Menuju konten utama

Tak Ada Alasan Lagi Jokowi Tolak Bentuk TGPF Independen Kasus Novel

Tim pencari fakta kasus Novel Baswedan yang dibentuk Polri dinilai gagal. Jokowi pun didesak membentuk TGPF independen di luar kepolisian.

Tak Ada Alasan Lagi Jokowi Tolak Bentuk TGPF Independen Kasus Novel
Penyidik senior KPK Novel Baswedan memberikan keterangan pers setelah diperiksa sebagai saksi di gedung KPK, Jakarta, Kamis (20/6/2019). KPK memfasilitasi penyidik Polda Metro Jaya didampingi oleh tim asistensi ahli atau tim gabungan yang sudah dibentuk oleh Kapolri untuk memeriksa Novel Baswedan sebagai saksi terkait kasus penyiraman air keras terhadap dirinya. ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/aww.

tirto.id - Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (WP KPK) meminta Presiden Joko Widodo segera mengambil alih tanggung jawab pengusutan kasus penyerangan Novel Baswedan. Sebab, Tim Pencari Fakta (TPF) bentukan Polri dinilai tak mampu mengungkap pelaku penyiraman air keras kepada penyidik senior KPK itu.

“WP KPK menyatakan sikap, jika tim ini [bentukan Polri] tidak berhasil mengungkap pelakunya, agar Presiden mengambil alih pengungkapan kasus Novel Baswedan,” kata Ketua WP KPK, Yudi Purnomo Harahap dalam rilis tertulis, Senin (8/7/2019).

Yudi menilai, Jokowi mesti mengambil alih kasus tersebut dengan membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang bersifat independen serta bertanggung jawab langsung kepada presiden.

Hal itu menyusul berakhirnya masa kerja tim gabungan yang dibentuk Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian yang tertuang dalam surat Nomor: Sgas/3/I/Huk.6.6./2019 bertanggal 8 Januari 2019. Tim itu beranggotakan 65 orang.

52 di antaranya anggota Polri, 6 orang dari perwakilan KPK, dan 7 pakar dari luar kepolisian. Surat tugas berlaku selama enam bulan sejak 8 Januari sampai 7 Juli 2019. Artinya, masa kerja tim gabungan itu sudah berakhir.

Sayangnya, peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah menilai, tim pencari fakta yang dibentuk Kapolri untuk menyelesaikan kasus penyerangan terhadap penyidik KPK Novel Baswedan gagal menjalankan tugasnya.

“Sebab hingga batas waktu yang telah ditentukan yakni enam bulan setelah resmi didirikan, tim tidak dapat mengungkap satu pun aktor yang bertanggung jawab atas cacatnya mata kiri Novel," ujar Wana.

Sejak pertama kali dibentuk, kata Wana, masyarakat sudah pesimistis terhadap kinerja tim lantaran komposisi anggota didominasi dari Polri. Ketika kasus ini mencuat diduga ada keterlibatan polisi atas serangan terhadap Novel sehingga dikhawatirkan rawan konflik kepentingan.

Penilaian ICW ini ditepis oleh Hendardi, salah satu anggota tim bentukan Tito itu. Ia mengatakan timnya hanya akan menyampaikan hasil kerjanya ke Kapolri.

“Kami mesti sampaikan laporan kepada Kapolri yang memberikan mandat kepada tim, bukan kepada Indonesia Corruption Watch (ICW) atau siapa pun," kata Hendardi lewat keterangan tertulis, Senin (8/7/2019).

Hendardi berdalih, kewenangan untuk menindaklanjuti dan menyampaikan laporan itu ke publik ada di tangan Kapolri. "Terserah Kapolri bagaimana mekanismenya untuk menyampaikan pada publik dan menindaklanjuti temuan dan rekomendasi kami," ujar Hendardi.

Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono mengatakan hal senada. “Tim nanti akan buat laporan ke pimpinan Polri," ujar dia ketika dihubungi reporter Tirto, Senin (8/7/2019).

Ketika ditanya apakah akan membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus Novel yang melibatkan koalisi masyarakat sipil, Argo menjawab singkat. “Cek aturannya siapa yang berhak bentuk TGPF,” kata dia.

Perlu Pembentukan TGPF Independen

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid berpendapat tim gabungan yang dibentuk Polri itu seharusnya mengungkapkan hasil pemeriksaan kepada publik. Sebab, selama ini masyarakat sudah menunggu agar kasus penyiraman air keras yang menimpa Novel diusut tuntas.

"Kami belum mendengar laporan hasil kerja tim gabungan, kami berkewajiban mendorong Polri untuk mengusut kasus ini hingga tuntas. Tim harus mengumumkan kepada publik, meski dalam mandatnya mereka memberi laporan ke Kapolri,” kata Usman, di Bareskrim Mabes Polri, Senin kemarin.

Koalisi Masyarakat Sipil, kata Usman, akan terus mengawal investigasi yang dilakukan Polri dan tuntutan mereka sama, yaitu: bentuk tim independen di luar Polri dalam perkara Novel.

Menurut dia, TGPF independen yang melibatkan pemerintah dan Koalisi Masyarakat Sipil pernah juga dibentuk dalam kasus Munir dan kerusuhan Mei 1998.

“Tapi sebaiknya ada check and balances, keseimbangan dan pengawasan untuk saling mengingatkan bahwa tugas utama kasus Novel ada di kepolisian. Koalisi Masyarakat Sipil lebih berperan kepada kontrol sosial agar mereka menjalankan tugasnya secara profesional dan terpercaya," jelas Usman.

Hal senada diungkapkan Deputi Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Putri Kanesia. Ia mengatakan, peran masyarakat sipil dalam TGPF itu terbagi dua, yakni secara langsung atau tidak langsung.

“Jelas (ada keterlibatan). Ada yang masuk sebagai bagian dari anggota tim pencari fakta. Mereka dapat mengisi kekosongan yang tidak ada dalam pemeriksaan kepolisian," kata Putri.

Peran lainnya yaitu mengawasi dan memantau kerja TGPF yang ada masa kerjanya dan punya target. Putri berpendapat, tim gabungan kali ini jumlah anggotanya didominasi polisi, maka ia pesimistis ada konflik kepentingan.

"Apakah Masyarakat Sipil yang ada di dalam tim itu punya pengaruh untuk menentukan proses hukum? Apakah ada ruang fleksibel bagi mereka? Sebab itu pernah diberitahukan ke publik siapa mengerjakan apa," kata Putri.

Sehingga, kata Putri, harus ada transparansi dalam pengusutan perkara itu, terlebih tim gabungan itu telah melewati tenggat waktu kerja.

Baca juga artikel terkait KASUS NOVEL BASWEDAN atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz