Menuju konten utama

Sudahkah Kalendermu Diganti, Jenderal?

Membaca pernyataan Kapendam terkait pelarangan lapak buku di Bandung membuat saya merasa posisi menteri dalam negeri masih dijabat Rudini dan Moerdiono masih menjadi menteri sekretaris negara. Pernyataan itu menggemakan kepercayaan diri seakan militer masih "berkuasa penuh" sebagaimana terjadi di masa ketika acara Aneka Safari di TVRI begitu menghibur hati.

Sudahkah Kalendermu Diganti, Jenderal?
avatar zein

tirto.id - Apakah kalender di markas Kodam Siliwangi berhenti sampai 21 Mei 1998 dan tidak pernah diperbaharui lagi?

Pikiran itu terlintas saat membaca pernyataan Kepala Staf Komando Daerah Militer (Kasdam) III/Siliwangi Brigjen TNI Wuryanto dan Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) III/Siliwangi Letkol ARH M. Desi Ariyanto terkait pembubaran lapak buku milik Perpustakaan Jalanan di Taman Dago, Cikapayang, Bandung, akhir pekan lalu. Jawaban dua petinggi Kodam Siliwangi memperlihatkan betapa supremasi sipil, yang menjadi amanat penting reformasi yang diakomodasi dalam amandemen UUD 1945, tak meresap ke tubuh militer.

Demi membela aksi anak buahnya, kasdam Siliwangi sampai hati menganggap kegiatan menggelar buku-buku untuk dibaca gratis sebagai modus penyamaran geng motor. Salah identifikasi ini, jika memang tak disengaja, rasanya menyedihkan. Komunitas yang melaksanakan Perpustakaan Jalanan sudah melakukan kegiatannya selama enam tahun, sekali lagi: enam tahun! Mereka menggelar buku-buku di Taman Dago Cikapayang yang sangat dekat dengan markas Kodam Siliwangi. Hanya sekitar 3 kilometer saja. Sebegitu asingkah Siliwangi dengan lingkungannya sendiri?

Belum lagi membaca pernyataan kapendam yang hampir seluruh isinya membuat saya merasa menteri dalam negeri masih dijabat Rudini dan menteri sekretaris negara masih dijabat Moerdiono. Pernyataan itu menggemakan kepercayaan diri seakan militer masih "berkuasa penuh" sebagaimana terjadi di masa ketika acara Aneka Safari di TVRI begitu menghibur hati.

Ia mempersoalkan (1) mengapa membaca harus dilakukan pada malam hari di tempat terbuka dan (2) mengapa harus berkumpul selewat jam 23.00. Belum lagi pernyataan penutupnya: "Bagaimana dengan buku-buku yang dibawa oleh komunitas Perpustakaan Jalanan ini, apakah buku-buku atau apapun bentuk tulisan yang dibawa sudah terlebih dahulu diketahui kredibilitasnya, apakah benar buku-buku tersebut adalah buku-buku yang diijinkan untuk dibaca oleh kaum muda, atau malah buku-buku yang di dalamnya berisi topik yang tidak sesuai?"

Pernyataan itu bukan hanya mencoba memberikan pembenaran, tapi juga mencoba meyakinkan publik bahwa militer masih berhak mengontrol banyak hal. Jawaban paling gampang yang bisa diberikan adalah: Memangnya kenapa membaca pada malam hari di tempat terbuka? Memangnya kenapa berkumpul di tempat terbuka selepas jam 23.00?

Selama tidak ada hukum yang dilanggar, jangankan militer, bahkan polisi atau Satpol PP pun tak berhak membubarkannya. Kesepakatan antara Kodam Siliwangi dengan geng motor untuk tidak berkumpul selepas jam 22.00 bukanlah produk undang-undang, sehingga tidak boleh mengatasi konstitusi yang menjamin hak warga untuk berserikat dan berkumpul. Perkara isi buku juga bukan kewenangan militer untuk mengurusnya. Jikapun ada materi terlarang, pihak militer tak bisa (ikut) menyemprit. Hanya kejaksaan agung yang berhak menyita. Itupun ada prosedurnya, tidak bisa sewenang-wenang.

Pernyataan dua petinggi Siliwangi itu, di luar perkara kewenangan militer mencampuri kehidupan sipil, juga memperlihatkan keengganan militer, persisnya TNI AD, untuk memahami dinamika dan problem yang dihadapi masyarakat sipil. Jika mereka mau sedikit saja memahami persoalan rendahnya tingkat literasi di Indonesia yang dipicu berbagai kendala—yang sebagian di antaranya bersifat struktural—niscaya Siliwangi bisa lebih tenang menyikapi fenomena anak-anak muda membaca buku di taman atau menggelar perpustakaan di ruang publik pada malam hari.

Pada masa-masa paling genting dalam sejarah republik ini, Siliwangi dibanding divisi lain dikenal lebih disiplin, lebih rasional, lebih melek (aksara dan wacana), dan juga lebih paham persoalan supremasi sipil. Hijrah Siliwangi ke Jawa Tengah menjadi salah satu bukti gemilang hal-hal yang saya sebut tadi. Tanpa kedisiplinan yang tinggi, mustahil bisa melakukan hijrah. Agak sulit membayangkan jika Diponegoro atau Briwijaya yang harus hijrah.

Di Jawa Tengah, terutama di Yogyakarta, Siliwangi adalah divisi yang bisa diandalkan oleh pemerintah sipil. Mohammad Hatta saat menjadi Perdana Menteri pada 1948 sangat bergantung pada Siliwangi dengan alasan sangat jelas: Siliwangi lebih berdisiplin. Ringkasnya: Siliwangi lebih bisa diatur oleh pemerintah sipil.

Tanpa Siliwangi, Hatta nyaris mustahil berani mengambil kebijakan Rekonstruksi dan Rasionalisasi (Re/Ra) militer yang membuat puluhan ribu tentara harus pensiun dini. Siliwangi-lah yang diandalkan Hatta untuk menghadapi tentara-tentara yang kena ritul Re/Ra, sekaligus menghadapi laskar-laskar paramiliter yang dibentuk berbagai partai dan organ perjuangan. Siliwangi pula yang diandalkan untuk menggebuk Front Demokratik Rakyat/PKI yang mengambil alih kepemimpinan di Madiun pada 1948.

Salah satu faktor yang membuat Siliwangi lebih disiplin adalah kepemimpinan AH Nasution, orang yang bisa dibilang sebagai godfather Siliwangi. Ia didikan militer Belanda, bersama—di antaranya—TB Simatupang, jenderal brilian yang kemudian menjadi pendeta. Mereka percaya doktrin supremasi sipil dalam ketentaraan. Orang-orang di sekeliling Nasution kala membentuk Siliwangi juga kurang lebih berlatar belakang "isi kepala" yang mirip.

Setelah Soedirman, bisa dibilang Nasution-lah peletak dasar kemiliteran Indonesia. Setidaknya untuk salah satu alasan tambahan: dwifungsi TNI. Pendeknya, Nasution adalah perumus dwifungsi TNI. Doktrin yang menegaskan peran militer tak terbatas dalam pertahanan dan keamanan, namun juga dalam urusan politik ini, kemudian menjadi fondasi militer Indonesia, khususnya TNI AD, untuk memasuki banyak sektor kehidupan masyarakat sipil dalam berbagai tingkatan—dari mulai "jatah" tentara di MPR hingga kelahiran Babinsa.

Jika ditarik benang merahnya, seluruh pernyataan petinggi Siliwangi memperlihatkan jejak-jejak dwifungsi TNI yang masih bertahan. Pendeknya: mereka sedang mempraktikkan sesuatu yang cetak birunya dirancang oleh leluhur mereka sendiri, Jenderal Nasution. Tapi agaknya Siliwangi kini hanya mempraktikkan separuhnya saja. Para perwira itu hanya mewarisi dwifungsi TNI yang dirancang Nasution, tapi tidak dalam hal kedekatan Nasution dengan buku.

Ya, Nasution bukan hanya representasi tentara modern, namun juga seorang jenderal pemikir. Buku-buku karangannya cukup banyak, di antaranya 11 jilid buku "Sekitar Perang Kemerdekaan" dan buku legendaris "Pokok-Pokok Gerilya".

Dua buku itu saja, sebagai contoh, memperlihatkan bacaan Nasution yang luas. Ia bukan hanya membaca dan menguasai teori-teori militer dan perang, tapi juga memahami alur sejarah Indonesia. Buku "Sekitar Perang Kemerdekaan", kendati mewakili perspektif militer dan karenanya tak bisa dipercaya sepenuhnya tanpa kritik, tetap saja memperlihatkan ketelitian, ketekunan, dan kegigihan Nasution dalam mengumpulkan, membaca dan menelaah berbagai dokumen dari masa revolusi.

Tanpa banyak membaca dan berpikir, saya kira Nasution tidak akan "sampai" di level merumuskan doktrin dwifungsi TNI yang terbukti mengubah sejarah Indonesia pada banyak hal. Dalam versinya yang sudah dimodifikasi Suharto, dwifungsi TNI menjadi demikian agresif dan menjelma sebagai sokoguru despotisme-otoritarianisme Orde Baru. Namun, militer Indonesia agaknya hanya mengambil ujungnya (dwifungsi TNI), tanpa mau mencengkeram pangkalnya (wawasan Nasution yang luas). Tak heran jika Kodam Siliwangi, juga militer Indonesia secara umum, masih bersikap paranoid dengan buku. Setiap ada sweeping buku kiri, termasuk beberapa bulan lalu, militer (terutama TNI AD) hampir tak pernah absen mengambil bagian.

Tanpa sikap yang menunjukkan wawasan luas, pikiran terbuka, serta tekad mereformasi lembaga—terutama dalam memahami dinamika perubahan yang berlangsung di mana-mana—para perwira militer seakan sedang memperlihatkan bahwa kalender di kantornya belum berganti. Wajar saja jika akhirnya mereka masih merasa berhak membubarkan sipil yang sedang berkumpul, berhak menangkapi geng motor, berhak mengontrol bacaan anak-anak muda, berhak mengatur sampai jam berapa anak-anak muda boleh nongkrong, berhak menentukan di mana anak-anak muda boleh membaca, serta buku apa saja yang diizinkan dan tidak diizinkan untuk dipelajari.

Dan untuk masih bercokolnya perasaan berhak melakukan ini dan itu di kalangan militer, tibalah giliran kita meminta pertanggungjawaban para pemimpin sipil yang diam mencari aman serta tak bisa tegas melindungi hak-hak sipil—entah itu pemimpin setingkat walikota, gubernur, dan yang paling utama: Presiden!

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.