tirto.id - Tersebutlah seorang imam di negeri Persia bernama Zarathustra, yang juga dikenal dengan nama lain: Zoaster. Konon ia adalah manusia pertama yang pernah mengaku bertemu zat yang lebih besar dari pada manusia dan jagat raya ini, sesuatu yang generasi kini sebut Tuhan. Umur Zarathustra tiga puluh tahun, ketika ia pertama kali menerima sebuah wahyu. Ia melihat cahaya besar yang kemudian membawanya masuk ke dalam hadirat Ahura Mazda atau “Tuhan yang Bijaksana”.
Dalam pertemuan itu, Zarathustra dipampangkan kebenaran spiritual yang berbeda dari apa yang pernah dilihatnya. Kala itu, abad keenam sebelum masehi, kebanyakan orang masih menyembah berhala dan yakin kalau dewa-dewi itu tak hanya satu. Mereka percaya kalau setiap benda di Bumi memiliki roh sendiri. Melalui wahyu dari Ahura Mazda, Zarathustra akhirnya meyakini bahwa Tuhan itu cuma satu dan ajarannya adalah kebenaran yang mutlak. Ia meyakini bahwa segala kebaikan berasal dari Ahura Mazda. Ajaran itu kelak dikenal dengan nama Zoroastrianisme, para pengikutnya dikenal sebagai Zoroastrianian.
Dalam A History of Zoroastrianisme, Mary Boyce menyebut tak ada catatan tanggal pasti tentang kapan Zarathustra mulai menyebarkan Zoroastrianisme. Namun menurutnya, nama Zoroaster terdapat dalam dua catatan Yunani kuno, satunya ditulis 6 ribu tahun sebelum Plato, lainnya menulis 258 tahun sebelum Aleksander Agung, Sang Raja Makedonia yang tersohor.
Di antara orang-orang Persia yang masih menganut animisme dan paganisme, menjadi berbeda tentu saja tak mudah. Zarathustra yang membawa keyakinan baru jelas mendapat tekanan. Ia sampai-sampai harus melarikan diri ke Chorasma, sala satu negeri tetangga Persia yang kini adalah daerah Iran. Dalam buku Menguak Ajaran Agama-Agama Besar, M. Arifin menyebut bahwa ajaran Zoroastrianisme mulai populer dan memanen pengikut yang banyak sejak Raja Chorasma yan bernama Vistapa serta menterinya Yasasp menjadi pengikut ajaran Zarathustra tersebut.
Di masa kejayaan itu, menurut Mary Boyce, Zoroastrianian bahkan tersebar ke sejumlah negeri tetangga: Bactria, Sogdia dan Ferghana hingga ke tenggara dan timur Parthia serta selatannya Margiana. Kerajaan-kerajaan itu kini adalah bagian dari negara Rusia, Asia Tengah, Uzbekistan, Tajikistan, Turkmenistan, dan Kirgizstan.
Catatan paling lengkap mengupas agama ini adalah Avesta, kitab suci umat Zoroastrianisme. Dalam ajarannya, Zoroastrianisme mempercayai bahwa Tuhan adalah makhluk yang esa. Dengan kata lain, ia hadir sebagai ajaran monoteisme. Dibandingkan Yahudi, Islam, dan Kristen yang kini paling populer dan punya pengikut terbanyak sebagai agama monoteisme, Zarathustra rupanya hadir lebih dulu dengan Zoroastrianisme. Hal ini membuatnya jadi agama samawi—agama yang berasal dari langit—tertua yang pernah ada.
Dalam Zoroastrianisme, menurut Arifin, seorang Zoroastrianian meyakini bahwa dalam hidup ada dua kekuatan yang akan terus beradu, yakni kekuatan kebaikan dan kejahatan. Dalam hidupnya, mereka harus selalu berusaha melawan niat-niat kejahatan itu dan berbuat kebaikan yang diajarkan Ahura Mazda. Zat jahat diwakili oleh Angra Mainyu alias Ahriman, sementara zat baik diwakili Spenta Mainyu.
Zoroastrinian juga meyakini sejumlah dewa-dewa atau malaikat, yaituL Asha Vahista, Vohu Manah, Keshatra Vairya, Spenta Armaity, serta Haurvatat dan Amertat.
Selain konsep monoteisme, Zoroastrianisme juga punya sejumlah keyakinan lain yang juga ada dalam agama samawi yang populer kini. Misalnya konsep eskatologi, yang meyakini kehidupan setelah kematian, dan konsep penciptaan dunia oleh Tuhan.
Seorang Zoroastrianian, seperti seorang Muslim, akan mengalami penghakiman setelah meninggal. Roh-roh manusia akan diminta membuktikan telah melakukan hal-hal baik selama masa hidupnya. Tiga hari setelah meninggal, roh itu masih akan tetap tinggal di tubuhnya, lalu di hari keempat ia akan diharuskan melewati Jembatan Cinvat, untuk membuktikan semasa hidup dekat dengan Spenta Mainyu. Jika berhasil, ganjarannya tempat penuh rahmat Ahura Mazda, semacam surga dalam ajaran Islam dan Kristen. Jika jatuh, ia akan terjerembab ke dalam tempat suram penuh api dan kesedihan, semacam neraka.
Konsep Jembatan Cinvat ini mirip dengan Jembatan Shiratal Mustaqim—titian rambut dibelah tujuh—dalam Islam: semakin banyak kebaikan yang dijalani semasa hidup, semakin lebar pula jembatan tersebut.
Sementara dalam konsep penciptaan dunia, Zoroastrinian meyakini bahwa dunia ciptaan Ahura Mazda hanya terdiri dari 12 ribu tahun. Periode 3 ribu tahun pertama adalah masa Ahura Mazda menciptakan alam semesta. Di masa ini, Ahriman muncul untuk menghancurkan ciptaan Ahura Mazd. Di periode 3 ribu tahun berikutnya, Ahura Mazda dan Ahriman adu kekuatan. Ini adalah masa ketika siang dan malam tercipta.
Pada 3 ribu tahun ketiga, adalah masa ketika Zarathustra lahir dan mendapat wahyu. Di periode 3 ribu tahun terakhir, akan muncul satu orang Saoshayant dalam tiap seribu tahun sebagai penyelamat manusia. Mereka adalah keturunan Zarathustra yang akan menghancurkan Ahriman. Setelah itu, perdamaian baru terwujud.
Meski sudah beurumur lebih dari 3 ribu tahun, Zoroastrianisme masih eksis hingga hari ini. Mayoritasnya masih menetap di Iran. Arifin juga menceritakan bahwa sejumlah Zoroastrinian juga bermigrasi ke India, dan dikenal sebagai orang-orang Parsi di sana. Di sejumlah daerah Asia Tengah dan Indonesia ia juga dikenal dengan nama agama Majusi. Namun, para Zoroastrinian juga sudah menetap di kota-kota besar dunia, seperti London, New York, dan lainnya. Salah satu pengikutnya yang terkenal adalah Parisa Khosravi, salah satu petinggi CNN. Dilansir dari salah satu jaringan berita terbesar di dunia itu, pengikut Zoroastrianisme yang eksis hingga kini sejumlah 2,6 juta orang.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Aulia Adam