tirto.id - Situs petisi online Change.org bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menggelar survei tentang persepsi warganet terhadap isu Papua. Survei melibatkan 27.298 responden dan digelar selama tiga pekan di bulan November 2017. Dalam hasil survei terungkap orang asli Papua menilai permasalahan terbesar di Papua saat ini adalah kasus pelanggaran hak asasi manusia.
Survei tersebut melibatkan 95 persen responden orang luar Papua, 3 persen penduduk Papua non-asli, dan 2 persen merupakan orang Papua asli.
Direktur Komunikasi Change.org Arief Azis menyatakan orang asli Papua saat ini membutuhkan penyelesaian pelanggaran HAM, dan bukan pembangunan dan perbaikan infrastruktur.
"Hanya 5,51 persen orang Papua asli yang menganggap infrastruktur dan transportasi jadi masalah mereka," kata Arief di Gedung LIPI, Jenderal Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Kamis (14/12/2017).
Angka ini berbanding lurus dengan hal penting yang menurut mereka harus diketahui orang luar Papua. 53 persen dari orang asli Papua menyatakan HAM, hak hidup, dan hak mengelola sebagai tiga hal penting yang harus diketahui orang luar Papua.
"Dalam survei kami, orang asli Papua juga ingin meyakinkan bahwa Papua itu cinta damai, bukan hutan saja, dan tidak primitif," kata Arief.
Berbeda dengan orang asli Papua, 14,33 persen orang luar Papua menyatakan kualitas pendidikan yang rendah sebagai masalah utama masyarakat Papua. Sementara, 12,84 persen penduduk Papua non-asli menyatakan masalah terbesar di Papua adalah penggunaan Miras dan Narkoba.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyatakan hasil survei tersebut mengonfirmasi bahwa penyelesaian HAM merupakan agenda nomor satu yang harus dilakukan pemerintah di Papua.
Menurut Usman, pemerintah tidak bisa dan keliru bila mempersepsikan kasus Wasior dan Wamena sebagai satu-satunya kasus pelanggaran HAM untuk hak sipil dan publik. Ia menilai, persoalan Wasior adalah tragedi kekerasan yang memiliki dimensi gender, sosial, politik, dan memiliki motif dasar ekonomi yang luas.
"Jadi kalau pemerintah ingin menerapkan pembangunan ekonomi dan infrastruktur hati-hati. Timbul sengketa lahan, pelanggaran hak adat, kerusakan hutan. Ini kurang disadari oleh pemerintah," kata Usman.
Usman menerangkan kebijakan ekonomi pemerintah yang mengutamakan pembangunan infrastruktur, terutama di Papua, bisa memproduksi pelanggaran HAM baru. Oleh karena itu, Usman berharap pemerintah sadar bahwa isu pelanggaran HAM di Papua sudah menjadi konsentrasi dunia internasional, sehingga mau tidak mau pemerintah mesti membuka secara luas akses untuk media meliput ke Papua agar terjadi akselerasi penyelesaian pelanggaran HAM berikut langkah preventifnya.
"Untuk di Papua adalah sub national authoritarian politic. Indonesia ini sudah demokrasi tapi Papua masih terjebak dalam otoritarianisme," kata Usman.
Menanggapi hal ini, Deputi Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani menyatakan pemerintahan Jokowi telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Papua dan Papua Barat.
Menurut Jaleswari, Presiden Jokowi melalui inpers tersebut menginstruksikan kepada lembaga-lembaga terkait pembangunan kesejahteraan di Papua untuk melakukan pendekatan yang holistik dengan memperhatikan struktur masyarakat dan adat di Papua.
"Misalnya bicara pendidikan, presiden melihat pengembangan pendidikan di Papua harus melihat selain infrastruktur juga pengembangan sumber daya manusianya," kata Jaleswari.
Jaleswari mengklaim kekerasan HAM di Papua pada era Jokowi tidak ada yang didesain negara seperti halnya di masa lalu. Tak hanya itu, Jaleswari bilang, pemerintah juga sudah tidak membatasi pers dalam dan luar negeri untuk masuk ke Papua. "Yang sering dianggap sebagai hambatan itu adalah mekanisme di lapangannya," kata Jaleswari.
=====
Ralat judul: Dalam judul sebelumnya ditulis "Survei Change.org: Pelanggaran HAM Persoalan Terbesar di Papua." Ini agak meleset dari hasil survei. Dalam survei, hanya orang asli Papua yang menilai pelanggaran HAM jadi masalah terbesar bagi mereka, di antara hal lain, yakni 14,02% dari 546 orang (sekitar 77 orang), dibandingkan orang luar Papua yang menilai kualitas pendidikan rendah (14,33% dari 25.933 orang) dan orang Papua non-asli yang menganggap masalah miras dan narkoba (12,84% dari 819 orang) jadi masalah terbesar di Tanah Papua.
Redaksi mohon maaf atas kekeliruan ini. Terima kasih.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Mufti Sholih