Menuju konten utama

Suka Duka 9 Hari Mengarungi Lautan Bersama KRI Dewaruci

Hampir tiap malam saat perjalanan dari Dumai-Sabang, KRI Dewaruci melewati gelombang pasang.

Suka Duka 9 Hari Mengarungi Lautan Bersama KRI Dewaruci
Suasana KRI Dewaruci. tirto.id/Naufal

tirto.id - Perjalanan panjang mengarungi lautan baru saja dilakukan Kapal Republik Indonesia (KRI) Dewaruci. Meski dibuat sejak 1952, kapal ini masih memiliki napas panjang. KRI Dewaruci bahkan baru saja mengarungi lautan Tanah Air hingga Negeri Jiran selama total 39 hari.

Memiliki panjang 58,3 meter dan lebar 9,50 meter, kapal naungan TNI AL itu menjadi moda transportasi untuk program Muhibah Budaya Jalur Rempah (MBJR) 2024. Muhibah budaya merupakan program Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).

Pada 2024, MBJR diadakan untuk ketiga kalinya. MBJR kali ini diadakan mulai 5 Juni-13 Juli 2024. Wilayah yang dikunjungi oleh KRI Dewaruci melalui MBJR 2024 adalah Jakarta, Bangka Belitung, Dumai, Sabang, Malaka di Malaysia, Tanjung Pinang, dan Lampung.

Perjalanan ke sejumlah titik tersebut dibagi dalam tiga etape (batch). Tim Tirto kebagian mengikuti etape kedua dengan tujuan Dumai, Sabang, Malaka, dan Tanjung Pinang.

Perjalanan tim Tirto bersama KRI Dewaruci dimulai pada 19 Juni 2024. Saya, Muhammad Naufal, reporter Tirto, berangkat mengarungi samudera bersama penulis dan reporter lain, yang disebut sebagai undangan.

Selain undangan, ada pula peserta MBJR 2024 alias Laskar Rempah. Mereka terdiri dari mahasiswa, pegiat seni, hingga influencer, yang diseleksi oleh Kemendikbudristek. Perwakilan dari kementerian yang dipimpin Nadiem Makarim itu juga ikut melaut bersama dengan Laskar Rempah dan undangan. Total, kami menginap selama sembilan malam di KRI Dewaruci.

Begitu naik di KRI Dewaruci, undangan dan Laskar Rempah langsung diminta meletakkan barang pribadi di ruang tidur masing-masing. Undangan dan Laskar Rempah laki-laki kebagian tidur di lantai tiga KRI Dewaruci. Ruang untuk tidur ini memang tempat-tempat tidur para tentara KRI Dewaruci.

Kasur di ruang ini berupa kasur tingkat (bunk bed). Ada tiga kasur di setiap kasur tingkat. Puluhan kasur tersedia di ruang tersebut. Sementara itu, ada meja berukuran 3 x 3 meter terletak di tengah ruangan yang dipergunakan meletakkan tas atau koper pribadi.

Secara keseluruhan, KRI Dewaruci memiliki total lima lantai. Namun, undangan dan Laskar Rempah hanya bisa mengakses tiga lantai. Lantai pertama terdiri dari tempat geladak, anjungan, ruang navigasi, dan tiga tiang kapal.

Lantai dua terdiri dari dapur, tempat makan, toilet dan tempat mandi laki-laki serta perempuan yang terpisah, dapur, ruang makan VIP, serta kamar tidur Laskar Rempah atau undangan perempuan. Terakhir, lantai tiga terdiri dari ruang tidur laki-laki dan tentara yang terpisah.

KRI Dewaruci

Suasana KRI Dewaruci. tirto.id/Naufal

Mabuk Laut

Sebagai orang awam, wajar bagi undangan maupun Laskar Rempah untuk menyesuaikan diri dengan perjalanan di laut. Hampir tiap malam saat perjalanan dari Dumai-Sabang, KRI Dewaruci melewati gelombang pasang. Bagaimanapun juga, benturan antara ombak dan kapal tak dapat dihindari, mengingat KRI Dewaruci melintasi Selat Malaka.

Saat melewati gelombang pasang, menjadi hal yang biasa bagi kami untuk melihat peserta MBJR 2024 tergeletak di geladak atau di kasur.

Contohnya, meski berusaha sekuat tenaga untuk berdiri, saya tetap merasa pening ketika kapal menerjang ombak. Terutama ketika hari-hari awal saya melaut.

Saya merasa sulit berkonsentrasi melihat benda apa pun ketika kapal diterjang ombak. Dari sisi manapun di bagian kapal, saya dapat mendengar suara ombak yang menghempas.

Bahkan, karena lokasi tempat tidur berada di lantai cukup bawah, suara ombak yang menerpa kapal terdengar cukup kencang. Hal ini cukup mengganggu ketika saya mencoba beristirahat saat malam hari.

Selain terganggu saat istirahat, rekan-rekan saya juga banyak yang muntah. Suatu ketika, masih di perjalanan Dumai-Sabang, kulit wajah salah satu rekan penulis memutih. Tetesan keringat tiba-tiba turun dari kening pria tersebut.

Kami langsung paham bahwa dia menahan rasa mual maupun pening. Benar saja, ia langsung memegang pinggiran kapal. Tanpa melihat sekelilingnya, pria ini langsung memuntahkan makan siangnya.

Apes, salah satu perwakilan Kemendikbudristek sedang berada di dekat pria yang muntah tersebut. Karena dera angin, muntahan itu mengenai muka perwakilan Kemendikbudristek tersebut.

Ingin rasanya saya tertawa melihat hal tersebut. Namun, gurauan itu kami urungkan dan kami membantu pria yang muntah.

Masih di hari yang sama, saya kebetulan hendak mengantarkan jam tangan milik salah satu Laskar Rempah yang tertinggal di tempat wudu di lantai dua. Saya menuju ruang makan di lantai tersebut.

Kala itu, saya menitipkan jam tangan itu ke salah satu Laskar Rempah yang ada di ruang tersebut. Masih di tengah perbincangan, tiba-tiba ada Laskar Rempah lain yang batuk-batuk sambil menahan muntah.

Tiba-tiba saja, Laskar Rempah itu memuntahkan isi perutnya ke tangan kanan saya. Saya tak begitu ambil pusing karena muntahan tersebut. Mengingat, ada rekan kami yang terkena muntahan di bagian mukanya.

Saya langsung menuju kamar mandi dan berbilas sambil tertawa kecil. Tak lupa, saya juga mengganti baju yang di bagian lengan kanannya terkena muntahan bocah belasan tahun tersebut. Anak yang memuntahkan isi perutanya ke tangan saya selalu tersipu malu setiap menemui saya di hari itu.

KRI Dewaruci

Suasana Kapal RI Dewaruci, kapal yang dibuat di Jerman dan kini digunakan oleh TNI Angkatan Laut (AL) RI. (Tirto.id/Muhammad Naufal)

Mandi Suci

Memasuki pekan kedua perjalanan MBJR 2024 atau malam keenam di laut, kami beristirahat seperti biasa. Setelah menyesuaikan diri, saya sendiri sudah tak lagi mengalami mabuk laut.

Akan tetapi, jam tidur tetap berantakan. Saya baru bisa tertidur pulas di atas pukul 24.00 WIB. Subuh di hari ketujuh di laut, tiba-tiba saja segerombolan orang berbaju hitam membangunkan peserta pria di ruang tidur.

Mereka menggedor-gedorkan semacam tongkat ke lemari besi di ruang tersebut. Suaranya nyaring, memecah heningnya subuh pada 29 Juli 2024.

Alunan musik seram pun terdengar di ruang itu. Saya tak merasa takut. Namun, saya hanya merasa tidur saya terganggu. Selang beberapa detik, saya langsung paham bahwa TNI AL KRI Dewaruci hendak menggelar tradisi mandi suci.

Bagi orang awam, seperti saya, mandi suci merupakan hal yang asing awalnya. Mandi suci merupakan tradisi yang wajib dilakukan oleh siapa pun yang baru pertama kali menginjakkan kaki dan bermalam di KRI Dewaruci yang mengarungi lautan.

Laki-laki dan perempuan, tua dan muda, wajib melakukan mandi suci. Pada subuh kala itu, saya langsung bersiap diri untuk naik ke geladak kapal. Tak perlu terlalu rapi, mengingat kami akan "dimandikan.”

Setibanya di geladak, rekan undangan serta Laskar Rempah sudah duduk di geladak sembari mengahadap depan kapal. Sejumlah anggota TNI berpakaian hitam, mengenakan riasan, mengelilingi kami.

Mereka menyirami kami dengan air laut. Semula saya khawatir air laut akan dingin menusuk. Anehnya, air laut justru terasa hangat-hangat kuku. Menyegarkan. Akan tetapi, rasanya tetap asin.

Oleh anggota TNI yang menyamar, kami diminta untuk merenungkan diri, mengingat jasa orangtua, dan sejenisnya. Setelah puas mengguyur kami dengan air laut, anggota TNI meminta kami untuk berputar arah atau menghadap anjungan atau sisi belakang kapal.

Di situ, ada kursi yang didirikan seolah-olah menjadi singgasan raja dan ratu. Sang raja diperankan oleh anggota TNI, sedangkan sang ratu diperankan oleh perwakilan Kemendikbudristek.

Anggota TNI lain memanggil peserta MBJR 2024 satu per satu. Peserta perempuan, dari lokasi duduknya, diminta untuk jalan jongkok menuju lokasi pemandian.

Bentuk pemandian di sebelah singgasana raja ratu sederhana itu, hanya ember berisikan air. Anggota TNI yang memanggil kami lantas memberikan nama baru kepada peserta MBJR 2024 yang dipanggil.

Pemberian nama dilakukan satu per satu. Peserta pria yang dipanggil diminta untuk merangkak menuju lokasi pemandian. Saya, entah mengapa, dipanggil terakhir.

Merangkak sekitar dua meter dari lokasi duduk, saya kemudian disiram air. Saya kemudian resmi mendapatkan nama baru, yakni Denebola. Saya menyukai nama ini.

Setelah proses mandi suci, gelak tawa langsung pecah di antara peserta MBJR 2024 maupun anggota TNI AL. Bagaimana tidak, kami sudah saling kenal. Sembari bercanda, ada yang mengungkapkan rasa kesalnya karena dibangunkan pagi-pagi.

Juga sambil bercanda, ada juga yang kesal karena kerap disiram air laut di bagian kepalanya. Kegiatan pagi itu diakhiri dengan peserta MBJR 2024 berfoto bersama anggota TNI AL KRI Dewaruci.

KRI Dewaruci

Suasana Kapal RI Dewaruci, kapal yang dibuat di Jerman dan kini digunakan oleh TNI Angkatan Laut (AL) RI. (Tirto.id/Muhammad Naufal)

Pisah dengan Anggota KRI Dewaruci

Menjelang hari terakhir MBJR 2024, peserta tak lagi bermobilisasi dengan KRI Dewaruci. Peserta, undangan, dan anggota TNI menggelar malam inaugurasi sebagai tanda perpisahan pada 4 Juli 2024. Posisi kapal saat itu sudah menurunkan jangkar di dekat pelabuhan di Tanjung Pinang.

Acara ini digelar cukup meriah di bagian geladak. Peserta, undangan, maupun anggota TNI saling menunjukkan kebolehan masing-masing. Ada juga penampilan kolaborasi.

Perwakilan media turut menunjukkan kebolehannya. Tiga wartawan bersama satu anggota TNI dan satu Laskar Rempah menampilkan pertunjukan wayang.

Pertunjukan itu berlangsung meriah. Mereka mendapatkan tepuk tangan dari peserta, undangan, maupun anggota TNI. Malam terasa singkat. Tiba-tiba jam menunjukkan pukul 22.00 WIB. Acara inaugurasi lantas berakhir.

Keesokan harinya, baru kami benar-benar meninggalkan KRI Dewaruci. Sambil beberes barang pribadi yang diletakkan di geladak, saya menyempatkan diri untuk berfoto bersama sejumlah personel TNI KRI Dewaruci.

KRI Dewaruci Tiba di Malaka

Direktur Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilmar Farid saat memberikan sambutan di Malaka, Malaysia, Minggu (30/6/2024).

Baca juga artikel terkait KRI DEWARUCI atau tulisan lainnya dari Muhammad Naufal

tirto.id - News
Reporter: Muhammad Naufal
Penulis: Muhammad Naufal
Editor: Abdul Aziz