Menuju konten utama

Suara-suara Mendorong Perombakan Direksi BUMD DKI

Kinerja beberapa BUMD DKI Jakarta tak sesuai harapan. Kondisi ini membuat para politisi dan anggota parlemen DKI Jakarta mendorong perombakan di tengah masa transisi kepemimpinan gubernur DKI Jakarta.

Suara-suara Mendorong Perombakan Direksi BUMD DKI
Direktur Bisnis PT. Bank DKI, Antonius Widodo Mulyono (ketiga dari kiri) bertumpu tangan bersama Direktur Utama PD. Pasar Jaya, Arief Nasrudin (tengah) dan jajaran manajemen PD. Pasar Jaya pada acara Sinergi BUMD antara PT. Bank DKI dengan PD. Pasar Jaya di Jakarta, Rabu (22/3). Bank DKI memberikan sosialisasi terkait produk UMKM serta pembahasan tambahan modal kerja maupun kredit investasi bagi para pelaku UMKM. ANTARA FOTO/HO/Irwan/ama/17

tirto.id - Suara-suara perombakan posisi direksi di Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) DKI Jakarta mulai mengemuka. Padahal pergantian kepemimpinan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta masih menyisakan beberapa bulan ke depan.

Ketua DPD DKI Gerindra Muhammad Taufik salah satu yang bersuara. Ia meminta gubernur dan wakil gubernur terpilih periode 2017-2022 Anies Baswedan-Sandiga Uno mengevaluasi kinerja sejumlah direksi BUMD DKI Jakarta. Hal ini menurutnya agar kinerja BUMD selaras dengan visi-misi yang akan diterapkan Anies-Sandi setelah dilantik Oktober mendatang.

“Saya menyarankan gubernur baru mengevaluasi total. Banyak toh BUMD kita. Karena itu dievaluasi, hasilnya apa, kalau perlu diganti ya diganti direksinya,” katanya saat dihubungi Tirto, Sabtu (8/7/2107).

Ia juga mengatakan banyak BUMD yang tidak mandiri dan tidak memberikan sumbangan yang signifikan bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) DKI Jakarta. Padahal dana suntikan yang berasal dari Penyertaan Daerah (PMD) maupun dana pinjaman lainnya telah mengalir cukup besar. “Enggak usah takut. Mengganti direksi bukan barang haram. Saya sih melihatnya bahwa BUMD kita masih disuapin terus. Masih minta semua,” ujar Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta ini.

Ketua Komisi C DPRD Santoso mengatakan bahwa berdasarkan hasil evaluasi DPRD, banyak BUMD yang memang harus diperbaiki pengelolaan serta diganti jajaran direksinya. Dari 27 BUMD, misalnya, dua yang sering mendapatkan rapor merah adalah PT Cemani Toka di bidang industri dan perdagangan, dan PT Jakarta Tourisindo yang bergerak di bidang perhotelan dan pariwisata. Politikus Partai Demokrat ini mengatakan, beberapa kali DPRD juga telah meminta pemerintah untuk melakukan langkah-langkah guna perbaikan kinerja dan penyelamatan kedua BUMD tersebut.

“Kalau Cemani Toka, keuangannya bermasalah karena dulu pernah pinjam pakai dolar, pas krisis 1998. setelah itu kan dolar naik,” ujar Santoso.

Sementara, PT Jakarta Tourisindo sedang merugi hingga Rp16 miliar karena pengelolaan yang tidak profesional. “Kita minta Pemda lakukan evaluasi direksi dan komisaris Jakarta Tourisindo untuk diganti, sementara PT Cemani Toka kita minta agar dijual,” ujar Santoso.

Selain PT Cemani Toka dan PT Jakarta Tourisindo, beberapa BUMD lain juga dianggap bermasalah dan tidak memberikan pemasukan yang signifikan bagi PAD. Dari sekitar Rp8 triliun yang digelontorkan sebagai modal (PMD) pemasukan yang didapat oleh Pemda hanya sampai Rp1 triliun.

Anggota Komisi B Prabowo Soenirman mengemukakan PT Pembangunan Jaya Ancol yang biasanya menguntungkan juga sedang mengalami penurunan pendapatan. “Labanya kan Rp270 miliar di tahun 2015, tapi menjadi kurang lebih Rp150 miliar di tahun 2016. Ini sedang kita evaluasi,” katanya.

Kendati demikian, ia meminta agar tak semua direksi di BUMD DKI Jakarta diganti. Sebab memang ada beberapa BUMD yang sudah baik dari segi pendapatan dan bisa diusulkan sebagai badan usaha mandiri yang tidak lagi mengandalkan PMD dari Pemda.

“Prinsipnya kita akan lakukan evaluasi pasti, karena mereka dapat PMD. Dan ke depan pemberian PMD untuk mereka juga akan kita evaluasi,” katanya.

“Yang bisa jadi mandiri mungkin PD Pasar Jaya, Ancol sebenarnya juga bisa, Bank DKI, dan food station juga. Kalau kemampuan keuangan sudah baik tinggal pengelolaan saja diperbaiki," kata politikus Gerindra ini.

Direktur Utama (Dirut) PT Jakarta Tourisindo Emeraldo Parengkuan mengatakan, kurang baiknya pelayanan serta infrastruktur, membuat Hotel Cempaka, lini bisnis yang dikelola perseroan kalah bersaing dengan hotel-hotel lain yang ada di Jakarta. Apalagi, sejak 2014, hotel tersebut mulai kehilangan pelanggan tetapnya yang rata-rata berasal dari kementerian dan instansi pemerintah.

“Kalau kami kan pelanggan tetapnya dulu berasal dari kementerian, instansi pemerintahan atau dinas-dinas. Sejak 2015 sebelum saya masuk, kami sudah kehilangan mereka,” katanya saat dihubungi Tirto, Sabtu (8/7/2017).

Menurutnya, ada banyak hal yang menyebabkan Jakarta Tourisindo kalah bersaing. Namun, ia menyebut bahwa hal tersebut bukan semata perkara manajemen melainkan juga masalah dana dan peraturan yang ada di Pemprov DKI Jakarta

Dalam hal pelayanan, misalnya, ia mengatakan dibutuhkan dana yang besar untuk meningkatkan kualitas dengan mengganti Sumber Daya Manusia yang ada. Sebab, sebagian besar karyawan Hotel Cempaka saat ini adalah orang-orang yang sudah berumur dan berstatus karyawan tetap.

“Waktu saya diwawancara sama Pak Ahok, beliau sudah bilang kalau perlu ganti saja karyawan-karyawan yang sekarang. Ternyata kan tidak semudah itu. Butuh banyak dan juga untuk membayar pesangon mereka waktu diberhentikan atau dipensiunkan dini,” ujarnya.

Parahnya lagi, rata-rata karyawan lama tersebut tidak memiliki basic ilmu atau berasal dari bidang perhotelan. Ia menyebut ada sekitar 580 pegawai yang bahkan belum bersertifikasi saat ia masuk ke jabatan Direktur Utama pada April 2016. Sementara itu, di hotel-hotel lain di Jakarta, pelayanan dilakukan secara maksimal dan dengan SDM yang lebih muda.

Ia mengatakan, yang bisa dilakukan olehnya hanya memberikan pelatihan dan motivasi kepada pegawai agar bisa bersaing dengan hotel lain dalam hal pelayanan. Ada sekitar 200 karyawan yang sudah mendapat sertifikat dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Hal itu sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 52 tahun 2012 tentang Sertifikasi Kompetensi dan Sertifikasi Usaha di Bidang Pariwisata.

“Akhirnya yang bisa dilakukan ya memberikan pelatihan. Saya terus kasih motivasi juga supaya mereka bisa bekerja lebih maksimal. Sampai saat ini kali sudah ada sekitar 200 yang sudah dapat sertifikat.”

Emeraldo mengaku telah berkali-kali meminta dana PMD dari Pemprov DKI. Namun, usaha untuk mendapatkan modal dari APBD tersebut belum kesampaian hingga sekarang. Padahal, dalam rapat evaluasi di komisi C DPRD, para anggota yang hadir menyarankan agar Jakarta Tourisindo meminta suntikan modal dari Pemprov.

“Saya sudah coba dari APBD-P 2016, APBD 2017 juga saya ajukan, dan di APBD-P sekarang saya juga sudah ajukan tapi belum ada kabar. Kami sadar diri juga karena biasanya modal itu kan diberikan pada BUMD yang ditunjuk kaya Jakpro contohnya,” kata Emeraldo.

PergantianSetelah Djarot Lengser

Pemerhati Kebijakan Publik Budgeting Metropolitan Watch (BMW), Amir Hamzah, menilai penggantian beberapa direksi BUMD memang diperlukan untuk melakukan perbaikan kinerja. Namun, menurutnya pergantian tersebut harus dilakukan setelah masa kepemimpinan Djarot Saiful Hidayat selesai. Sebab, pergantian pejabat BUMD bukan semata persoalan manajemen melainkan juga politik.

Amir mencontohkan, beberapa direksi BUMD pada masa kepemimpinan Ahok-Djarot bisa jadi diangkat berdasarkan kedekatan pribadi atau kepentingan politik. Sehingga jika pergantian dilakukan sebelum Anies-Sandi dilantik, maka direksi BUMD yang baru bisa disalahkan karena kinerja direksi BUMD era Ahok-Djarot.

“Makanya kalau ada yang terima duduk di BUMD sekarang lalu Anies-Sandi menjabat, dia harus tanggungjawab padahal kesalahan itu bukan dilakukan dia,” katanya saat dihubungi Tirto.

Evaluasi BUMD menurutnya juga perlu dilakukan untuk mengetahui berapa perusahaan yang harusnya dijual dan berapa yang berpotensi untuk dapat mandiri. “Tahun lalu kan BUMD dapat Penyertaan modal dari Pemerintah triliunan rupiah. Harusnya sebelum diberi PMD yang begitu besar mereka diaudit dulu. Karena perusahaan itu saat dibentuk kan sudah ada modal dari pemerintah, masa dimodalin lagi,” ujarnya.

Apalagi penyertaan modal yang tak dibarengi dengan pendapatan yang signifikan untuk kas daerah dan dilakukan hanya untuk menghabiskan anggaran yang penyerapannya yang rendah.

“Ada seperti Bank DKI, Jakarta Propertindo yang dapat triliunan dari 2016 saja kalau nggak salah sekitar Rp10 triliun. Karena kemarin penyerapannya kan kurang, sehingga untuk penyerapan anggaran banyak bisa dihabiskan untuk Penyertaan Modal. Jakpro misalnya mereka kan punya kewajiban untuk bikin infrastruktur untuk proyek Asian Games nanti, seperti proyek balapan sepeda di Rawamangun dan beberapa proyek lainnya termasuk LRT,” katanya.

Amir berharap agar pemerintah DKI Jakarta selanjutnya dapat melakukan perbaikan besar-besaran dalam pengelolaan BUMD di Jakarta. “Makannya kita harapkan gubernur baru nih mudah-mudahan lebih bisa menghitung, apalagi Pak Sandi kan pengusaha. Bisa lebih menghitung lah dia supaya nilainya bisa maksimal,” katanya.

Baca juga artikel terkait BUMD atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Politik
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Jay Akbar