Menuju konten utama

Sulitnya Mematahkan Monopoli Perusahaan Teknologi AS

Kementerian Kehakiman yakin Google melakukan praktek monopoli di AS karena telah menguasai 90 persen pangsa pasar di ranah mesin pencari.

Sulitnya Mematahkan Monopoli Perusahaan Teknologi AS
Kantor Google. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Pada awal Oktober 2020, usai melakukan investigasi selama 16 bulan, Kongres Amerika Serikat menyerukan perombakan besar-besaran pada Amazon, Apple, Google, dan Facebook agar tidak melakukan praktik monopoli. Masalahnya, untuk merombak raksasa teknologi itu, Kongres menyatakan perlu dilakukan reformasi hukum terlebih dahulu. Undang-undang anti-monopoli yang dimiliki AS, Sherman Act, telah uzur dan tidak dapat menjawab tantangan perusahaan-perusahaan besar hari ini.

Lalu terjadilah drama. Sekitar dua pekan selepas Kongres memaparkan temuannya itu dan usai melakukan investigasi mandiri selama 14 bulan, pemerintah federal melalui Kementerian Kehakiman (bersama 11 negara bagian), memutuskan menyeret Google ke meja hijau atas dugaan praktik monopoli. Sebagai senjata untuk membuktikan Google bersalah, pemerintah federal AS menggunakan Sherman Act.

Dalam dokumen tuntutan yang dikirim ke pengadilan, pemerintah federal mengatakan bahwa “dua dekade lalu, Google merupakan anak kesayangan Silicon Valley karena ia berperilaku ceria dan sukses menyajikan cara inovatif bagi masyarakat mencari informasi di dunia internet yang tengah berkembang”.

Sayangnya, lanjut pemerintah federal, “Google itu telah lama mati. Saat ini, Google adalah penjaga gerbang internet yang sangat monopolistik”. Juru Bicara Kementerian Kehakiman Macr Raimondi, dalam konferensi pers, menyebut bahwa tindakan pemerintah menyeret Google ke meja hijau dilakukan karena “jika tidak, Amerika akan kehilangan munculnya inovasi berikutnya. Jika gugatan tidak dilakukan, Amerika kemungkinan besar tidak akan memunculkan ‘Google’ berikutnya.”

Kementerian Kehakiman yakin Google melakukan praktek monopoli di AS karena telah menguasai 90 persen pangsa pasar di ranah mesin pencari. Google menggunakan sumber daya yang hampir tak terbatas untuk tetap mempertahankan kekuasaan, misalnya melalui kerjasama mahal dengan Apple agar mesin pencari Google menjadi default di iPhone. Tak ketinggalan, sebagai pemilik Android, Google memaksa perusahaan pencipta ponsel berbasis Android untuk memasang produk-produk Google secara default.

Paling tidak, Google melakukan tiga tindakan ilegal pada tiga entitas: konsumen, yang dibuat tidak “kecanduan” menggunakan Google dan dipaksa menyetujui aturan main Google; pengiklan, yang harus membayar Google agar mereka bisa menjangkau konsumen; dan para perusahaan teknologi kecil yang harus hidup dalam bayang-bayang kekuatan Google.

Sementara itu, dalam tanggapan resminya, Kent Walker, Google Senior Vice President of Global Affairs, menyebut bahwa gugatan yang dilakukan pemerintah federal “sangat cacat.” Klaim Walker, masyarakat menggunakan Google “bukan karena ketiadaan alternatif atau paksaan, tetapi karena kehendak sendiri”. Google, lanjut Walker, membayar ke perusahaan-perusahaan teknologi agar mesin pencarinya menjadi default. Google membayar, misalnya, Mozilla Firefox dan Safari sebagaimana "perusahaan sereal membayar supermarket agar produk mereka dapat dipajang di rak.”

Menurut Walker, tidak ada produk-produk Google yang terpasang secara default atau pre-installed di komputer berbasis Windows. “Microsoft menyertakan Edge dan menjadikan Bing sebagai default,” dan masyarakat sendiri yang memutuskan menggunakan produk-produk Google, seperti Chrome. Sementara itu, kewajiban perusahaan-perusahaan pencipta ponsel Android untuk meng-install produk-produk Google agar Android gratis tetap aman digunakan.

Google memang penguasa mesin pencari. Namun, klaim Walker, keadaan ini tak serta merta membuat masyarakat menjadikan Google sebagai satu-satunya sumber informasi. “Masyarakat menggunakan Twitter untuk memperoleh berita, mencari info penerbangan di Kayak dan Expedia, menerusuri kuliner di OpenTable, dan mencari ide di Instagram dan Pinterest. Tatkala masyarakat ingin mencari informasi tentang produk yang hendak dibeli, 60 persen masyarakat Amerika melakukannya di Amazon,” bukan Google.

Tutur Walker, “undang-undang anti-monopoli Amerika dirancang untuk mempromosikan inovasi dan membantu konsumen, bukan untuk digunakan memihak pesaing tertentu atau mempersulit orang untuk mendapatkan layanan yang mereka inginkan.”

Walter ada benarnya. Undang-undang anti monopoli, di negara mana pun, memang dirancang untuk mempromosikan inovasi. Namun, dalam kasus pemerintah federal vs Google ini, menyeret Google ke meja hijau dengan tuduhan melakukan praktek monopoli kemungkinan besar tidak akan berakhir dengan munculnya persaingan yang sehat di dunia teknologi AS. Langkah ini sebatas sandiwara opera sabun. Gugatan pemerintah AS terhadap IBM dan Microsoft pada dekade 1870-an dan 1990-an silam jadi buktinya.

Ketika Pemerintah Amerika Serikat Menggugat IBM

Sejak 1890, Amerika Serikat memiliki Sherman Act, undang-undang yang diloloskan Kongres guna mencegah perusahaan-perusahaan yang beroperasi di AS melakukan praktek monopoli. Melalui aturan hukum tersebut, sebuah perusahaan dianggap melakukan tindakan monopoli apabila ia, pertama, menguasai pasar. Dan atas kekuasaannya pada suatu pasar, ia melakukan “pemeliharaan paksa” untuk tetap mempertahankan kekuasaannya. Tak sekedar membuat konsumen sukar berlabuh ke produk kompetitor, tetapi juga melalui aksi akuisisi dan praktek bisnis “buruk” lainnya.

Sherman Act muncul tatkala AS mengalami masa “New Economy”, suatu periode melesatnya dunia industri dan transportasi begitu Perang Sipil (1861-1865) berakhir. Di tengah geliat ekonomi yang moncer, Paman Sam tidak ingin hanya sedikit perusahaan yang menguasai pasar dan mematikan iklim wirausaha. William H. Page, dalam bukunya berjudul The Microsoft Case: Antitrust, High Technology, and Consumer Welfare (2007), menyebut bahwa semenjak Sherman Act muncul, pemerintah federal telah menyeret 270 perusahaan ke meja hijau, dengan tanggal 13 Oktober 1890 tercatat sebagai hari pertama undang-undang ini digunakan.

Di tahun-tahun awal kemunculannya, Sherman Act memang bermanfaat, khususnya untuk melindungi konsumen. Masalahnya, cara kerja bisnis perlahan berubah dan Sherman Act tidak gagal mengakomodasi perubahan.

Pada Januari 1969, pemerintah federal menyeret IBM dengan menggunakan Sherman Act. Pemerintah federal menuduh IBM telah memonopoli pasar komputer, terutama melalui komputer keluarga buatan mereka, System/360, yang sangat populer di dekade 1960an. Dalam pandangan pemerintah federal, kepopuleran System/360 diraih dengan cara kotor. IBM, tulis Page, “dianggap bermain kotor karena menetapkan harga yang merugikan konsumen dengan cara menggabungkan perangkat keras, perangkat lunak, dan layanan dukungan (purna jual) menjadi satu kesatuan utuh, all-in-one atau bundling, yang harus dibayar konsumen.” Di sisi lain, karena IBM memberikan paket menyeluruh, perusahaan pesaingnya menjadi sukar dipilih menjadi alternatif bagi konsumen.

Dalam pertarungan pemerintah AS vs IBM ini, pengadilan memeriksa hampir 900 saksi dan menelaah 100.000 halaman transkrip serta 17.000 pertemuan yang dilakukan IBM dengan rekan bisnisnya. Proses hukum yang memakan waktu 700 hari kerja selama 6 tahun dan menghabiskan biaya USD 16,8 juta--dari sisi pemerintah--ini akhirnya hanya berbuah kesia-siaan belaka. Di bulan Januari 1982, pemerintah federal menarik kasus ini dari meja hijau. Ini dilakukan karena mereka “menyadari kecilnya prospek kemenangan”.

Page dalam bukunya menyebut gugatan yang dilakukan pemerintah federal terhadap IBM memang mengada-ngada. Strategi bisnis IBM yang mem-bundle System/360 dilakukan karena itulah yang diinginkan konsumen. Tidak ada konsumen yang mau membeli komputer belaka tanpa sistem operasi. Ketika membeli komputer, konsumen ingin langsung memakainya. Inilah yang difasilitasi IBM. Andai IBM hanya menjual komputer tanpa sistem operasi, konsumen tentu akan membeli sistem operasi secara terpisah. Masalahnya, konsumen mungkin membeli versi bajakan, bukan yang asli, dan ini jelas akan merugikan bisnis teknologi AS.

Di sisi lain, sejak dekade 1970-an, pemikir-pemikir di AS, khususnya yang berasal dari University of Chicago, mulai mempertanyakan maksud sesungguhnya dari undang-undang anti-monopoli. Dalam pandangan mereka, undang-undang anti-monopoli seharusnya lebih digunakan untuk melindungi konsumen, bukan perusahaan-perusahaan pesaing dari perusahaan yang memperoleh pangsa pasar terbesar. Dalam kasus IBM, misalnya, konsumen tidak dirugikan. Strategi bisnis IBM hanya merugikan pesaingnya. Singkat kata, undang-undang digunakan melindungi perusahaan yang kalah bersaing rupanya tidak efisien dan nihil inovasi, padahal konsumen baik-baik saja.

Pada 1980-an, Sherman Act mulai tenggelam. Ia tidak lagi digunakan pemerintah federal melakukan gugatan anti-monopoli. Lalu, tibalah tahun 1992.

Sejak 1975, Kodak memiliki aturan bahwa mereka akan memperbaiki dan menjual suku cadang hanya dari konsumen yang membeli produk baru langsung dari Kodak. Masalahnya, di AS, terdapat perusahaan-perusahaan kecil yang mengumpulkan produk-produk Kodak bekas, memperbaiki, dan menjualnya kepada masyarakat. Berkat aturan itu, konsumen yang membeli produk Kodak dari perusahaan-perusahaan kecil ini tidak dilayani oleh Kodak ketika mereka ingin membeli suku cadang atau meminta perbaikan di Kodak.

Pemerintah federal berang atas tindakan Kodak. Pada 1992, pemerintah federal melakukan gugatan anti monopoli. Mereka menuduh Kodak “mengunci” masyarakat yang ingin memiliki produk Kodak dari Kodak seorang, bukan dari perusahaan-perusahaan kecil itu. Tak disangka, gugatan pemerintah federal berbuah kemenangan di persidangan. Akhirnya, semangat menggunakan Sherman Act muncul kembali, dan Microsoft menjadi buruan terbesar undang-undang ini.

Infografik Pemerintah AS vs Perusahaan Teknologi

Infografik Pemerintah AS vs Perusahaan Teknologi. tirto.id/Fuad

Ketika Pemerintah Amerika Serikat Menggugat Microsoft

Pada 1991 hingga 1994, Komisi Dagang AS melakukan investigasi dugaan praktek monopoli yang dilakukan Microsoft. Sial, investigasi bertahun-tahun tersebut berbuah lelah semata. Komisi Dagang AS tidak melanjutkannya ke meja hijau karena ketiadaan barang bukti. Tak menyerah, kementerian Kehakiman AS melakukan tindakan serupa, menginvestigasi Microsoft pada 1994. Lagi-lagi, tindakan tersebut berakhir dengan kesia-siaan. Pada 1995, investigasi yang dilakukan Kementerian Kehakiman AS dihentikan.

Pada 1998, usai mendengar kesaksian Bill Gates (Microsoft), Jim Barksdale (Netscape), Scott McNealy (Sun Microsystem), dan Michael Dell (Dell) atas undangan Senator Orin Hatch dalam kerangka dugaan monopoli (dan Senator Orin Hatch sendiri sebetulnya menyerukan dilakukan perubahan pada undang-undang anti monopoli), pemerintah federal langsung menyeret Microsoft ke meja hijau, didampingi Jaksa Agung dari 20 negara bagian.

David S. Evans, dalam bagian pembukaan di buku Microsoft, Antitrust and The New Economy: Selected Essays (2002) menulis, gugatan yang dilakukan pemerintah federal kepada Microsoft didasari atas keyakinan bahwa Microsoft “memonopoli pasar sistem operasi untuk komputer berbasis prosesor Intel”, yakni dengan cara mengurangi royalti Windows oleh perusahaan-perusahaan pembuat komputer. Setahun sebelum gugatan dilakukan, 88 persen komputer baru berbasis Intel x86 terpasang Windows. Sementara itu, komputer berbasis Intel x86 menyumbang 95 persen keseluruhan komputer baru. Microsoft dituduh ingin menghancurkan Apple, Java, Lotus Software, RealNetworks, dan Linux.

Dalam pandangan pemerintah, tindakan Microsoft menjual murah Windows adalah “aneh”. Sistem operasi, dalam spektrum komputer, merupakan salah satu bagian terpenting dan selayaknya dijual mahal. Bernard Reddy, dalam “Why Does Microsoft Charge So Little for Windows?” yang terdapat di buku yang sama dengan Evans, menyebut bahwa klaim pemerintah yang menyatakan seharusnya Microsoft menjual Windows dengan harga tinggi tercipta melalui dua pendapat, pertama Microsoft hanya mengeluarkan sedikit biaya untuk memproduksi dan mendistribusikan salinan Windows; dan kedua harga Windows tidak turun secepat harga komputer pribadi atau chip komputer.

Reddy mengatakan kebijakan Microsoft menjual murah Windows merupakan strategi monopolistik sejati. Ia juga menyebutkan bukan sesuatu yang aneh Microsoft membanderol Windows dengan harga murah. Tatkala gugatan dilakukan, Microsoft membanderol Windows seharga USD 50, alias setara dengan 2,4 persen harga rata-rata komputer baru (harga rata-rata komputer baru saat itu adalah USD 2.082). Reddy menjelaskan, dalam dunia komputer, “permintaan pada suatu produk didorong oleh permintaan produk lainnya”. Dengan menurunkan harga Windows, produsen komputer berbasis Intel x86 dapat menekan biaya produksi, dan kemudian menjualnya dengan harga terjangkau di pasaran. Tatkala penjualan komputer moncer, Microsoft pun ikut terdongkrak. Andai Microsoft menjual Windows dengan mahal, komputer akan berharga lebih mahal pula. Tentu, akan sedikit masyarakat yang tertarik membeli komputer. Singkat kata, untuk sukses, Microsoft harus menyeimbangkan di sisi penawaran dan di sisi keuntungan yang ingin mereka raih.

“Monopoli merupakan strategi memaksimalkan keuntungan ketika dua efek ini seimbang,” tulis Reddy.

Tak hanya di situ. Karena dominan di ranah komputer, Microsoft diduga memanfaatkan posisinya tersebut untuk menguasai pasar browser. Pada 1994, Netscape merilis Netscape Navigator yang langsung menjadi browser nomor wahid. Pada 1996, Netscape Navigator menguasai 80 persen pangsa pasar browser. Kedigdayaannya ini bertahan hingga 1998. Namun, pada 1995, Microsoft masuk ke pasar browser dengan merilis Internet Explorer (IE). Untuk memenangkan pertarungan melawan Netscape, Microsoft mem-bundling IE ketika mereka merilis Windows 95, dan menyerahkan teknologi IE pada provider internet juga American Online (AOL). Bagi pemerintah federal, tindakan ini ilegal.

Akhirnya, pada 7 Juni 2000, pengadilan yang dipimpin Hakim Thomas Penfield Jackson memutuskan bahwa Microsoft bersalah. Microsoft harus dipecah menjadi dua bagian: yang khusus menangani Windows dan yang khusus mengelola produk-produk non-Windows.

Keputusan pengadilan tersebut tidak pernah dijalankan. Microsoft dan pemerintah federal memilih “jalan damai”. Microsoft masih utuh sebagai satu perusahaan. Gugatan pemerintah federal terhadap Microsoft akhirnya hanya dianggap opera sabun yang melelahkan juga menghabiskan biaya besar di sisi pemerintah. Lebih besar dibandingkan ongkos yang dikeluarkan tatkala pemerintah federal menggugat IBM. Di sisi Microsoft, menurut pengakuan Bill Gates, gugatan tersebut membuat perusahaannya kehilangan momentum menguasai sistem operasi ponsel.

Gugatan pemerintah pada Google pun diperkirakan akan bernasib serupa. Terlebih, pemerintah federal dan negara bagian yang ikut menggugat Google saat ini dikuasai oleh Republikan. Gugatan terhadap Google hanya dianggap sebagai upaya Partai Republikan dan Presiden Donald Trump untuk mencari citra di tengah kontestasi pemilu presiden yang tengah berlangsung. Tak ketinggalan, Google dan banyak perusahaan Silicon Valley lainnya acap kali dianggap musuh oleh Trump karena sering menyensor konten-konten konservatif.

Jika pemerintah federal benar-benar ingin menggugat Google, sasaran yang tepat bukanlah perilaku monopoli, alih-alih problem privasi.

Terakhir, coba lihat IBM, Kodak, dan Microsoft. Tatkala pemerintah menyeret mereka ke meja hijau, perusahaan-perusahaan ini masih sangat perkasa. Kini?

Baca juga artikel terkait PERUSAHAAN TEKNOLOGI atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Windu Jusuf