Menuju konten utama

Dana Desa Belum Bisa Atasi Kesenjangan Desa-Kota

Kendati pemerintah telah menggelontorkan dana desa triliunan rupiah, kesenjangan desa dan kota masih tinggi.

Dana Desa Belum Bisa Atasi Kesenjangan Desa-Kota
Seorang warga melintasi jalan yang dibangun dengan menggunakan dana desa di Desa Kabobona, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Senin (21/3). Data Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) menyebutkan, hingga 2016 dana desa telah membangun jalan desa sepanjang 66.179 kilometer. ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah.

tirto.id - Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengungkapkan kekhawatirannya terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dinilai belum bisa menyejahterakan masyarakat. Secara spesifik, Mardiasmo menyorot ketimpangan yang terjadi di antara masyarakat daerah dengan masyarakat perkotaan, padahal dana desa yang dialokasikan dari APBN jumlahnya terus meningkat setiap tahun.

“Transfer ke daerah dulu masih sekitar Rp300 triliun, tapi tahun ini sudah Rp765 triliun. Dari jumlah yang banyak tersebut, hasilnya tidak sejalan, tidak nendang. Warga masih gigit jari,” kata Mardiasmo di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (4/3/2017).

Dikatakan oleh Mardiasmo, besaran dana desa tersebut tidak akan berhenti pada kisaran Rp765 triliun saja. Pemerintah telah berniat untuk meningkatkan dana desa agar berada di kisaran Rp900 triliun. “Akan tetapi, tetap masih saja ada ketimpangan, kesenjangan, dan gini rasio 0,41,” ujar Mardiasmo.

Oleh karena itu, Mardiasmo mengungkapkan, pemerintah masih memiliki segudang pekerjaan rumah untuk diselesaikan. Lantaran itu ia mengimbau adanya sinergi yang baik antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, sehingga dana desa dapat digunakan seefektif mungkin. “Perlu inline antara APBN dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Selain itu, dibutuhkan juga sinergi fiskal, moneter, jasa keuangan, dan pelaku usaha,” ucap Mardiasmo.

“Sinergi ini bisa untuk mengurangi pengangguran dan ketimpangan. Sudah saatnya mengakselerasi agar apa yang telah direncanakan dapat diimplementasikan dan ada hasilnya,” tambah Mardiasmo.

Selain menjalankan peran sebagai akselerator dalam menyinergikan kebijakan antara pemerintah pusat dengan daerah, sejumlah kebijakan seperti reforma agraria, perluasan akses informasi pasar keuangan dan permodalan, serta pengembangan sumber daya manusia (SDM) juga dinilai perlu dilakukan dalam rangka mengatasi kesenjangan.

“Penganggaran SDM akan dioptimalkan untuk vokasi agar mempunyai sertifikasi keterampilan sehingga bisa menjadi cikal bakal produktivitas dan daya saing,” ujar Mardiasmo lagi.

Sementara itu, masih dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta menyampaikan kualitas SDM Indonesia yang ternyata lebih rendah dibandingkan Malaysia dan Turki. Pernyataan Arif tersebut berdasarkan laporan terbaru dari United Nations Development Programme yang dirilis Maret lalu.

“Indonesia ada di ranking 113 dengan skor 0,689. Padahal Malaysia ada di peringkat 59 dengan skor 0,789, sementara Turki di peringkat 71 dengan skor 0,767,” ucap Arif.

Lebih lanjut, Arif mengatakan pembangunan manusia yang berkualitas sebenarnya dapat mendorong tumbuhnya perekonomian Indonesia ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu, fokus dari Presiden Joko Widodo untuk melakukan pemerataan di berbagai daerah dinilai sudah tepat. “Pemerataan berimplikasi pada pembangunan manusia. Yang mana pada akhirnya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi,” kata Arif.

Baca juga artikel terkait KESENJANGAN SOSIAL atau tulisan lainnya dari Damianus Andreas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Agung DH