tirto.id - Indonesia kembali berstatus upper-middle income country atau negara berpenghasilan menengah atas. Predikat ini diperoleh lagi setelah tahun lalu pendapatan penduduknya berkisar USD4.580 versi World Bank, setara Rp68,7 juta (kurs Rp15.000/ USD). Artinya, penghasilan rata-rata orang Indonesia nyaris mencapai Rp6 juta per bulan.
Dengan uang sebanyak itu, rumah tangga yang terdiri atas empat orang mestinya bisa tidur lelap tanpa merasa kelaparan. Di Jakarta, setiap keluarga berpenghasilan Rp200 ribu per hari sudah mampu membeli bubur ayam untuk sarapan, lalu makan siang dengan menu ayam dan mengonsumsi ikan laut ketika malam.
Namun semua itu tidak akan berarti jika yang dikhawatirkan benar-benar terjadi. Mengacu Global Food Security Index (GFSI) 2022, ketahanan pangan RI tergolong moderate atau sedang. Dengan kata lain, masa depan kita belum terjamin. Indonesia berada di peringkat ke-63 dari 113 negara. Di kawasan Asia-Pasifik, ia bertengger di urutan 10 dari 23 negara.
Untuk urusan ketahanan pangan, skor Indonesia terpaut di bawah sejumlah tetangga, yakni Singapura, Malaysia dan Vietnam. Walau begitu, posisi kita masih lebih baik ketimbang Thailand, Filipina, Myanmar, Kamboja dan Laos. Tapi apapun ceritanya, ini bukan soal menang atau kalah. Ada ratusan juta perut manusia yang dipertaruhkan.
GFSI merupakan indeks model pembandingan kuantitatif dan kualitatif dinamis yang dikembangkan Economist Impact dan Corteva Agriscience. Ini bertujuan mengukur ketahanan pangan negara berkembang maupun negara maju. Penilaiannya mempertimbangkan sisi keterjangkauan, ketersediaan, kualitas dan keamanan serta keberlanjutan dan adaptasi.
Indonesia unggul dalam memastikan harga yang terjangkau. Namun di sisi lain, kemampuannya masih terbilang lemah untuk menciptakan lingkungan yang berkelanjutan serta aman pangan. Karena itu, Pemerintah RI perlu mengembangkan penelitian serta komitmen politik guna mempersiapkan diri menghadapi risiko perubahan iklim.
Selama 11 tahun terakhir, komitmen tersebut dinilai jauh dari kata cukup alias sangat lemah. Untuk urusan ini, RI menempati urutan ke-98. Negara kita tidak memiliki sistem pertanian yang cerdas iklim serta tindakan peringatan dini. Alih-alih membaik, aliran pembiayaan iklim justru turun drastis kurun 2021-2022.
Selain komitmen politik, Indonesia juga terbilang lemah soal kecukupan pasokan pangan. Dalam hal ini, posisi kita di urutan ke-85. Meski skornya meningkat sejak 2012, namun terjadi penurunan dua tahun terakhir. Sementara itu, keanekaragaman makanan juga mengkhawatirkan setelah anjlok ke peringkat 109. Variasi makanan non-tepung sungguh rendah.
Pudarnya keanekaragaman pangan di Indonesia menjadi sorotan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) dan sejatinya menjadi tugas pemerintah untuk meluruskan penyimpangan ini.
Pasalnya, menurut amanat UU No.18 Tahun 2012 tentang Pangan pasal 60 disebutkan bahwa pemerintah pusat dan daerah berkewajiban mewujudkan penganekaragaman konsumsi pangan dengan membudayakan pola konsumsi yang beragam, bergizi seimbang, dan aman.
Terlebih lagi mengingat Ibu Pertiwi mempunyai potensi keanekaragaman hayati yang tinggi. Menurut data yang dihimpun KKRP, negara kita sebenarnya punya 5.529 jenis tumbuhan pangan yang bisa dikonsumsi. Namun semua itu seolah tak berguna sejak tujuh dekade terakhir. Polanya bergeser dari beragam menjadi seragam.
Pada 1954 silam, lebih dari setengah penduduk RI atau sekitar 53,5% mengonsumsi beras dan sebagian lagi memakan singkong, jagung serta umbi-umbian. Tapi selang tiga dekade kemudian, terjadi perubahan yang signifikan. Sejak saat itu, beras menjadi bahan pangan yang tak tergantikan bagi orang Indonesia.
Jumlah warga yang mengonsumsi beras seketika mendominasi 81,1%. Selebihnya memakan singkong dan jagung. Pergeseran ini pun terus berlanjut hingga pada 2017 silam komposisinya terdiri atas beras sebanyak 74,6% dan gandum 25,4%. Pergeseran ini tidak terjadi secara tiba-tiba. Akan tetapi kebijakan Orde Baru mempercepatnya.
Impor Beras di Tengah Swasembada
Saat beras menjadi komoditas pangan utama, Indonesia pernah mencapai titik kesuksesan yang disebut swasembada. Ia pertama kali dicapai pada 1984. Berkat torehan itu, Presiden Soeharto lalu diundang oleh Direktur Jenderal Food and Agriculture Organization (FAO) Eduard Saoma pada konferensi yang berlangsung di Roma pada 1985.
Selang 38 tahun kemudian, Indonesia kembali memeroleh apresiasi dari FAO dan International Rice Research Institute (IRRI). Konon, negara kita berhasil swasembada beras kurun 2019-2022. Penghargaan ini diterima Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Jakarta. Namun kontroversi menyusul karena tak lama kemudian pemerintah mengimpor beras.
IRRI menjelaskan bahwa predikat swasembada disematkan karena Indonesia mampu memenuhi lebih dari 90% kebutuhan domestik beras. Alhasil, dengan produksi beras nasional rata-rata di atas 30 juta ton, impor beras sekitar 500 ribu ton tidak masalah.
“Akhirnya kita bisa melihat bahwa tidak ada hubungan yang linear antara produksi dengan impor. Juga tidak ada hubungan swasembada dengan impor. Artinya, penghargaan FAO tidak bisa menghentikan impor beras. Ironis memang tapi itu faktanya,” ujar Koordinator KRKP Said Abdullah.
Jika merujuk Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11 Tahun 2018 tentang Penetapan Jumlah Cadangan Beras Pemerintah Daerah, Said membenarkan bahwa hampir setiap tahun Indonesia sejatinya sudah mencapai swasembada. Menurutnya kebijakan impor diputuskan bukan karena pertimbangan produksi. Melainkan tingkat serapan beras.
“Dengan data ini kita bisa ajukan pertanyaan, impor untuk apa? Dan untuk kepentingan apa?” kata Said.
Dalam penelitian berjudul Analisis Faktor-Faktor Pengaruh Terjadinya Impor Beras di Indonesia Setelah Swasembada Pangan (2022), Lutfianasari Hasanah menyimpulkan empat faktor yang memengaruhi Indonesia kembali mengimpor beras setelah swasembada pada 1984 silam. Yakni produksi, konsumsi, lahan padi dan Produk Domestik Bruto.
Menurut Peter Warr dalam penelitian berjudul Food Security vs Food Self-Sufficiency: The Indonesian Case (2011), mengandalkan pasar internasional untuk memenuhi kebutuhan konsumsi penduduk Indonesia yang terus bertambah dianggap sangat berbahaya. Apalagi ketahanan pangan merupakan tujuan sosial yang penting.
Di sisi lain, kebijakan pembatasan impor melalui sistem tarif mendukung upaya swasembada pangan, tetapi itu berisiko mengorbankan ketahanan pangan itu sendiri. Pasalnya, kebijakan tersebut menekan impor melalui mekanisme menaikkan harga domestik. Warga miskin menanggung beban terbesar dari kebijakan ini.
Strategi terbaik untuk meningkatkan swasembada adalah mempromosikan produktivitas pertanian. Langkah ini mampu menekan laju impor tanpa menaikkan harga pangan. Dengan begitu, ia bisa menghindari konflik sekaligus mengentaskan kemiskinan.
Lebih lanjut, Deputi Bidang Kebijakan dan Pembangunan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Mego Pinandito, menyampaikan bahwa swasembada pangan merupakan bagian penting untuk mencapai ketahanan dan kedaulatan pangan. Solusi untuk pencapaian itu adalah dengan meningkatkan produksi pangan lokal.
“Mengembangkan pangan lokal sesuai dengan karakteristik setiap wilayah akan menjadi kekuatan kita untuk mengantisipasi krisis pangan,” ungkap Mego dilansir dari situs resmi BRIN.
Potensi sumber daya pangan lokal yang besar dan keanekaragaman hayati yang tinggi di Indonesia memungkinkan untuk mendukung penyediaan pangan yang beragam dan berkualitas. Untuk itu diperlukan kebijakan bagaimana komoditas pangan lokal tersebut dapat ditingkatkan produksinya termasuk diversifikasi, ketersediaan dan kemudahan akses pasarnya.
Kendati demikian, upaya pemerintah untuk meningkatkan produktivitas keanekaragaman hayati lokal acap kali gagal. Sebagai contohnya proyek lumbung pangan nasional (food estate program) yang dikembangkan di Kalimantan Tengah.
Di Gunung Mas, Kalimantan Tengah, 760 hektare hutan hujan dibabat menjadi kebun singkong. Namun setelah setahun hasil panen singkong kurang produktif. Umbi singkong tumbuh di atas karena tidak bisa menembus lapisan tanah.
Kemudian, pantauan Greenpeace, memperlihatkan kondisi proyek yang mangkrak, berbagai alat berat ditinggalkan, dan tak ada lagi kegiatan. Yang tersisa hanya hamparan hutan rusak. Belum lagi Greenpeace juga menemukan adanya dugaan penghamburan uang negara.
Editor: Dwi Ayuningtyas