudah berubah. Jalan-jalan di Cina menjadi lapangan parkir bagi 172 juta mobil (2016) yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Jumlahnya memang masih terpaut jauh dengan populasi mobil di Amerika yang mencapai 265 juta unit. Namun, jumlah mobil di Cina ditaksir akan menembus 300 juta unit pada 2020 dengan asumsi tambahan penjualan 25 juta mobil setiap tahun di pasar domestik. Bandingkan dengan populasi mobil di Indonesia yang hanya 11,4 juta unit (BPS 2013).

Perkembangan pesat populasi mobil di Cina tak bisa dipisahkan dari berkembangnya industri otomotif Negeri Tirai Bambu itu. Cina bukanlah “anak kemarin sore” dalam membuat mobil. Sudah 60 tahun lebih Cina memulai membangun industri mobilnya.

Eric Harwit dalam China's Automobile Industry: Policies, Problems, and Prospects menceritakan pabrik First Automotive Work (FAW) mulai dibangun di Changchun pada 1953 sebagai pabrik mobil pertama pemerintah Cina dengan bantuan ahli-ahli dan mesin produksi dari Uni Soviet. Produk yang dihasilkan awalnya sebatas truk-truk karakter Soviet, setelahnya barulah dibuat mobil penumpang.

Setelah meninggalnya Mao Zedong pada 1976, Cina semakin terbuka dengan investasi asing, termasuk VW yang berinvestasi di Cina dengan skema Joint Venture pada 1985. Ini adalah kerjasama yang dianggap sebagai win win solution untuk urusan akses pasar mobil asing dan alih teknologi bagi Cina.

Industri mobil Cina bersemi setelah mereka membangun dasar kebijakan industri otomotif pada 1994, salah satu pilar ekonomi Cina. Kebijakan ini yang menggariskan pengembangan industri mobil besar-besaran, pengembangan industri komponen, dan mendorong kepemilikan mobil pribadi.

Masuknya Cina ke WTO pada 2002 juga mengambil peran bagi kemajuan industri mobil mereka. Pabrikan mobil di Cina muncul dalam dua wajah. Sebagian berkembang dengan wajah mobil perusahaan lokal dan sebagian lagi merek yang dikembangkan melalui mitra prinsipal asing. Pada 2011, sekitar 44 persen pangsa pasar mobil di Cina dipegang oleh perusahaan lokal seperti FAW, Geely, Chery, Hafei, Hongqi, Brilliance Auto, BYD Auto, Dongfeng, BAIC Group, Jianghuai, Great Wall, Roewe, dan lain sebagainya. Perusahaan-perusahaan itu umumnya dimiliki BUMN.

Sisa kue pasar mobil dimakan oleh pemain global seperti Volkswagen, General Motors (GM), Hyundai, Nissan, Toyota, Mitsubishi. Perusahaan global ini juga melakukan joint venture dengan perusahaan lokal Cina, di antaranya SAIC Motor Corporation, salah satu empat besar produsen mobil di Cina. Sejak 2002, SAIC bersama GM dan Wuling Automobile Company membentuk SGMW yang merupakan induk dari Wuling Motors yang berdiri Agustus 2015 di Indonesia.

Wuling memastikan masuk Indonesia dengan investasi $700 juta untuk fasilitas produksi pabrik mobil yang rampung. Tentu dilanjutkan dengan peluncuran produk tahun ini. Namun, nada-nada miring kehadiran Wuling tak bisa dipungkiri, meski mobil ini melekat sebagai mobil paling laris di Cina.

Infografik Mobil Cina

Dari Indonesia Hingga Amerika

“Ya bukan tandingannya.”

Singkat dan padat, mantan Menteri Perindustrian (Menperin) MS Hidayat seakan sedang melihat sebelah mata. Ia merespons peluang mobil Cina melawan dominasi mobil Jepang yang sebentar lagi bertarung untuk kiprah jilid dua mobil Cina di Indonesia setelah era Geely dan Chery yang kandas satu dekade lalu.

Apa yang dikatakan MS Hidayat masih bisa diperdebatkan, karena Cina tentu tak gegabah masuk ke sebuah pasar. Strategi Wuling memang to the point dengan membangun fasilitas produksi dan rencana 50 gerai layanan purna jual di seluruh Indonesia. Penerbitan ini berbeda dengan Geely dan Chery yang memilih strategi jadi pedagang alias tak punya pabrik dan sangat lemah dalam hal purna jual, hingga masalah kualitas.

Citra kualitas rendah dan teknologi buruk dari mobil Cina yang menjadi cibiran selama ini perlahan-lahan mulai pudar. Untuk urusan teknologi, pabrikan mobil Cina sudah menjejali produknya dengan perangkat canggih, misalnya pemilik mobil Geely Boyue yang terkoneksi dengan Apple CarPlay. Perangkat ini bisa memberi panduan suara penunjuk arah lokasi pom bensin terdekat dan berbagai fitur canggih lainnya. Perusahaan mobil Cina juga sudah jadi bidikan investor "kakap" seperti Warren Buffet yang berinvestasi di mobil listrik BYD, juga Samsung.

Persoalan kualitas mobil Cina pun terus membaik setidaknya mengacu dari studi-studi yang dilakukan J.D. Power. Lembaga survei ini rutin memantau kualitas produk berdasarkan pengalaman pemilik mobil saat menerima mobil yang baru keluar dari diler sejak bulan kedua hingga keenam, mencakup persoalan kecacatan, malfungsi, kerusakan interior, eksterior, hingga mesin, juga komponen-komponen lain-lain yang diukur per 100 kendaraan.

Dalam studi terbaru J.D. Power 2016 China Initial Quality Study, rata-rata masalah pada mobil Cina membaik dari tahun sebelumnya. Pada 2016, hanya ada 102 masalah dari 100 kendaraan. Tahun lalu masih ada 105 masalah untuk setiap 100 kendaraan. Kualitas ini jelas jauh lebih baik dibandingkan 2009, yang rata-rata masih ada 178 masalah dalam 100 kendaraan. Apalagi dibandingkan angka di tahun 2008 yang masih memiliki 207 masalah per 100 kendaraan.

Membaiknya kualitas mobil Cina di atas kertas dan ambisi pemerintah Cina untuk masa depan industri mobil negaranya tentu menjadi alarm keras bagi pabrikan mobil dunia. Wall Street Journal dalam tulisan yang berjudul “China Looks to Export Auto Overcapacity on Slow-Growth World” awal Mei 2017 lalu sudah mengingatkan “bahaya” serbuan mobil Cina.

”Waspadalah para pembuat mobil di dunia: Cina sedang bersiap membanjiri dunia dengan ekspor mobilnya”. Cina memang menargetkan produksi 30 juta mobil per tahun dalam tiga tahun ke depan dan 35 juta unit pada 2025. Jumlah sebesar itu tentu tak mungkin diserap seluruhnya untuk pasar Cina.

Baru-baru ini, pabrikan mobil Cina seperti Guangzhou Automobile Group (CAG) juga berambisi mencicipi pasar mobil AS yang cukup besar tapi terkenal ketat untuk urusan kualitas. CAG mencoba peruntungan baru setelah pabrikan Cina lain seperti Zhejiang Geely Holding Group dan BYD Auto yang sempat gagal di AS. CAG satu-satunya peserta dari Cina dalam ajang North American International Auto Show in Detroit Januari 2017 lalu.

Produk-produk ini akan memulai debutnya di AS dengan membuka showroom perdana, awal tahun depan. Uniknya, mobil yang akan dipasarkan di Amerika dengan seri SUV Trumpchi GS4—tapi pihak CAG menegaskan nama ini tak ada kaitannya dengan Presiden Donald Trump.

Michael J. Dunne, penulis buku American Wheels, Chinese Roads: The Story of General Motors in China mengakui mobil keluaran Cina mampu dengan cepat mengejar ketertinggalan persoalan kualitas dengan pabrikan mobil Barat, tapi mereka harus berjuang memenuhi syarat ketat soal emisi dan standard keamanan di AS.

“Mobil Cina harus meraih kepercayaan konsumen Amerika, seperti mobil Korea dan Jepang sebelumnya. Ini butuh 10 tahun,” kata Dunne dikutip dari Bloomberg.

Bagaimana dengan di Indonesia?

Mobil Cina Wuling tentunya akan menghadapi tantangan yang berbeda. Namun, 10 tahun adalah waktu yang terlalu singkat bagi merek ini untuk bisa membuktikan diri menjadi kuda hitam di tengah belantara mobil-mobil Jepang yang juga mengalami hal sama. Pengalaman panjang di industri otomotif dan perbaikan kualitas tentu jadi modal besar bagi mobil Cina seperti Wuling, jika ia hendak berebut pasar dengan merek-merek mobil Jepang di Indonesia.

Baca juga artikel terkait MOBIL atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Otomotif
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Maulida Sri Handayani