tirto.id - “Baru mualaf ya?” tanya penerjemah.
“Baru mau di sini,” jawab Novita Luciana yang disambut dengan tepuk tangan hadirin di Auditorium Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung.
Sambil membenarkan dasinya, Zakir Naik tersenyum pada acara “Zakir Naik Visit Indonesia 2017”. Kunjungan di UPI, Bandung, 2 April 2017 saat Luciana menjadi salah satu pesertanya ini merupakan lokasi kunjungan pertama Naik dari rencana lima lokasi kunjungan di Indonesia.
Naik pun menjelaskan bahwa kedudukan seorang mualaf yang menjalankan ketentuannya bisa jadi lebih tinggi kedudukannya daripada seorang muslim yang menjadi muslim karena keluarga atau orang tuanya beragama Islam.
Kemudian Naik mengajukan beberapa pertanyaan, “Apakah Anda menerima Islam?”
“Yes,” jawab Luciana.
“Anda percaya keesaan Tuhan?”
“Yes.”
“Anda percaya Nabi Muhammad adalah utusan terakhir?”
“Yes.”
“Apakah ada yang memaksa Anda?”
“No.”
“Apakah ini keinginan Anda?”
“Yes.”
Naik kemudian melantunkan dua kalimat syahadat yang ditirukan Luciana. Dengan bahasa Arab kemudian dilanjutkan dengan bahasa Inggris. Tangis Luciana sempat menghentikannya sejenak saat mengucapkan syahadat. Naik berkomentar, “Ini adalah air mata kebahagiaan.” Tak berselang lama setelah proses pembacaan syahadat selesai, Luciana segera dikenakan jilbab oleh salah satu panitia.
Luciana adalah satu dari empat orang yang pada hari itu mengucapkan syahadat. Beberapa di antara mereka mengakui bahwa Naik cukup berpengaruh terhadap keputusan mereka jadi mualaf. Potongan-potongan video youtube ceramah Naik di beberapa negara yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia diakui memudahkan mereka untuk memahami apa itu Islam.
Selain apa yang terjadi di UPI, Bandung, awal Januari lalu di kantor PBNU, Kramat Raya, Jakarta, dua tamu warga negara Jepang juga mengikrarkan diri menjadi mualaf. Tatsunori Hoshi dan Ohnuma Yoka. Nama kedua ini bahkan diketahui merupakan putri dari wali kota Numazu, Jepang.
Keduanya memang sedang bekerja di salah satu perusahaan di Indonesia sehingga punya banyak kesempatan melihat Islam dari dekat. Dari interaksi dengan Islam di Indonesia, keduanya kemudian mengaku tertarik dengan Islam dan ingin menjadi bagian di dalamnya.
Seperti yang diberitakan dari NU Online, Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siradj membimbing dua warga negara Jepang ini dengan santai dan tanpa prosesi yang muluk. “Arigatou sasamasu…” ucap Said Aqil menyapa dua tamu istimewa ini. Bahkan di akhir ucapan syahadat Yoka, Said Aqil memberikan jempol sambil berucap, “Oke.” Suasana yang terjadi cenderung cair dan menyenangkan.
Seperti halnya pertanyaan Naik untuk siapapun yang akan mengucapkan syahadat, Said Aqil juga memastikan terlebih dahulu bahwa para mualaf ini masuk Islam bukan karena paksaan siapapun. Posisi keduanya, baik Said Aqil maupun Zakir Naik, bukan sebagai sosok yang mengubah keyakinan orang lain dari yang tadinya non-muslim menjadi muslim, namun hanya menjadi saksi dan pembimbing.
Bahkan bisa jadi mereka sudah Islam sebelum datang mengunjungi kantor PBNU atau datang ke gedung Auditorium UPI. Kehadiran mereka dan ucapan syahadat di hadapan saksi, sedikit maupun banyak, sebenarnya menjadi bagian dari proses perubahan identitas sosial, bukan bagian dari perubahan keyakinan dalam hati. Proses perubahan iman itu sendiri niscaya berliku dan berkelok-kelok. Bukan tidak mungkin memakan waktu yang panjang.
Akan tetapi, sekalipun mempercayai keberadaan Tuhan yang Esa dan keberadaan Muhammad sebagai utusan Tuhan yang terakhir adalah domain privat (habluminallah, hubungan manusia dengan Tuhan), namun ikrar seseorang menjadi Islam juga memiliki domain publik (habluminannas, hubungan manusia dengan manusia). Sebab dalam praktik ajarannya, seorang mualaf kelak akan banyak bersinggungan dengan muslim yang lain (seperti sebagai penerima zakat dan sebagainya). Inilah kenapa diperlukan adanya saksi dalam proses tersebut.
Proses menjadi mualaf memang tidak sulit, cukup membaca dua kalimat syahadat dengan penuh keyakinan. Bahkan sekalipun tidak ada seorang pun yang tahu, seseorang sudah menjadi muslim pada ranah privatnya. Paling tidak Imam Nawawi dalam Raudhah At-Tholibin menyatakan, “Imam Syafi’I berkata apabila seseorang mengucapkan dua kalimat syahadat, maka ia menjadi muslim.”
Keyakinan dalam hati yang pernah membuat Nabi Muhammad marah kepada cucu angkatnya, Usamah bin Zaid, karena membunuh seorang mualaf pada situasi peperangan. Pledoi Usamah, seperti yang diriwayatkan Imam Bukhari, saat itu adalah karena dirinya tidak yakin bahwa orang yang ia bunuh mengucapkan syahadat dengan sepenuh hati. Usamah yakin orang yang dibunuhnya hanya cari selamat dengan mengucapkan syahadat.
Nabi kemudian bersabda, “Kenapa engkau tidak membelah dadanya, sehingga engkau tahu apa hatinya mengucapkan La Illaha Illa Allah secara ikhlas atau karena alasan-alasan lain?” (baca: Sebelum Menolak Menyalati Jenazah, Belahkah Dadanya).
Tidak ada yang salah dengan menampilkan secara terbuka proses perpindahan keyakinan seseorang. Terutama jika keyakinan itu berubah dari keyakinan yang minoritas ke keyakinan yang mayoritas di daerah tersebut. Hal tersebut barangkali baru akan jadi masalah jika terjadi sebaliknya.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Ahmad Khadafi