tirto.id - Gubernur Daerah Instimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan HB X mengeluarkan instruksi kepada bupati dan wali kota tentang pencegahan konflik sosial. Sultan memerintahkan agar menyisir aturan yang diskriminatif dan intoleran di masyarakat.
"[Instruksi Gubernur] ada tiga hal pokok [yakni] pembinaan, pengawas, mengambil langkah kalau terjadi [kasus intolerasi]. Artinya di situ mengandung arti untuk menyisir regulasi yang berlaku di masyarakat yang dikeluarkan secara tidak sah," kata Sekretaris Daerah Provinsi Yogyakarta Gatot Saptadi saat menggelar jumpa pers di Kantor Kepatihan Yogyakarta, Jumat (5/4/2019).
Dengan dikeluarkannya Instruksi Gubernur DIY Nomor 1/INSTR/2019 itu, kata Gatot, maka bupati/wali kota diperintahkan untuk segera mengambil langkah sesuai dengan kewenangannya.
Hal ini perlu dilakukan setelah berkaca pada kasus terbaru yang terjadi pada Slamet Jumiarto, seorang pendatang yang ditolak oleh warga Padukuhan Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret Bantul, karena ia adalah non-muslim.
Penolakan itu didasari adanya aturan sejak 2015 yang berlaku di padukuhan tersebut. Padahal, menurut Gatot, aturan tersebut tidak sah dan tidak berlaku karena aturan terendah yang berlaku adalah peraturan desa.
"Ya sangat salah sekali kali kalau dusun atau kelompok masyarakat mengeluarkan keputusan. Secara legal aspeknya enggak punya legalitas, secara legal hukumnya tidak ada," katanya.
Oleh karena itu, kata dia, seluruh aturan yang mengandung unsur diskriminatif dan intoleran harus disisir. Menurut dia, aturan tertulis dan tidak tertulis tetap harus sepengetahuan pemerintah desa.
"Jadi tidak bisa lepas begitu saja sekelompok tertentu mengatur warganya. Ini tidak diperkenankan. Apalagi bersifat SARA, ini tidak bisa ditolerir. Sebagi warga negara punya hak dan kewajiban yang sama," kata dia.
Ia menegaskan, apabila ada lagi aturan yang bersifat diskriminatif dan intoleran, maka pejabat yang berwenang dapat diberikan sanksi.
"Sanksinya bisa personal atau sanksi secara penyelenggara pemerintahan, atau jabatan. Di dalam regulasi sangat bisa sekali [untuk diberikan sanksi]," kata dia.
Menurut dia, pemerintah di tingkat desa juga dapat diberikan sanksi secara administratif. Misalnya sanksi penundaan pemberian fasilitas kepada desa oleh pemerintah kabupaten atau provinsi.
Di sisi lain, Pemprov DIY sangat menyayangkan aturan yang sempat berlaku di Padukuhan Karet selama kurang lebih empat tahun sebelum akhirnya dicabut setelah kasus penolakan Slamet Jumiarto mencuat.
"Kami menyayangkan kejadian seperti itu tentunya ini sudah yang ke beberapa kali, sebagai warga Yogya tentunya kita prihatin. Yogya yang dikenal toleran dan sebagainya dengan nila setitik langsung Yogya [dicap] intoleran dan sebagainya," katanya.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Alexander Haryanto