tirto.id - Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil menyebut ada sejumlah kriteria yang dipenuhi untuk mengisi posisi penjabat kepala daerah yang akan dimulai pada Mei 2022 mendatang.
"Selain kualifikasi normatif itu, tentu perlu orang yang punya kapasitas, integritas, dan memahami karakter serta situasi daerah yang akan dipimpin," kata Fadli saat dihubungi Tirto pada Rabu (20/4/2022).
Oleh karenanya, Fadli berharap para penjabat tidak hanya memenuhi unsur normatif dalam Undang-Undang Pilkada, yaitu Aparatur Sipil Negara dengan jabatan tinggi madya bagi gubernur dan bupati atau wali kota bagi jabatan tinggi pratama.
"Sebab tugasnya tidak mudah. Menjalankan roda pemerintahan, pelayanan publik dan stabilitas politik di tahun pemilu, plus mempersiapkan Pilkada 2024," ujarnya.
Menurut Fadli para pejabat yang duduk di jabatan tinggi madya dan pratama atau setara dengan eselon 1 dan 2 sudah mumpuni untuk menggantikan sejumlah tugas gubernur dan wali kota dalam periode sementara.
"Menurut saya cukup ya, karena itu jabatan tertinggi bagi ASN. Dan salah satu tugas penjabat kepala daerah ini nanti kan memimpin ASN dalam menjalankan roda pemerintahan dan memberikan pelayanan publik," terangnya.
Dilansir dari data Kementerian Dalam Negeri setidaknya di tahun 2022 ada 101 kepala daerah yang akan habis masa jabatannya lalu disusul di tahun 2023 ada 171 kepala daerah yang juga akan habis periode jabatannya.
Adapun jumlah ketersediaan pejabat ASN yang memenuhi kriteria penjabat kepala daerah terdiri atas jabatan pimpinan tinggi madya sebanyak 622 terbagi atas 588 bertugas di pemerintahan pusat dan 34 di daerah.
Pemegang jabatan pimpinan tinggi pratama sebanyak 4.626 yang terbagi atas 3.123 di pemerintahan pusat dan 1.503 di daerah.
Melihat angka tersebut, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha meminta kepada pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri untuk melakukan transparansi dalam proses pemilihan penjabat.
"Semua lembaga juga harus ikut mengawasi, dari BPK, KPK hingga masyarakat. Karena tanpa ada partisipasi publik, maka akan memperbesar ruang gelap yang bisa menjadi celah korupsi," terangnya.
Egi menyampaikan, kemungkinan terburuk apabila tidak ada transparansi atau partisipasi publik akan adanya titipan dari kelompok tertentu yang membahayakan demokrasi.
"Tentu ini patut diawasi karena penjabat memiliki kekuasaan dalam kurun waktu 2 tahun hingga Pemilu serentak dilaksanakan pada 2024 mendatang," tegasnya.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Bayu Septianto