tirto.id - Soeharto mendapat gelar Bapak Pembangunan pada 1980an, atau lebih dari 10 tahun setelah menjadi presiden. Pemberian gelar adalah inisiatif Ali Murtopo yang kala itu menjabat Menteri Penerangan, juga atas desakan dari Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI) dan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).
Kini, gelar yang mirip akan disematkan kepada Joko Widodo, namanya "Bapak Pembangunan Desa", bahkan sebelum usia pemerintahannya mencapai lima tahun (Jokowi dilantik jadi Presiden RI ke-7 pada 20 Oktober 2014).
Gelar rencananya diberikan dalam acara Silaturahmi Nasional Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia di Gelora Bung Karno pada 30 Maret 2019. Kegiatan ini akan dihadiri 80 ribu sampai 100 ribu kepala dan perangkat desa dari 416 kabupaten/kota, juga Jokowi sendiri.
Menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Hadi Prabowo, tidak seperti Soeharto yang gelarnya diusahakan pembantu/menterinya sendiri, dalam kasus ini pemerintah tidak campur tangan sama sekali.
Memberikan gelar ke Jokowi murni usulan Badan Koordinasi Nasional Pembangunan, Pemerintahan, Pemberdayaan dan Kemasyarakatan Desa (Bakornas P3KD).
"Itu semua adalah merupakan inisiatif, ide, gagasan orisinal dari mereka [Bakornas P3KD]. Jadi dalam hal ini, Kemendagri dan Kemenkopolhukam tidak ada keikutsertaannya," ujar Hadi dalam keterangan tertulisnya, Rabu (20/3/2019).
Mengutip Tempo, panitia mengatakan gelar diberikan karena pada era Jokowilah muncul program dana desa yang sangat membantu. Dana desa juga terus naik dari tahun ke tahun. Pada 2016, pemerintah menggelontorkan duit Rp46,9 triliun, meningkat jadi Rp60 triliun pada 2017 dan Rp68 triliun pada 2018.
Sementara tahun ini, alokasi anggarannya mencapai Rp73 triliun.
Menurut Rusli Abdullah, peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Jokowi tidak tepat diberi gelar itu karena faktanya dana desa bisa ada karena ada Undang-undang Desa ynag dibuat legislatif dalam hal ini DPR.
"Tanpa Undang-Undang itu Pak Jokowi enggak bisa bentuk Kementerian Desa dan menyalurkan dana desa," kata Rusli kepada reporter Tirto, Rabu (20/3/2019).
Rusli juga mengatakan pemberian gelar hanya dengan alasan dana desa tak tepat. Soalnya, program ini belum benar-benar teruji, bahkan masih bolong di sana-sini.
"Ada dana desa oke, duitnya banyak, ya, oke, tapi ada PR lain yang perlu diselesaikan 5-10 tahun lagi. Sehingga penyematan gelar ini kurang tepat karena hasilnya baru kelihatan separuh," kata Rusli.
Salah satu pekerjaan rumah yang dimaksud adalah dana desa diniai belum bisa memeratakan ekonomi masyarakat pedesaan. Yang terjadi justru ketimpangan semakin lebar. Misalnya di sektor pertanian. Menurut Rusdi, dana desa hanya menyasar para pemilik lahan atau pengusaha yang bergerak di bidang infrastruktur.
Pendapatan dari pengelolaan lahan tetap dikuasai pemilik lahan, sementara petani penggarap hanya menikmati sebagian kecil dari itu. Hal ini diperkuat dengan jumlah pengangguran di desa yang tetap tinggi. Bahkan berdasarkan data Badan Pusat Statistik, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Agustus 2018 naik dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya, dari 4,01 persen jadi 4,04 persen.
Hal serupa sempat disinggung Muhtar Habibi dalam kolomnya di Tirto. Dia bilang, ketimpangan terjadi karena asumsi yang salah dari pemerintah: bahwa mereka membayangkan masyarakat desa relatif homogen dan harmonis dalam tradisi gotong royong, padahal sebetulnya tidak. Di desa pun ada elite.
"Bagi mereka yang cukup akrab dengan studi agraria kritis pedesaan akan sulit untuk tidak menemukan bahwa sebagian kecil elite di desa mengakumulasi kekuasaan ekonomi, sosial, dan politik untuk mendominasi ekonomi pedesaan (baik melalui penguasaan tanah maupun bisnis di luar pertanian) dan menguasai jabatan politik. Sebaliknya, barisan pekerja tak bertanah mesti menggarap lahan tetangganya yang lebih makmur, entah di sawahnya atau di tempat lain," kata Muhtar.
Ini belum termasuk masalah penyelewengan. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, dalam enam bulan pertama 2018, sudah ada 27 kasus korupsi dana desa yang sudah naik ke tahap penyidikan. Sementara pada 2017, ICW mencatat ada 98 kasus.
Untuk masalah ini Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo berjanji segera memperbaikinya. "Saya yakin tidak mungkin tidak ketahuan," kata Eko, November tahun lalu.
Perkara Politik
Kritik juga muncul dari Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi. Ferdinand Hutahaean, jubir BPN, mengaitkan pemberian gelar dengan hari pencoblosan presiden-wakil presiden yang kurang dari satu bulan lagi. Menurutnya Jokowi "mestinya tahu diri" dan gelar Bapak Pembangunan Desa adalah "lelucon."
"Orang yang belum berbuat apa-apa mendapat gelar. Ini akan menjadi catatan buruk bagi bangsa kita. Sejarah bangsa kita. Ini akan menjadi lelucon," kata Ferdinand kepada reporter Tirto.
Karenanya, ia mendesak acara tersebut dibatalkan saja. Uang yang dipakai untuk menggelar acara sebaiknya dialokasikan untuk keperluan lain.
"Kami berharap acara ini akan dibatalkan oleh Kemendagri karena menggunakan anggaran yang cukup besar. Kalau ratusan miliar itu digunakan untuk membangun desa, kan, sudah bisa berapa jalan rusak yang diperbaiki. Kita fokus ke situ," katanya.
Tapi bagi Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Abdul Kadir Karding, sama sekali tak ada yang salah dari pemberian gelar. Dia menyebut ini bukan perkara waktu yang mendekati pemilu, tapi tentang "apa yang dirasakan masyarakat."
"Wajar kalau dikatakan Bapak Pembangunan Desa karena di era Jokowilah desa-desa ini berkembang maju. Jadi saya kira apa yang dilakukan Bakornas itu patut kita apresiasi," katanya kepada reporter Tirto.
Penulis: Rio Apinino
Editor: Mufti Sholih