tirto.id - Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai, surat penunjukan Aziz Syamsuddin sebagai Ketua DPR RI yang ditulis Setya Novanto dari balik jeruji besi dinilai tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) dan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2014 tentang Tata Tertib.
Peneliti Formappi Lucius Karus mengatakan, permintaan Setya Novanto tersebut tidak bisa lagi dimaknai sebagai keputusan Golkar sebagai institusi. Alasannya, secara kelembagaan, Golkar sudah diserahkan kepada Idrus Marham sebagai Plt Ketua Umum.
“Permintaan Setnov nampaknya mewakili dirinya sendiri. Bukan mewakili Golkar, karena posisinya di Golkar untuk sementara waktu telah dia serahkan kepada Plt Idrus Marham,” kata Lucius kepada Tirto, Senin (11/12/2017).
Jika merujuk pada Pasal 87 ayat (1) UU MD3 dan Pasal 34 Tata Tertib DPR, Setya Novanto sebagai pimpinan DPR dapat berhenti dari jabatannya dengan tiga cara, yaitu: meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan. Sementara penggantinya harus berasal dari partai yang sama.
“Dalam hal salah seorang pimpinan DPR berhenti dari jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penggantinya berasal dari partai politik yang sama,” demikian bunyi Pasal 87 ayat (4) UU MD3.
Namun demikian, kata Lucius, tindakan Setya Novanto menunjuk Aziz Syamsuddin sebagai Ketua DPR menggantikan dirinya tidak sesuai dengan ketentuan yang ada, baik yang diatur dalam UU MD3 maupun Tata Tertib DPR.
“Ini urusannya institusi, bukan mainan pribadi apalagi kalau mainan itu penuh kepentingan,” kata Lucius.
Semestinya, kata Lucius, jika merujuk pada proses di internal Partai Golkar, maka Idrus Marham yang menjabat sebagai Plt Ketua Umum DPP Golkar yang berhak menjadi wakil partai dalam membuat keputusan, termasuk mengajukan siapa pengganti Setya Novanto di DPR.
Pernyataan Lucius tersebut merujuk pada Peraturan DPR RI Nomor 1 tahun 2014 tentang Tata Tertib. “Pimpinan partai politik melalui Fraksinya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyampaikan nama pengganti ketua dan/atau wakil ketua DPR kepada pimpinan DPR,” demikian bunyi Pasal 46 ayat (3) Tata Terbib DPR.
Ubedillah menilai, Novanto seharusnya tidak bisa mengintervensi keputusan Golkar, apalagi soal pengganti dirinya sebagai Ketua DPR. Menurut Ubedillah, semua kendali partai ada di tangan Idrus Marham dan harus dibahas melalui forum resmi partai, buka perseorangan.
“Jadi pengambilan keputusan di internal partai harus melalui forum resmi, biasanya rapat pleno. Juga karena di Golkar sudah ada Plt Ketua Umum, Setya Novanto otomatis tak memiliki kewenangan lagi, jadi tidak bisa seenaknya,” kata Ubedillah seperti dikutip Antara, Senin (11/12/2017).
Apalagi di internal partai beringin pun tidak satu suara soal pengganti Setya Novanto sebagai Ketua DPR. Politikus senior Golkar Yorrys Raweyai bahkan menyebut penunjukan Aziz Syamsuddin mengindikasikan adanya upaya Novanto untuk mempertahankan kekuasaannya di DPR.
Yorrys sendiri menyatakan keberatan karena menganggap penunjukan tersebut sarat dengan kepentingan tertentu guna melindungi Novanto dari kasus korupsi e-KTP yang saat ini sedang menimpanya. “Ini bahaya sekali dan tidak boleh terjadi,” kata Yorrys, di Jakarta, Minggu (10/12/2017).
Menurut Yorrys, langkah Novanto tersebut berpotensi mempermalukan DPR RI dan Partai Golkar sendiri. Ia pun berpendapat perlu adanya mekanisme keorganisasian yang harus diperhatikan mengingat Novanto saat ini tengah mendekam di penjara.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz