Menuju konten utama

Stop Impor Daging Sapi, RI Bisa Hemat Setara APBD Aceh!

Indonesia setidaknya hingga 2026 masih akan terus mengimpor daging sapi & kerbau untuk memenuhi 30-40% kebutuhan konsumsi domestik.

Stop Impor Daging Sapi, RI Bisa Hemat Setara APBD Aceh!
Header Prahara Impor Sapi. tirto.id/Fuad

tirto.id - Kedatangan 13 ekor sapi asal Australia di Pelabuhan Tanjung Priok pada medio 2023 lalu berujung pembatasan impor. Kebijakan ini ditempuh setelah otoritas RI mendeteksi keberadaan virus. Kulit sapi-sapi itu dipenuhi nodul atau benjolan disertai luka, ciri khas penyakit yang disebut Lumpy Skin Disease (LSD).

Pengujian laboratorium menunjukkan positif. Pada 12 Juli 2023, Pemerintah RI mulai melayangkan surat ke Australia. Negeri Kanguru punya waktu 60 hari membuktikan bahwa peternakan mereka steril. Sembari menunggu hasil penelusuran, Indonesia menghentikan sejenak impor sapi dari negara tersebut.

LSD bukan zoonosis atau penyakit hewan yang bisa menulari manusia, namun dagingnya tetap tidak layak dikonsumsi. Virus ini juga berpotensi menyebar ke ternak lokal sehingga bakal menimbulkan kerugian materil. Ia tergolong virus berbahaya karena mengganggu kesehatan hingga menewaskan sapi maupun kerbau.

Baru-baru ini, Pemerintah RI memutuskan membuka lagi pintu masuk selebar-lebarnya bagi sapi-sapi bakalan asal Australia. Pembatasan impor dicabut tak lama setelah Perdana Menteri Australia Anthony Albanese bertemu Presiden RI Joko Widodo dan pada sela-sela KTT ke-43 ASEAN di Jakarta, Kamis (7/9/2023).

Terlepas kaitannya dengan virus, Australia merupakan pemasok sapi terbanyak ke Indonesia, baik dalam kondisi hidup maupun potongan daging.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), mereka mengekspor 105 ribu ton daging sejenis lembu ke negara kita pada 2022. Nilai transaksinya mencapai USD321,7 juta atau setara Rp4,9 triliun (asumsi kurs Rp15.300/USD).

Lebih lanjut, jumlah impor daging sejenis lembu Indonesia tahun 2022 mencatatkan kenaikan 6,7% dibandingkan tahun 2021. Setelah sebelumnya membukukan penurunan di tahun karena imbas pandemi Covid-19.

Dari grafik di bawah ini, terlihat bahwa sebelumnya nilai pertumbuhan impor daging sejenis lembu bahkan di kisaran 28% secara tahunan, di mana pada 2019 realisasi impornya mencapai 262,2 ribu ton.

Pasokan dalam Negeri Minim

Peningkatan jumlah impor daging sapi Indonesia seiring dengan ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi.

Kembali mengacu data BPS, produksi daging sapi kita, meskipun berfluktuasi, tetapi menunjukkan tren positif setidaknya dalam tiga tahun terakhir. Pada tahun 2022 nilai produksinya ada di kisaran 498 ribu ton, naik 2,3% secara tahunan.

Jawa Timur tercatat sebagai provinsi penghasil daging sapi terbanyak di Indonesia bersama Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Sayangnya, meski naik, pasokan tetap belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Karena itulah Indonesia mengimpornya dari luar. Gap tersebut disinggung dalam Outlook Komoditas Peternakan Daging Sapi 2022 Kementerian Pertanian RI. Ternyata, produksi daging sapi selalu defisit dan diprediksi masih akan berlangsung hingga 2026 mendatang.

Pada 2022, defisit daging sapi dan kerbau mencapai 248 ribu ton. Tahun ini diperkirakan bertambah jadi 275 ribu ton – produksi hanya 470 ribu ton sedangkan konsumsi nasional mencapai 745 ribu ton. Begitu pula untuk tiga tahun ke depan, masing-masing kurang 286 ribu ton, 291 ribu ton, dan 307 ribu ton.

Kurun 2018-2022, produksi daging sapi nasional cenderung meningkat namun tidak signifikan. Rata-rata hanya naik 0,69% per tahun. Rendahnya produktivitas ini tak lepas dari faktor jumlah hewan ternak.

Kementerian Pertanian RI memperkirakan populasi sapi potong tumbuh 1,02% per tahun selama 2022-2026. Pada periode yang sama, populasi sapi perah diyakini bertambah 0,23% per tahun. Namun nasib berbeda dialami populasi kerbau yang turun 1,88% per tahun.

Terlebih, terdapat fakta mengejutkan bahwa defisit permintaan daging sapi terjadi saat konsumsi masyrakat kita sebenarnya masih di bawah rata-rata.

Berdasarkan data Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), penduduk kita hanya mengonsumsi 2,4 kilogram daging sapi per kapita per tahun. Sedangkan rata-rata tingkat konsumsi dunia mencapai 6,2 kilogram.

Padahal pemenuhan kebutuhan protein hewani adalah sangat penting. Dalam bab buku berjudul Ensuring Safety and Quality in The Production of Beef Volume 2 (2017), Chunbao Li menjelaskan bahwa daging sapi merupakan sumber makronutrien dan mikronutrien.

Zat gizi makro tersebut antara lain air, protein bernilai tinggi, dan lemak yang terdiri dari asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh. Daging sapi mengandung zat besi heme, seng, selenium, dan beraneka vitamin.

Semua ini penting bagi fungsi fisiologis manusia. Kekurangan nutrisi bisa menyebabkan gangguan atau penyakit. Penelitian membuktikan tidak ada kaitan antara asupan daging merah dan risiko kanker. Namun konsumsinya tetap harus seimbang.

Infografik Prahara Impor Sapi

Infografik Prahara Impor Sapi. tirto.id/Fuad

Berternak Sapi Hanya Sampingan

Guna mendongkrak populasi ternak, pemerintah menjalankan setidaknya dua program. Yakni program Upaya Khusus Percepatan Peningkatan Populasi Sapi dan Kerbau Bunting (Upsus Siwab) serta program Sapi dan Kerbau Komoditas Andalan Negeri (Sikomandan).

Upsus Siwab dan Sikomandan merupakan program optimalisasi reproduksi yang terintegrasi. Program ini tidak hanya berfokus pada penyediaan semen beku untuk inseminasi buatan (IB), tetapi juga mencakup pelatihan, pemeriksaan, penanggulangan gangguan reproduksi, hingga penyelamatan pemotongan betina produktif.

Akan tetapi dalam pelaksanaanya belum maksimal karena prosesnya hanya mempertimbangkan faktor ekologi, belum mempertimbangkan faktor pendukung seperti sumber daya manusia dan kelembagaan, teknologi dan pengembangan infrastruktur wilayah.

Ambil contoh dari sisi sumber daya manusia. Faktanya, mayoritas peternak sapi dan kerbau di Indonesia menggunakan sistem peternakan rakyat, di mana berternak bukanlah pekerjaan utama, hanya sampingan.

Sebuah penelitian yang mengevaluasi program inseminasi buatan pemerintah di Sumatera Utara menemukan bahwa hanya responden yang memiliki pekerjaan utama sebagai peternak hanya 4%, sementara sisanya berprofesi sebagai petani (45%) dan pegawai (35%).

Aktivitas beternak sapi dilakukan jika ada waktu luang dengan bertujuan sebagai tabungan untuk memenuhi kebutuhan yang memerlukan biaya besar.

Penemuan dari penelitian tersebut selaras dengan studi Pengembangan Peternakan Sapi Potong: Kebijakan Swasembada Daging Sapi dan Kelayakan Usaha Ternak (2019).

Studi tersebut menyebutkan bahwa hambatan swasembada daging sapi di Indonesia adalah peternakan sapi potong mayoritas adalah peternakan rakyat dengan sistem pemeliharaan tradisional dan kepemilikan sedikit.

Selain itu, berternak sapi tidak harus memiliki kemampuan teknologi yang khusus karena sifat usahanya hanya sambilan. Industri sapi potong juga masih lebih berkembang ke arah hilir terutama ke bisnis penggemukan, untuk memenuhi target jangka pendek.

Berdasarkan penjabaran di atas, dapat digarisbawahi bahwa selain memastikan kelancaran reproduksi sapi dan kerbau, pemerintah juga perlu fokus untuk pengembangan faktor pendukung, yakni peralihan usaha peternakan rakyat menjadi usaha berorientasi pasar yang komersil.

Kebijakan swasembada daging yang sukses tidak hanya berarti pemenuhan kebutuhan asupan nutrisi bagi masyarakat, tetapi juga menyelamatkan anggaran negara.

Secara umum status swasembada diperoleh ketika negara berhasil memenuhi setidaknya 90% kebutuhan konsumsi domestik. Atau dengan kata lain hanya boleh mengimpor maksimal 10% dari total kebutuhan.

Indonesia saat ini masih mengimpor rerata 40% kebutuhan daging sapi & kerbau dengan volume impor daging selama 2017-2022 berkisar antara 160 ribu ton-225 ribu ton. Lalu, rentang 2021-2022, devisa yang dibutuhkan untuk impor mencapai USD800 juta-USD900 juta.

Andai status swasembada diraih, maka setidaknya negara kita bisa menghemat anggaran

Rp9,1 triliun. Kemudian jika kita mampu bebas impor sepenuhnya, devisa yang dapat dihemat mencapai Rp13,8 triliun.

Nilai penghematan tersebut hampir setara dengan APDB Provinsi Aceh Tahun 2023, yang merupakan anggaran APDB terbesar se-Sumatra.

Baca juga artikel terkait IMPOR DAGING SAPI atau tulisan lainnya dari Nanda Fahriza Batubara

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Nanda Fahriza Batubara
Editor: Dwi Ayuningtyas