tirto.id - Meski sedang berkonfrontasi mengenai rencana kebijakan restriktif terhadap sawit atau Renewable Energy Directive (RED) II Delegated Act, neraca perdagangan Indonesia dengan negara-negara Uni Eropa masih surplus.
Namun, nilai surplus perdagangan RI-Uni Eropa pada kuartal I 2019 itu terpangkas cukup besar.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca ekspor-impor Indonesia ke Uni Eropa pada kuartal I/2019 masih surplus 587 juta dolar AS. Ekspor Indonesia tercatat sebesar 3,6 miliar dolar AS, sementara nilai impor dari negara-negara Uni Eropa sebesar 3,02 miliar dolar AS.
Sementara pada periode yang sama tahun 2018, surplusnya mencapai 785,1 miliar dolar AS dengan rincian: ekspor sebesar 4,302 miliar dolar AS dan impor 3,516 miliar dolar AS.
"Secara umum, neraca perdagangan kita masih positif," kata Kepala BPS, Suharyanto dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta Pusat, Senin (15/4/2019).
Neraca dagang RI dengan beberapa negara Uni Eropa, memang mengalami kontraksi setelah ada polemik kebijakan RED II.
Dengan Jerman, misalnya, perdagangan Indonesia mengalami defisit yang lebih dalam dari 66,9 juta dolar AS pada Februari menjadi 98,6 juta dolar AS pada Maret lalu.
Sementara sepanjang Januari hingga Maret 2019, transaksi perdagangan Indonesia dengan Jerman mengalami defisit sebesar 289 juta dolar AS. Adapun pada periode yang sama tahun lalu, defisitnya mencapai 362,9 miliar dolar AS.
"Kita tahu, terjadi karena negative campaign CPO [Crude Palm Oil]. Saya yakin, pemerintah sudah [melakukan] antisipasi dengan membuat berbagai kebijakan," ujar Suhariyanto.
Uni Eropa berencana memberlakukan RED II mulai 12 Mei 2019. Beberapa waktu lalu, pemerintah Indonesia dan beberapa negara produsen minyak kelapa sawit terbesar dunia, seperti Malaysia dan Kolombia, melakukan Joint Mission ke Belgia guna menekan Uni Eropa agar tak diberlakukan RED II. Pertemuan antara Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) itu berlangsung pada 8-9 April 2019.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Addi M Idhom