Menuju konten utama

Tagihan Listrik PLN Rp68 Juta, antara Penertiban dan Penganiayaan

Seorang warga harus membayar tagihan PLN puluhan juta. Dia bilang ini perampokan, sementara PLN menyebutnya penertiban.

Tagihan Listrik PLN Rp68 Juta, antara Penertiban dan Penganiayaan
Petugas memeriksa meteran listrik di Rumah Susun Benhil, Jakarta, Selasa (26/11/2019). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/nz

tirto.id - Pemilik akun Twitter @melanieppuchino bernama Hani dan suaminya kaget ketika tagihan listrik Oktober 2019 mereka mencapai Rp5 juta. Biasanya mereka hanya membayar Rp500 ribu-Rp700 ribu per bulan.

Pasangan ini mencoba berpikir positif. Mereka menduga itu adalah tagihan dari PLN, perusahaan pelat merah penyedia listrik bagi masyarakat satu-satunya di negara ini, selama satu tahun. Namun pada September-Oktober, ketika petugas datang, tagihan listrik bulan November pun ternyata Rp5 juta.

Mereka lantas ke kantor PLN Cabang Kreo Tangerang hendak menanyakan hal tersebut. Singkatnya, mereka ternyata memang harus membayar listrik jutaan. Tagihannya kurang sekitar Rp20 juta. Bila emoh menyicil atau melunasi langsung, listrik akan diputus.

Pada 13 Januari 2021, petugas berseragam PLN mengecek meteran listrik dengan alasan “angka meteran tak presisi.” Maka meteran pun harus diganti. Merasa tak pernah mengotak-atik meteran, ia membolehkan petugas bekerja.

Dua hari kemudian Hani diminta datang ke kantor PLN untuk menyaksikan uji laboratorium. Ketika di kantor, petugas bilang kalau segel meteran rusak dan ada kabel jumper di dalamnya. Hani terkejut karena ia tak pernah tahu meteran asli itu seperti apa. Ia juga merasa pemilik rumah sebelumnya tak pernah ‘jahil’ mengakali listrik (dia baru menetap selama dua tahun).

“Dan kami kemudian disodori tagihan lagi sebesar Rp68 juta lebih. Padahal saat uji lab, erornya hanya 10-15%. Lantas dari mana angka ini? Sudah gitu, pilihannya cuma bayar/putus... Kami serasa kena petir siang bolong,” cuit dia (dengan penyuntingan), Jumat (15/1/2021) pekan lalu.

Tagihan yang harus ia lunasi tepatnya Rp68.051.521. Tentu Hani terkejut, apalagi dituduh mencurangi pemakaian listrik. Ia tentu tak rela merogoh kocek puluhan juta karena perbuatan yang tak pernah dilakoni.

Jumat itu, pihak PLN ingin Hani membayar 30 persen atau sekira Rp20 juta. “Pilihannya bayar hari ini atau listrik langsung diputus.”

Pada 16 Januari, PLN Kreo datang lagi untuk memaparkan duduk perkara sekaligus meminta maaf. Tapi Hani merasa nama baiknya sudah tercemar dan rugi waktu.

Bagi dia pekerja PLN tak beretika. Petugas, misalnya, tak menyampaikan bahwa ada opsi pengajuan keberatan selain melunasi atau diputus sama sekali.

Ia juga merasa dituduh, dipaksa, dan dirampok. “Mereka yang lalai tapi diminta ganti rugi,” cuitnya. Pada cuitan yang lain dia mengatakan kejadian ini “sungguh menyusahkan dan merasa sangat dianiaya negara.”

Senior Manager General Affairs PLN Unit Induk Distribusi Jakarta Raya Emir Muhaimin mengatakan duduk perkara kasus dimulai ketika mereka melakukan Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL). P2TL merupakan rangkaian kegiatan perencanaan, pemeriksaan, tindakan, dan penyelesaian yang dilakukan oleh PLN dengan tujuan utama yaitu menghindari bahaya listrik bagi masyarakat.

Berdasarkan pemeriksaan petugas di lokasi pelanggan, ditemukan kejanggalan pada angka meter dan segel kWh meter yang perlu diuji lebih lanjut. “Dari hasil pengujian terhadap kWh meter di Laboratorium Tera PLN pada Jumat (15/1/2020), ditemukan kawat jumper pada kWh meter sehingga memengaruhi pengukuran pemakaian tenaga listrik,” kata Emir ketika dihubungi reporter Tirto, Selasa (19/1/2020).

Temuan itu dikategorikan sebagai pelanggaran P2TL dan dikenakan sanksi berupa Tagihan Susulan (TS) sebesar Rp68.051.521. Dasar penetapan TS yakni Keputusan Direksi PLN tentang P2TL yang disahkan oleh Keputusan Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Nomor 304 K/20/DJL.3/2016.

Ada empat golongan pelanggaran pemakaian tenaga listrik, yaitu:

1. Pelanggaran Golongan I (P-I), merupakan pelanggaran yang memengaruhi batas daya;

2. Pelanggaran Golongan II (P-II), yaitu pelanggaran yang memengaruhi pengukuran energi;

3. Pelanggaran Golongan III (P-III), pelanggaran yang memengaruhi batas daya dan memengaruhi pengukuran energi;

4. Pelanggaran Golongan IV (P-IV), pelanggaran yang dilakukan oleh Bukan Pelanggan.

Ia menduga kecurangan ini mungkin memang tidak dilakukan Hani dan suami, tapi pemilik rumah terdahulu. “Permasalahan kelistrikan yang kerap terjadi pada saat transaksi jual beli rumah adalah tunggakan pembayaran tagihan bulanan, instalasi listrik yang tidak memiliki Standar Laik Operasi (SLO), dan kondisi kWh meter yang tidak normal.”

Oleh karena itu menurutnya sebelum ada jual-beli atau sewa rumah, sebaiknya pihak terkait mengecek listrik juga. Jadi jika ada masalah dapat dirampungkan langsung.

Meski demikian, Emir mengatakan pasutri itu bersedia membayar sanksi tagihan susulan yang dituangkan dalam Surat Pengakuan Hutang (SPH) dengan pembayaran uang muka sebesar 30 persen, sisanya diangsur.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan “kalau benar ada jumper, memang tidak boleh. Itu pelanggaran.” Tapi menurutnya PLN sebaiknya tidak bergegas mendenda, apalagi langsung mengancam pemutusan. “PLN mestinya memberikan ruang pada konsumen untuk bernegosiasi," ujar dia ketika dihubungi reporter Tirto, Selasa.

Baca juga artikel terkait TAGIHAN LISTRIK atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino