tirto.id - Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi mengatakan bahwa pemerintahannya tidak takut dengan "pengawasan internasional" atas penanganan krisis Rohingya yang kian memanas.
BBC memberitakan, ini adalah pernyataan pertama Suu Kyi atas konflik kekerasan di negara bagian Rakhine utara yang menyebabkan lebih dari 400.000 Muslim Rohingya menyeberang ke Bangladesh. Atas pernyataan tersebut, Suu Kyi telah mendapat kritikan.
Ia mengatakan tidak ada "operasi pembersihan" selama dua minggu.
Dalam pidato berbahasa Inggris di hadapan parlemen Myanmar, Aung San Suu Kyi menyatakan keprihatinannya terhadap penderitaan "semua orang" dalam konflik tersebut, dan pemerintahannya "berkomitmen memberikan solusi berkelanjutan untuk semua masyarakat di negara ini."
Beberapa jam setelah pidatonya, Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa meminta akses penuh ke wilayah tersebut sehingga dapat menyelidiki situasinya secara langsung.
Pemerintah Myanmar tidak menggunakan istilah Rohingya, namun menyebutnya sebagai kelompok Muslim Bengali dan Suu Kyi tidak melakukannya dalam pidatonya. Dengan menyampaikan secara tegas, dia mengatakan bahwa pemerintahannya "mengecam semua pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan yang tidak sah".
Adapun beberapa poin penting dalam pidato Suu Kyi, diantaranya:
- Dia tidak mengalamatkan tuduhan perlawanan terhadap militer, dan mengatakan bahwa sudah tidak ada "bentrokan bersenjata atau operasi pembersihan" sejak 5 September.
- Dia mengatakan sebagian besar umat Islam telah memutuskan untuk tinggal di Rakhine dan itu mengindikasikan bahwa situasinya mungkin tidak terlalu parah.
- Dia mengatakan bahwa dia ingin berbicara dengan dua pihak umat Muslim yaitu mereka yang telah melarikan diri dan mereka yang tetap tinggal, untuk mencari tahu apa yang menjadi akar krisis.
- Dia mengatakan bahwa pemerintah telah melakukan upaya dalam beberapa tahun terakhir untuk memperbaiki kondisi kehidupan bagi kaum Muslim yang tinggal di Rakhine seperti menyediakan layanan kesehatan, pendidikan dan infrastruktur.
- Dia juga mengatakan bahwa semua pengungsi di Bangladesh diperbolehkan kembali ke Myanmar setelah melalui proses verifikasi kewarganegaraan.
Wartawan BBC Jonathan Head, yang berada di Bangladesh, membantah klaim bahwa tidak ada operasi pembersihan sejak 5 September. Head menyatakan bahwa telah melihat desa-desa dibakar beberapa hari setelah tanggal tersebut.
Amnesty International mengatakan bahwa Aung San Suu Kyi "mengubur kepalanya di pasir" dengan mengabaikan pelanggaran militer.
"Kadang-kadang, pidatonya lebih banyak menyatakan ketidakbenaran dan menyalahkan korban," kata Direktur Kelompok Hak Asasi Manusia untuk Asia Tenggara dan Pasifik, James Gomes, dalam sebuah pernyataan.
Penulis: Yandri Daniel Damaledo
Editor: Yandri Daniel Damaledo