tirto.id - Ketika meninggal usai bertarung melawan kanker pankreas pada 5 Oktober 2011, tepat hari ini 10 tahun lalu, halaman muka media-media dunia memajang obituari Steve Jobs dalam glorifikasi luar biasa lewat ketokohannya di dunia teknologi. Rubrik teknologi dari berbagai surat kabar terkemuka Amerika Serikat seperti TheGuardian dan New York Times, mengingat bagaimana Jobs telah mengubah “cara kita melihat teknologi, mendengarkan musik, berkomunikasi, [serta] berpikir tentang seni, desain, dan penemuan.”
Ketokohannya dalam perkembangan industri teknologi membuat Jobs menjadi semacam “legenda”. Namun, kita sebetulnya bisa menilai secara cermat ketokohan Jobs dengan melepaskan segala label glorifikatif bidang teknologi yang melekat padanya.
Steve Jobs merupakan perwujudan manusia dari keberagaman. Ia anak kandung dari ayah berkebangsaan Suriah, Abdulfattah Jandali (akademisi ilmu sosial), dan ibu berkebangsaan Amerika Serikat, Joanne Schieble Simpson (pakar ilmu bahasa).
Lahir di California, Jobs kemudian diadopsi oleh pasangan Paul dan Clara Jobs. Adik kandungnya, Mona Simpson, kelak menjadi seorang novelis dan guru besar bahasa Inggris di Universitas California Los Angeles (UCLA). Michael B. Becraft dalam Steve Jobs: A Biography (2016) menyebut bahwa Jobs menyelami berbagai macam agama spiritual Timur—Buddhisme, Hinduisme, dan lainnya—setelah melepaskan agama Kristen Lutheran pada 1968. Namun, kawan sesama pendiri perusahaan di Apple, Steve Wozniak, mengungkap kepada penulis biografi itu bahwa ia “sama sekali tidak pernah melihat Jobs turut secara rutin dalam upacara keagamaan apa pun.”
Kisah hidup Jobs telah banyak dibahas dalam berbagai biografi dan artikel-artikel populer. Namun, titik utama pembahasan naskah-naskah itu sering kali hanya berputar pada perjalanan kariernya yang dianggap menentukan masa depan inovasi teknologi. Jurnalis The Guardian, Julian Baggini, dalam artikelnya “How Steve Jobs Changed Capitalism” (2011) telah menyoroti sisi lain dari peran Jobs: mengubah cara berbisnis.
Kapitalisme sejak lama berprinsip menyediakan barang-barang yang diinginkan pasar dengan modal yang sangat ketat dan keuntungan yang setinggi mungkin. Perusahaan-perusahaan kapitalis lama meneliti kemauan pasar dengan melihat apa yang diinginkan konsumen. Namun, Steve Jobs menggunakan pendekatan yang berbeda. Ia dianggap mengubah tujuan perusahaan kapitalis lama untuk “memberi pasar apa yang mereka mau” menjadi “memberi pasar apa yang kita mau mereka beli”.
Dengan kata lain, Jobs membentuk perusahaan untuk berpikir bahwa mereka harus menentukan tren. Jobs mendorong penciptaan fitur-fitur yang sekiranya “akan dibutuhkan” konsumen. Inovasi yang terus diperbaharui kemudian secara tidak langsung membuat konsumen terus menerus “membutuhkan” produk baru. Dari sisi bisnis, inovasi Jobs adalah terobosan luar biasa dalam kapitalisme. Namun, pemikiran itu bertendensi menciptakan “kebutuhan-kebutuhan baru” pada sisi konsumen yang label “kebutuhan”-nya patut dipertanyakan.
Sekalipun menjadi wajah poster bagi Apple hingga kematiannya, Jobs bukanlah sosok pemain tunggal di dalam perusahaan teknologi itu. Ia awalnya mendirikan Apple lewat sebuah privelese tak terduga pada 1976 bersama dengan dua rekan pendiri lain, Steve Wozniak dan Ronald Wayne. Jika kita ingat, peran pensiunan diplomat Jerman yang memberi modal tak terduga sebesar 300.000 gulden kepada raja bisnis Asia Tenggara, Oei Tiong Ham, kini diambil oleh A. C. Markkula Jr.—seorang pensiunan teknisi perusahaan tekonologi Intel—dalam kasus Steve Jobs.
Pada tahun 1984, Jobs pecah kongsi dengan perusahaan yang didirikannya itu. Ia memulai perusahaan komputer lain, NeXT Computer. Perusahaan ini menginovasikan perhubungan manusia lewat hubungan antarkomputer. Mengembangkan cara komunikasi jarak jauh yang melebihi surel, semacam purwarupa aplikasi kirim pesan daring yang kini kita gunakan.
Jobs baru kembali ke Apple pada 1996 dan menjabat sebagai direktur utama sejak September 1997 hingga Agustus 2011. Sepanjang kepemimpinannya, Jobs menunjukkan kualitas sebagai seorang kapitalis tulen yang tidak terlalu inovatif dalam praktik kapitalisme. Setidaknya ada dua cuplikan kasus yang dapat menunjukkan hal ini.
Pertama, Jobs mewujudkan cerminan usang tentang bagaimana tenaga kerja dinilai sebagai sekadar sumber daya dalam sistem kapitalistik. Tenaga kerja tidak dinilai sebagai manusia yang unik, tetapi sebagai sebuah sekrup atau komponen bagi sistem besar yang dapat diganti dengan mudah. Tiga tahun setelah Jobs menjabat direktur utama, pada tahun 2000, Salon—salah satu media daring paling awal di Amerika Serikat—memuat artikel menarik berjudul “The Once and Future Steve Jobs” mengenai bagaimana para pegawai Apple ketakutan terhadap direktur baru perusahaannya.
Sebelumnya, Jobs telah beberapa kali mengakhiri karier pegawai secara mendadak. Sekalipun media daring tersebut telah mengecilkan arti penting tindakan semacam itu dengan mengungkap bahwa kasus ini hanya terjadi pada beberapa orang, cuplikan itu telah menerangkan cara berpikir Jobs. Tindakan itu kemudian mengirim ketakutan ke seantero perusahaan. Namun, tindakan yang ditunjukkan oleh Jobs dapat dinilai dari sisi lain sebagai pecut terhadap etos kerja karyawan Apple.
Kasus kedua berkaitan dengan tata kelola keuangan Apple. Guru besar dari Harvard Business School, Mihir A. Desai, pada 10 Juli 2017 menulis artikel bertajuk “Capitalism the Apple Way vs. Capitalism the Google Way” dalam The Atlantic, lalu pada 6 Agustus 2018 berjudul “Why Apple Is the Future of Capitalism” dalam The New York Times. Artikel-artikel itu memuji tata kelola keuangan Apple. Namun, tata kelola keuangan yang dipuji oleh Desai justru merupakan tata kelola perusahaan itu setelah kematian Jobs.
Pada masa kepemimpinan Jobs, Apple menerapkan prinsip lama kapitalisme dengan memupuk kekayaan atau aset perusahaan. Ketika dihadapkan pada saran untuk menciptakan sebuah perusahaan yang “ringan”, Jobs menolak dan mempertahankan model tata kelola keuangan lama yang telah terbukti menghancurkan perusahaan kuno raksasa seperti Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda (VOC).
Model lama seperti apa yang dipertahankan Jobs dan model baru seperti apa yang dipuji oleh Desai? Hingga kini, banyak perusahaan yang mempertahankan aset dalam jumlah yang menumpuk. Terlebih setelah suatu perusahaan melepaskan sahamnya ke pasar dan berhasil memperoleh aset baru. Aset tunai dan aset fisik, misalnya, seperti bangunan, uang tunai, dan lainnya, yang menumpuk dalam perusahaan akan membutuhkan biaya pengelolaan yang tinggi dan memaksa perusahaan untuk terus mengambil modal dari sumber eksternal baru. Ini adalah salah satu penyakit yang mendorong VOC ke jurang kebangkrutan.
Secara sederhana, untuk memastikan perusahaan berjalan—memelihara kapal, kantor dagang, dan lainnya—VOC memerlukan dana yang besar dan bahkan pada tahap terakhirnya harus mengambil pinjaman. Biaya kelola pada akhirnya melebihi keuntungan yang didapatkan karena perusahaan menjadi “sangat kaya”—kaya akan aset fisik. Inilah model usang yang coba dipertahankan Apple di bawah Steve Jobs dengan menahan harta perusahaan tanpa mendistribusikannya.
Kepemimpinan Apple yang baru pada 2012, setahun setelah Jobs meninggal, memilih jalan baru untuk mewujudkan perusahaan yang “ringan”. Perusahaan memutuskan untuk tidak lagi menumpuk aset tunai dan membagikannya dalam bentuk dividen ke para pemegang saham. Dengan cara ini, nilai aset riil yang dipegang perusahaan tidak membengkak dan biaya operasional yang dibutuhkan untuk mengelola aset dan membuat perusahaan tetap berjalan dapat dipangkas. Dengan jalan ini, perusahaan tidak dibebani oleh aset yang terlalu banyak untuk dikelola dan di sisi lain, berkat stabilitas bisnis yang telah terbangun, tetap menghasilkan keuntungan yang tidak berubah.
Kepemimpinan pasca-Jobs telah mewujudkan kapitalisme yang lebih mangkus dan sangkil. Ini adalah salah satu jawaban dari salah satu penyakit kapitalisme. Sementara jawaban dan terobosan untuk mengikis “penyakit” kapitalisme yang lain-lain—nilai terhadap tenaga kerja, keseimbangan pendapatan, dan lainnya—harus terus dicari dan dikembangkan.
Editor: Irfan Teguh