Menuju konten utama

Sumpah Dokter yang Terus Relevan Sepanjang Zaman

Di Hari Dokter Nasional ini, mari kita bahas sumpah dokter. Ini adalah sumpah profesi tertua di dunia dan menjadi “kompas moral” dalam bertindak.

Sumpah Dokter yang Terus Relevan Sepanjang Zaman
Header Mozaik Sumpah Dokter. tirto.id/Fuad

tirto.id - Setelah berkuliah sarjana, menempuh pendidikan profesi, dan mengikuti uji kompetensi--semuanya ditempuh dalam waktu lebih kurang 6-7 tahun--seseorang telah memulai babak baru dalam kehidupannya: menjadi dokter. Ia sudah dapat menjalani profesi tersebut secara resmi, meskipun belum bisa langsung praktik mandiri. Ia harus mengikuti tugas khusus dari pemerintah.

Dan awal dari babak baru itu tidak lain adalah membaca sumpah dokter. Sumpah menjadi pengingat agar mereka bekerja secara profesional dengan memegang teguh moral dan etika guna meningkatkan kesejahteraan manusia.

Ketika seseorang bersumpah dokter, berarti ia telah mengucapkan sumpah profesi tertua di dunia. Jejak sumpah ini, dikenal juga sebagai Sumpah Hippokrates (Hippocratic Oath), dapat dilacak hingga puluhan ribu tahun silam, tepatnya sejak masa Yunani Kuno--abad ke-2 sampai ke-5 sebelum masehi.

Mengutip Raphael Hulkower dalam “The History of the Hippocratic Oath” (2010), naskah asli sumpah dokter hanya berjudul Oath, 'Sumpah', tanpa embel-embel “Dokter” atau “Hippokrates”. Teks berbahasa Latin itu memuat 12 poin penting, mulai dari dukungan terhadap guru, pengobatan berdasarkan pengetahuan, hingga menjunjung tinggi kerahasiaan pasien. Semuanya mengandung moralitas dan penghormatan yang tinggi.

Diketahui kalau konteks naskah itu berkaitan dengan dunia medis, dan harus diucap seseorang sebelum menjalankan profesi dokter. Ini dibuktikan oleh kalimat pertama dan terakhirnya:

“Saya bersumpah demi Apollo sang tabib, dan Aesculapius sang ahli bedah, juga Hygeia dan Panacea, serta memanggil semua dewa dan dewi untuk menjadi saksi, bahwa saya akan mematuhi dan menjaga sumpah yang ditanggung ini, dengan sekuat tenaga dan penilaian saya.”

[…]

“Jika saya dengan setia menjalankan sumpah ini, semoga saya berkembang dan makmur dalam keberuntungan dan profesi saya, serta hidup dalam perkiraan keturunan. Jika ada pelanggaran semoga sebaliknya menjadi nasib saya!”

Meski isinya cukup jelas, mengutip Steven H. Milles dalam The Hippocratic Oath and the Ethics of Medicine (2005), tidak diketahui pasti apakah para dokter saat itu bekerja berdasarkan sumpah ini atau tidak. Yang pasti, ini berkaitan dengan pandangan medis dan etis saat itu yang masih sarat akan nuansa magis. Kala itu masyarakat Yunani Kuno memandang kesakitan tidak lain adalah akibat dari kutukan atau hal gaib.

Sumpah ini, menurut pandangan ahli, mendorong para dokter untuk menjadi agen perubahan yang tugasnya tidak lain meruntuhkan hal-hal yang tidak dapat diterima akal itu.

Di antara banyak hal yang telah diketahui, satu yang masih sulit dijawab sejarawan adalah asal usul sumpah. Alasannya karena ketiadaan catatan mengenai tahun terbit, pencipta, termasuk juga awal mula pemberlakuan sumpah. Mereka hanya bisa melakukan analisis dan interpretasi melalui isinya saja. Inilah hasilnya:

Naskah ini diperkirakan berasal dari tahun 400 SM (abad ke-4 SM). Perkiraan ini didasarkan oleh catatan medis tertua dari para dokter Yunani sekaligus dugaan keberadaan dokter termasyhur dari Yunani, yakni Hippokrates, yang hidup sezaman atau sekitar tahun 460-370 SM.

Hippokrates kini dikenal sebagai bapak kedokteran modern karena berhasil menyusun pedoman medis sekaligus mengubah paradigma masyarakat Yunani Kuno yang selalu didasarkan pada takhayul. Ia memaparkan pandangannya lewat karya yang disebut Corpus Hippocraticum.

Meski memiliki nama besar, tidak ada benang merah antara keberadaan naskah dengan kehidupan Hippokrates. Artinya, sumpah itu tidak ditulis oleh filsuf cum dokter itu. Meski demikian, para ahli di era modern sepakat untuk memberikan atribusi kepadanya karena sumbangsih pada dunia kedokteran. Dari sinilah terjadi penyematan kata “Hippokrates” setelah “Sumpah”--yang bertahan hingga saat ini.

Selalu Jadi Pedoman

Sejarawan kesehatan Henry E. Sigerist dalam Civilization and Disease (1943) memberikan konsep menarik hal ihwal kesehatan. Katanya, peradaban manusia membentuk sekaligus dibentuk oleh penyakit. Keberadaan manusia yang membentuk peradaban mendorong lahirnya penyakit. Maka manusia berupaya “mengalahkan” penyakit itu agar hidupnya lebih “tenang”.

Berbagai upaya pun dilakukan, seperti melakukan riset, membuat obat, melakukan vaksinasi, dan sebagainya. Pada titik inilah para penyembuh berperan penting.

Tentu saja ini tetap berlaku dalam konteks modern. Peran dokter, seiring perkembangan pengetahuan, semakin tak tergantikan.

Masih mengutip Milles, penyebaran pengetahuan dan tindakan medis yang dilakukan harus sejalan dengan etika dan moral. Seorang dokter harus mewujudkan prinsip-prinsip kebaikan, rasa terima kasih, kerahasiaan, dan kerendahan hati terhadap pasien, rekan sejawat, dan gurunya.

Inilah yang menjadi sebab sumpah dokter selalu menjadi “kompas moral” dalam bertindak di setiap zaman.

Sebagaimana dipaparkan Saurabh K. Gupta dalam “Hippocrates and Hippocratic Oath” (2015), pengucapan sumpah dokter di era modern, yang mengikuti naskah Yunani, dipakai pertama kali pada 1508 di Jerman. Kemudian, pada abad ke-18, sumpah tersebut diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Ludwig Edelstein dan semakin sering diucapkan di sekolah kedokteran di Eropa dan Amerika Serikat.

Yang membedakan semuanya adalah isinya yang disesuaikan dengan konteks zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan. Saat Abad Pertengahan, misalnya, ucapan sumpah kental akan nuansa-nuansa Kristen.

Meski adiluhung, bukan berarti sumpah ini tak pernah disalahartikan. Kasus yang menggemparkan terjadi pada warsa 1940-an. Kala itu dokter-dokter Nazi Jerman yang tergabung dalam Schutzstaffel melakukan eksperimen biologis kepada manusia yang sama sekali tidak manusiawi. Para dokter ini bertindak dengan mengacu pada salah satu poin sumpah, yang, tentu saja, sekadar menjadi pembenaran. Mereka berpegang pada pernyataan bahwa “setiap dokter melakukan tindakan sesuai dengan kemampuan dan penilaian terbaik.”

Karena kasus ini, sumpah dokter direvisi oleh World Medical Association pada 1948. Sumpah baru ini kemudian menjadi standar di seluruh dunia. Penambahan pentingnya adalah ihwal bioetik dan moralitas sains: bahwa setiap dokter tidak akan menggunakan pengetahuan medisnya untuk melanggar hak asasi manusia dan kebebasan sipil, sekalipun di bawah ancaman.

Di Indonesia, sumpah dokter juga diterapkan di seluruh sekolah kedokteran sejak tahun 1960 sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1960. Seiring berjalannya waktu, sumpah ini pun terus berubah dan disesuaikan dengan situasi zaman oleh organisasi profesi.

Infografik Mozaik Sumpah Dokter

Infografik Mozaik Sumpah Dokter. tirto.id/Fuad

Di era kiwari, kerap muncul pertanyaan: apakah sumpah dokter masih tetap relevan?

Dalam artikel “Hippocratic oath: Losing relevance in today's world?” (Indian Journal of Psychiatry, 2019), Vishal Indla dan M. S. Radhika menyebut relevansi Sumpah Hippokrates di masa sekarang terganggu oleh empat hal: munculnya asuransi kesehatan baik negara atau swasta, malapraktik, perusahaan farmasi, dan teknologi.

Khusus yang terakhir, kasusnya banyak ditemukan sejak beberapa tahun belakangan di Indonesia, dan cukup menjadi bahan perbincangan publik. Tak jarang ada oknum dokter yang kelewat batas, seperti mengungkap rahasia pasien atau nyinyir dengan rekam medis di media sosial. Ini jelas bertolak belakang dengan etik yang harus dipegang teguh.

Namun menyalahkan teknologi tidak menuntaskan masalah. Maka benarlah ungkapan di atas: sesuaikan dengan situasi zaman.

“Persoalan sumpah harus membutuhkan tinjauan dan evaluasi ulang yang sesuai dengan perubahan masyarakat. Namun, seorang dokter harus paham kalau sumpah tidak melindungi. Artinya harus juga memperhatikan hukum yang berlaku agar tidak berseberangan,” tulis Indla dan Radhika.

Baca juga artikel terkait DOKTER atau tulisan lainnya dari Muhammad Fakhriansyah

tirto.id - Politik
Kontributor: Muhammad Fakhriansyah
Penulis: Muhammad Fakhriansyah
Editor: Rio Apinino