tirto.id - Pengertian kota yang selama ini sering dipakai di Indonesia adalah suatu tempat konsentrasi penduduk, yang lebih padat daripada wilayah di sekitarnya, karena terjadi pemusatan kegiatan fungsional yang terkait dengan aktivitas atau kegiatan penduduknya.
Dalam rumusan lain yang kerap pula digunakan di Indonesia, mengutip Modul Perencanaan Kota terbitan UT, kota didefinisikan sebagai wilayah permukiman berpenduduk relatif besar, luas areal terbatas, pada umumnya bersifat nonagraris, kepadatan populasinya relatif tinggi, serta menjadi tempat sekelompok orang yang bertempat tinggal di kawasan geografis tertentu yang cenderung memiliki pola hubungan rasional, ekonomis dan individualistis.
Adapun merujuk Kamus Pengembangan Wilayah terbitan Kementerian PUPR (2016), pengertian kota ialah daerah pemusatan penduduk, dengan kepadatan tinggi serta fasilitas modern, dan sebagian besar masyarakatnya bekerja di luar pertanian, sekaligus cenderung berpola hubungan rasional, ekonomis, dan individualistis.
Menurut sumber yang sama, definisi istilah lain yang menunjukkan kawasan kota, yakni perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, serta kegiatan ekonomi.
Selama ini, ada perbedaan pendapat di kalangan para ahli mengenai definisi kota (city) serta perkotaan (urban). Dua kata itu sering "dipertentangkan" dengan istilah desa (village) dan perdesaan (rural).
Muhammad Nuh dan Suhartono Winoto dalam bukuKebijakan Pembangunan Perkotaan (2017:7) menulis, apabila dikelompokkan, beragam rumusan pengertian kota bisa dibedakan menjadi 2.
Pertama, kota dilihat dari definisi umum sebagai suatu daerah terbangun yang didominasi oleh penggunaan lahan untuk kegiatan non-pertanian, dengan jumlah penduduk serta intensitas pemakaian tanah yang tinggi. Definisi ini menekankan fungsi kota untuk kegiatan non-pertanian, permukiman banyak penduduk, dan pemusatan aktivitas ekonomi maupun pelayanan jasa.
Kedua, definisi kota dikaitkan secara khusus dengan administrasi pemerintahan. Dalam definisi ini, kota dimaknai sebagai bentuk pemerintahan daerah yang meyoritas wilayahnya merupakan kawasan perkotaan.
Definisi pertama lebih sering digunakan dalam studi geografi maupun perencanaan kota. Sebab, rumusan tersebut lebih jelas dalam membedakan mana wilayah yang disebut kota dan bukan, atau desa.
Kota menjadi obyek kajian penting dalam ilmu geografi karena wilayah ini bisa berkembang secara cepat dan juga berkaitan erat dengan kehidupan banyak orang yang menghuninya. Salah satu yang dikaji dalam geografi adalah pola keruangan kota.
Macam-macam Pola Keruangan Kota
Kota pada umumnya bukanlah wilayah yang benar-benar sudah menjadi kawasan perkotaan sejak awal dibangun. Biasanya, wilayah kota semula berupa kawasan perdesaan yang kemudian berkembang secara bertahap menjadi makin ramai, padat penduduk dan tambah lengkap fasilitasnya, serta akhirnya berubah rupa sebagai perkotaan.
Merujuk publikasi LPPM UNY (2012) bertajuk "Pola Keruangan Desa dan Kota," keberadaan berbagai fasilitas dan beragam aktivitas di perkotaan kemudian bisa membentuk struktur ruang kota yang khas. Struktur ruang kota itu berbeda dari yang ada di desa, dan juga bisa tidak sama antar-kota.
Struktur ruang kota merujuk pada semua yang ada di sebuah kota, baik bentang alam (bukit, gunung, sungai dan lain sebagainya) maupun yang dibangun manusia (gedung, permukiman, fasilitas industri, saranan transportasi) di permukaan bumi.
Struktur ruang kota biasanya memiliki bentuk dan pola tertentu sesuai dengan perkembangan masing-masing dari setiap kawasan perkotaan. Sebagai contoh, di Pulau Jawa, kota-kota pada umumnya dibangun dengan pusat yang terdiri atas alun-alun, masjid agung, kantor pemerintahan, pusat pertokoan, pasar besar, dan rumah sakit. Hal ini tentu tidak ditemukan di negara-negara lain, atau sebagian kota di luar Jawa.
Pola keruangan kota juga bisa menunjukkan skema perkembangan wilayahnya. Dari segi perkembangan wilayah kota, mengutip modul Geografi XII KD 3.2 dan 4.2 (2020) terbitan Kemdibud, setidaknya ada 4 pola yang sering kali terjadi.
Keempat pola perkembangan ruang kota tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pola sentralisasi, yakni pola yang terjadi ketika persebaran kegiatan di kota cenderung mengelompok pada satu wilayah utama.
2. Pola desentralisasi, yakni pola yang terjadi saat persebaran kegiatan di kota cenderung menjauhi pusat atau inti wilayah utama.
3. Pola nukleasi, yaitu pola yang terjadi menyerupai pola sentralisasi, tapi skala ukurannya lebih kecil. Dalam pola nukleasi, inti kegiatan kota masih berada di wilayah utama.
4. Pola segresi, yakni pola yang ditandai dengan persebaran kegiatan kota terpisah-pisah berdasarkan pada situasi sosial, ekonomi, budaya, dan lain sebagainya.
Struktur keruangan kota juga bisa dianalisis dengan berbagai macam teori atau pendekatan. Setidaknya terdapat 4 teori struktur kota, yakni teori konsentris, teori inti ganda, teori sektoral, dan teori ketinggian bangunan. Berikut ini penjelasannya.
Struktur Keruangan Kota Menurut Teori Konsentris
Teori konsentris dikembangkan Ernest Watson Burgess (1886-1966), seorang sosiolog dari Amerika Serikat yang mendalami pula kajian perkembangan kota. Teori konsentris lahir dari studi yang dilakukan oleh Burgess terhadap ruang kota Chicago, AS.
Dalam teori konsentris, kawasan sebuah kota bisa berkembang dan menunjukkan pola penggunaan lahan yang konsentris. Menurut Burgess, suatu kota akan berkembang membentuk lima zona konsentris. Setiap zona yang muncul akan mencerminkan pola penggunaan lahan tertentu.
Adapun perincian 5 zona kota menurut teori konsentris adalah sebagai berikut:
1. Daerah pusat kegiatan (central business district)
Zona ini adalah pusat kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Karena itu, di zona ini, ada banyak fasilitas utama untuk kegiatan sosial, ekonomi, politik, hingga budaya. Jaringan transportasi kota juga memusat ke zona ini. Akibatnya, zona pusat kegiatan juga memiliki aksesibilitas yang tinggi.
Biasanya, di zona pusat kegiatan, terdapat gedung-gedung pemerintahan, pusat pertokoan besar, bangunan perkantoran yang bertingkat (gedung pencakar langit), bank, hotel, restoran, stasiun, dan lain sebagainya.
2. Zona peralihan (transition zone)
Zona ini banyak dihuni oleh golongan penduduk berpenghasilan rendah dan para migran yang datang atau belum lama melakukan urbanisasi dari desa. Maka itu, zona ini berkembang menjadi kawasan sesak dan padat.
Aktivitas perdagangan dan industri di Zona Pusat Kegiatan yang terus meningkat mendorong permukiman murah bergeser ke area zona kedua ini. Zona ini pun mengalami penurunan kualitas lingkungan permukiman yang terus-menerus. Karena itu, di zona kedua ini, kerap muncul daerah permukiman kumuh (slums area), dan banyak dari penduduknya juga miskin.
3. Daerah tempat tinggal para pekerja (zones of working men’s home)
Perumahan di zone ketiga ini umumnya lebih baik serta sudah teratur. Mayoritas penghuni zona ketiga ini adalah bekas penghuni zona kedua yang berprofesi sebagai pekerja pabrik, karyawan, dan lain sebagainya.
Keberadaan permukiman pekerja berpenghasilan rendah di zona ketiga ini ditandai dengan banyaknya rumah-rumah kecil maupun rumah susun sederhana yang dihuni keluarga besar. Kondisi permukiman di zona ketiga lebih baik dibandingkan dengan zona kedua, meski mayoritas penduduknya masuk kategori menengah ke bawah.
4. Daerah tempat tinggal kelas menengah (zone of middle class dwellers)
Kawasan ini dihuni oleh kelas menengah yang terdiri dari pekerja profesional, pemilik usaha, pengusaha, pegawai berpenghasilan menengah ke atas, dan sejenisnya. Perumahan penduduk di zona ini berupa rumah-rumah pribadi yang lumayan besar dan tertata rapi. Biasanya, ada pusat pertokoan kecil untuk memenuhi kebutuhan warga yang ada di zona keempat ini.
Mengingat status ekonomi penduduknya sudah di level menengah-atas, kompleks perumahan di zona keempat ini sudah dibuat dengan perencanaan yang baik, teratur, nyaman dan memiliki fasilitas memadai.
5. Daerah tempat tinggal para penglaju (zone of commuters)
Zona kelima ini berupa kawasan yang sudah memasuki daerah belakang kota (hinterland), atau batas desa-kota. Penduduk yang bekerja di kota tetapi bertempat tinggal di pinggiran kota merupakan penghuni zona ini.
Zona kelima ini merupakan bagian terluar dari kota dan merupakan kawasan perumahan mewah. Pada lapisan ini hanya ditempati oleh mereka yang mempunyai kendaraan pribadi sehingga dapat pulang-pergi ke tempat kerja di pusat kota. Zona ini berkembang sebagai kawasan yang memicu tumbuhnya kota-kota satelit.
Struktur Keruangan Kota Menurut Teori Inti Ganda (Harris-Ullman)
Teori inti ganda dikembangkan pertama kali ole C.D. Harris dan F.L. Ullmann (1945). Mereka beranggapan bahwa struktur ruang kota tidak tumbuh dalam ekspresi keruangan yang memiliki satu pusat kegiatan. Namun, terbentuk secara terus-menerus sehingga muncul beberapa pusat kegiatan baru di kota yang saling terpisah.
Menurut teori inti ganda, struktur ruang kota tidak memiliki urutan yang teratur. Jadi, tidak seperti teori konsentris yang menganggap struktur ruang kota sudah tertata rapi. Teori inti ganda menganggap sangat mungkin tercipta sejumlah titik pusat pertumbuhan baru di suatu kota.
Maka itu, teori inti ganda menganggap ada beberapa inti kota dalam suatu wilayah perkotaan. Misalnya kompleks
pusat pemerintahan, pelabuhan, kompleks kegiatan ekonomi (pasar dan mall), dan lain sebagainya, yang muncul tidak di satu area yang tergabung.
Kawasan yang disebut sebagai inti kota (core of city) adalah CBD (Central Business Districts) yang menjadi tempat atau wilayah pusat berbagai kegiatan, termasuk aktivitas ekonomi, pemerintahan, pendidikan, dan sejenisnya.
Struktur ruang kota menurut teori inti ganda adalah sebagai berikut:
- Pusat kota atau CBD
- Kawasan niaga dan industri ringan
- Kawasan murbawisma atau permukiman kualitas rendah
- Kawasan madyawisma atau permukiman kualitas sedang
- Kawasan adiwisma atau tempat tingga kualitas tinggi
- Pusat industri berat
- Pusat niaga atau perbelanjaan lain di pinggir kota
- Upakota (Sub-urban) untuk kawasan madyawisma dan adiwisma
- Upakota (Sub-urban) untuk kawasan industri.
Struktur Keruangan Kota Menurut Teori Sektoral
Teori sektor atau sektoral dikemukakan oleh Homer Hoyt, seorang ahli ekonomi dari Amerika Serikat yang populer sebagai perintis kajian perencanaan, penggunaan lahan, serta zonasi ekonomi.
Menurut teori sektoral, struktur ruang kota bisa berkembang karena ada sektor-sektor yang membentuk sejumlah lingkaran konsentris. DPK atau CBD memang masih berada di pusat kota, tapi bagian-bagian lainnya berkembang menurut sektor-sektor yang bentuknya menyerupai irisan kue tart.
Perkembangan seperti ini bisa terjadi karena ada pengaruh faktor geografis alami maupun buatan, seperti bentuk lahan, pengembangan jalan, serta penyediaan sarana komunikasi dan transportasi.
Teori sektor membagi wilayah kota menjadi lima bagian, yaitu sebagai berikut:
1. Daerah Pusat Kota atau CBD, terdiri atas pusat ekonomi, sosial, pemerintahan, dan budaya.
2. Zona wholesale light manufacturing yang terdiri atas industri kecil dan perdagangan.
3. Zona permukiman kelas rendah yang menjadi tempat tinggal pekerja industri di kota dengan penghasilan kecil.
4. Zona permukiman kelas menengah yang ditinggali oleh penduduk kota dengan penghasilan tinggi.
5. Zona permukiman kelas tinggi, yaitu permukiman golongan kelas atas di kota.
Struktur Keruangan Kota Menurut Teori Ketinggian Bangunan
Teori ketinggian bangunan dikembangkan oleh Bergell (1955). Bergell berpendapat bahwa ketinggian bangunan di wilayah kota perlu diperhatikan untuk menganalisis struktur keruangannya.
Variabel ketinggian bangunan perlu menjadi perhatian di kota-kota negara maju, karena terkait dengan hak setiap warga kota mendapatkan kehidupan yang nyaman.
Teori ini berkaitan dengan pengaturan ketinggian bangunan dengan penggunaan lahan. Hal ini berguna mencegah kesemerawutan tata ruang kota.
Editor: Iswara N Raditya