Menuju konten utama
Al-Ilmu Nuurun

Sukarnya Mencari al-Khwarizmi Baru

Muhammad al-Khwarizmi adalah salah satu ilmuwan terpenting dalam sejarah matematika. Ia didapuk sebagai salah satu bapak aljabar. Selama banyak umat muslim yang paranoid terhadap ilmu pengetahuan, akan susah mencari Khwarizmi baru.

Sukarnya Mencari al-Khwarizmi Baru
Ilustrasi Muhammad ibn Musa. FOTO/Istimewa

tirto.id - Nama Muhammad ibn Musa al-Khwarizmi sangatlah harum dalam peradaban angka. Ia kerap didapuk sebagai salah satu bapak aljabar. Ini adalah salah satu cabang matematika yang mempelajari pemecahan masalah dengan memakai simbol atau huruf tertentu. Salah satu contohnya adalah pemakaian huruf x untuk mewakili nilai suatu bilangan yang ingin dicari.

Ada banyak versi tentang Khwarizmi dan aljabar. Menurut banyak buku babon sejarah ataupun matematika, Khwarizmi bukanlah pencipta aljabar. Metode ini sudah dipakai jauh sebelum Khwarizmi lahir. Dalam buku A Concise History of Mathematics, disebutkan bahwa akar aljabar berasal dari era Babilonia.

Ilmuwan Mesir, Yunani, juga Cina, pada era 1 milenium Sebelum Masehi memecahkan hitungan dan masalah dengan menggunakan pendekatan matematika yang sama. Salah satu ilmuwan Yunani yang kemudian memengaruhi Khwarizmi adalah Diophantus, seorang ahli matematika yang menulis beberapa buku berjudul Arithmetica. Di buku ini, Diophantus menulis beberapa persamaan aljabar.

Pesatnya ilmu pengetahuan, juga banyaknya pertukaran kebudayaan dan ilmu, membuat Khwarizmi berhasil mengembangkan aljabar lebih lanjut. Ia kemudian menulis al-Kitāb al-mukhtaṣar fī ḥisāb al-jabr wal-muqābala, yang selanjutnya diterjemahkan ke bahasa Latin menjadi Liber algebrae et almucabala pada 1831. Kata algebrae itu kemudian yang diserap menjadi diksi aljabar. Diartikan sebagai mengumpulkan bagian yang terserak.

Lahir dan Besar di Masa yang Tepat

Tak banyak kisah detail tentang kehidupan masa kecil Khwarizmi. Tempat lahirnya pun masih mengundang perdebatan hingga sekarang. Menurut sejarawan Ibn al-Nadim, Khwarizmi lahir di Khwarezm, daerah yang dulu merupakan kawasan Persia. Di era modern, kawasan ini menjadi Khiva, Uzbekistan.

Ada pula yang menyebut bahwa Khwarizmi lahir di Qutrubbull, sebuah daerah yang berada di antara Sungai Tigris dan Eufrat, tak jauh dari Bagdad. Khwarizmi disebut lahir pada 780.

Tak hanya perkara tempat lahir, soal kepercayaan Khwarizmi pun banyak mengundang perdebatan. Gerald Toomer dalam Dictionary of Scientific Biography menyebut bahwa Khwarizmi menyandang julukan al-Majusiyy, alias Majusi. Ini adalah sebutan untuk penganut agama Zoroastrianisme. Teori yang merujuk pada sejarawan al-Tabari ini masuk akal. Sebab agama Zoroastrianisme ini memang tumbuh pesat di Persia, sebelum akhirnya perlahan memudar saat tentara muslim menguasai Persia pada 651 di bawah komando Umar Bin Khattab.

Namun, teori Toomer ini dibantah oleh Roshdi Rashed dalam artikel al-Khwarizmi's Concept of Algebra (dimuat dalam buku Arab Civilization: Challenges and Responses, 1988). Menurut Roshdi, Toomer salah memahami tata bahasa al- Tabari. Sewaktu diminta mengumpulkan nama astronom, al-Tabari menulis Muhammad Ibn Musa al-Khwarizmi al-Majusi al-Qutrubbulli. Menurut Roshid, itu adalah nama dua orang, yakni al-Khwarizmi dan al-Majusi

"Seharusnya ini tak perlu dibahas jika tak ada beberapa kesalahan terkait biografi dan penjelasan tentang al-Khwarizmi, termasuk asal-usul ilmunya," tulis Rashid. Ia juga menyebut bahwa Toomer "dengan percaya diri dan naif membuat bangunan kisah fantasi yang salah besar."

Meski demikian, tak ada yang menyangkal bahwa Khwarizmi lahir di era yang tepat. Saat itu, Harun al-Rashid menjadi khalifah kelima dari dinasi Abbasiyah. Harun memerintah dari Bagdad. Ia menjadikan Bagdad sebagai pusat pemerintahan, juga episentrum ilmu pengetahuan. Saat Harun meninggal pada 809, anaknya, al-Ma'mun mewarisi tampuk kekuasaan setelah perang saudara melawan kakaknya. Ma'mun juga mewarisi kecintaan terhadap ilmu pengetahuan.

Infografik Muhammad Ibn Musa

Saat menjabat, al-Ma'mun semakin mendukung House of Widom, Rumah Kebijaksanaan, perpustakaan dan pusat ilmu pengetahuan dunia kala itu yang dibentuk oleh sang ayah. Tak heran kalau masa pemerintahan Harun dan Ma'mun dianggap sebagai The Golden Age of Islam. Sebab mereka sadar, ilmu pengetahuan adalah kunci peradaban.

Di House of Wisdom ini Khwarizmi bekerja sebagai ilmuwan. Ia menerjemahkan naskah-naskah Yunani. Juga menulis naskah akademis, pun belajar banyak ilmu pengetahuan. Khwarizmi belajar aljabar, geometri, juga astronomi.

Sebagai seorang ilmuwan, ia tak alergi terhadap sumber pengetahuan dari manapun. Misalkan, ia menyerap pengetahuan dari kebudayaan Hindu. Membuatnya menghasilkan buku On the Calculation with Hindu Numerals (825). Buku ini dianggap yang pertama kali menjelaskan sistem numeral Hindu-Arab secara lengkap. Sekitar 3 abad kemudian, buku ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin, menjadi Algoritmi de numero Indorum. Kata algoritmi (algoritme) ini merupakan serapan dari nama al-Khwarizmi.

Begitu pula saat Khwarizmi mempelajari sistem astronomi dan penanggalan Yahudi. Hasilnya, ia menulis Risāla fi istikhrāj taʾrīkh al-yahūd (Extraction of the Jewish Era) pada 823. Risalah ini berisi tata cara menentukan hari pertama di bulan Tishri, juga cara menentukan garis bujur matahari dan bulan dengan menggunakan sistem penanggalan Yahudi. Sebagian besar metode ini diterapkan di almanak Yahudi hingga sekarang.

Karya terbesar Khwarizmi tentu adalah di bidang aljabar. Buku Al-Kitab al-mukhtasar fi hisab al-jabr wa'l-muqabala (The Compendious Book on Calculation by Completion and Balancing) dianggap sebagai pondasi penting bagi aljabar era modern. Pada abad 12, buku ini diterjemahkan ke bahasa Latin berjudul Liber algebrae et almucabala, yang kemudian mengenalkan istilah algebra, atau aljabar.

Dunia modern banyak berutang pada Khwarizmi. Algoritme, seperti yang dipakai dalam dunia komputer, berutang pada aritmatika dan algoritme yang ditulis oleh Khwarizmi. Teorinya menjadi dasar bagi David Hilbert untuk masalah pengambilan keputusan (Entscheidungsproblem).

Kebesaran Khwarizmi kemudian yang direproduksi beberapa umat Islam untuk memberikan upaya tandingan melawan dunia Barat dalam bidang ilmu pengetahuan. Sejak beberapa waktu lalu, meme bergambar Khwarizmi banyak berseliweran di media sosial. Mereka yang banyak menyebar adalah yang merasa rindu zaman keemasan Islam. Dengan bangga mereka menyebut bahwa komputer tak akan ada tanpa Khwarizmi, begitu pula ilmu pemrograman komputer. Ini mungkin betul.

Namun, yang luput mereka perbincangkan adalah: Khwarizmi bisa besar dan amat berpengaruh bagi dunia karena iklim dan semangatnya mencari ilmu. Ia tak alergi terhadap ilmu pengetahuan. Tak alergi dengan kata "Yahudi" atau "Non-Muslim". Ia juga punya pemimpin yang tepat. Bisa bayangkan seandainya al-Ma'mun tak mendukung House of Wisdom. Atau sang khalifah itu menutup segala akses ilmu pengetahuan dari Yunani atau Yahudi atau India atau semua kawasan non-Islam. Khwarizmi mungkin bisa berakhir menjadi petani gandum, atau penjual khamr, atau peternak domba, dan tak akan kita kenal sebagai ilmuwan dengan nama yang berlumur tinta emas.

Perlu diingat bahwa Islam mencapai masa keemasan ketika para pemimpin dan warganya mengutamakan ilmu pengetahuan, juga susastra dan musik. Rasanya akan susah mencapai masa keemasan seperti itu kalau semakin banyak muslim yang paranoid terhadap ilmu pengetahuan—semisal percaya bahwa bumi itu datar—atau alergi terhadap segala yang berdasar dari Yahudi atau Non Muslim.

Kalau itu terjadi, sudah pasti peradaban Islam akan kesusahan menemukan Khwarizmi abad 21.

Sepanjang Ramadan, redaksi menayangkan naskah-naskah yang mengetengahkan penemuan yang dilakukan para sarjana, peneliti dan pemikir Islam di berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kami percaya bahwa kebudayaan Islam -- melalui para sarjana dan pemikir muslim -- pernah, sedang dan akan memberikan sumbangan pada peradaban manusia melalui ilmu pengetahuan dan teknologi. Naskah-naskah tersebut akan tayang dalam rubrik "Al-ilmu nuurun" atau "ilmu adalah cahaya".

Baca juga artikel terkait AL-ILMU NUURUN atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Humaniora
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti