Menuju konten utama

Ketua MUI DIY Buka Suara Soal Warga Dukuh Karet Tolak Non-Muslim

Slamet Jumiarto (42) ditolak saat ingin menyewa sebuah rumah di RT 08, Pedukuhan Karet, Kecamatan Pleret, Bantul, Yogyakarta.

Ketua MUI DIY Buka Suara Soal Warga Dukuh Karet Tolak Non-Muslim
Slamet Jumiarto pendatang baru yang ditolak warga RT 08, Padukuhan Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Yogyakarta karena merupakan non muslim, Selasa (2/4/2019). tirto.id/Irwan A. Syambudi

tirto.id - Keluarga Slamet Jumiarto (42) ditolak saat tinggal di Pedukuhan Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Bantul, Yogyakarta karena merupakan non-muslim.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Yogyakarta, Thoha Abdurrhaman menyatakan, pelarangan itu tidak dapat dibenarkan, pasalnya pada zaman dahulu Nabi Muhammad SAW juga tinggal bersama non-muslim.

"Kalau memang orang non-muslim boleh saja tinggal di situ, asal tidak merusak dan tidak menggangu warga lain boleh," kata Thoha yang juga ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) DIY, saat dihubungi Tirto, Selasa (2/4/2019).

Ia menekankan, umat muslim tidak boleh melakukan penolakan dan harus hidup rukun bersama umat yang beragama lain, pasalnya hal ini telah dicontohkan pada sat zaman Nabi Muhammad SAW.

"Zaman nabi saja di Madinah ada orang non-Islam tinggal bersama nabi," ungkapnya.

Thoha meminta warga merevisi aturan tersebut dan tidak melakukan penolakan terhadap orang yang memiliki agama, selain Islam.

"Harus diubah [aturannya asal] yang non-muslim tidak merusak dan tidak mengkampanyekan non-muslim," katanya.

Penolakan itu dialami keluarga Slamet Jumiarto (42) yang menyewa sebuah rumah di RT 08, Pedukuhan Karet. Yang menjadi dasar penolakan itu adalah karena adanya aturan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kelompok Kegiatan (Pokgiat) tentang persyaratan pendatang baru.

Dalam aturan tersebut disebutkan bahwa pendatang baru harus Islam. Akan tetapi Slamet dan keluarganya beragama Katolik dan Kristen, sehingga ia ditolak.

"Saya menemui Pak RT untuk izin memberikan fotokopi KTP, KK dan surat nikah. Karena kami ini begitu dilihat kami non-muslim Katolik dan Kristen maka kami ditolak sama Pak RT 08," kata Slamet saat ditemui di rumah kontrakannya, Selasa (2/4/2019).

Pendatang Baru Harus Beragama Islam

Adanya penolakan ini dibenarkan oleh Kepala Dusun Karet, Iswanto saat ditemui di depan Kantor Desa Pleret, Selasa (2/4/2019). Ia membenarkan adanya peraturan yang juga ia tandatangani itu.

Dalam aturan atau Surat Keputusan Nomor 03/POKGIAT/Krt/Plt/X/2015 memutuskan syarat-syarat bagi pendatang baru di Pedukuhan Pleret di antaranya adalah bersifat non materi, bersifat material, dan sanksi.

Yang bersifat non-materi adalah:

1. Pendatang baru harus Islam. Islam yang dimaksud adalah sama dengan yang dianut oleh penduduk Pedukuhan Karet yang sudah ada.

2. Tidak mengurangi rasa hormat, penduduk Pedukuhan Karet keberatan untuk menerima pendatang baru yang menganut aliran kepercayaan atau agama non-Islam seperti yang dimaksud ayat 1.

3. Bersedia mengikuti ketentuan adat dan budaya lingkungan seperti yang sudah tertata seperti: Peringatan keagamaan, gotong royong, keamanan lingkungan, kebersihan lingkungan dan lain-lain.

4. Bagi yang pendatang baru, baik yang menetap atau kontrak/indekos wajib menunjukkan identitas kependudukan asli dan menyerahkan fotokopiannya.

Yang bersifat meteri bagi pendatang baru yang menetap dikenakan biaya administrasi sebesar Rp1.000.000 dengan ketentuan Rp600.000 masuk kas kampung melalui kelompok kegiatan Pedukuhan Karet dan Rp400.000 masuk kas RT setempat.

Sedang surat keputusan itu juga mengatur tentang saksi yakni teguran secara lisan, teguran tertulis, dan diusir atau dikeluarkan dari wilayah Pedukuhan Karet.

"Aturan dibuat sejak 2015 [...] Warga sudah sepakat sejak 2015. [...] Itu sudah ada aturan tertulis berlaku untuk semuanya. " kata Iswanto.

Baca juga artikel terkait INTOLERANSI atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Alexander Haryanto