tirto.id - Oei Tiong Ham yang meninggal pada 6 Juni 1924—tepat hari ini 96 tahun silam—adalah sosok pengusaha Tionghoa legendaris. Dia disebut-sebut sebagai pengusahatersukses di Hindia Belanda. Bisnis keluarganya, Oei Tiong Ham Concern (OTHC), adalah salah satu konglomerasi terbesar di Hindia Belanda dan bahkan Asia Tenggara pada awal abad ke-20.
Jamie Mackie dalam artikel “Towkays and Tycoons: The Chinese in Indonesian Economic Life in the 1920s and 1980s” yang terbit di jurnal Indonesia(1991) menyebut keterlibatan orang-orang Tionghoa dalam praktik ekonomi vital—seperti perdagangan dan keuangan—dimulai secara massif di Hindia Belanda pada dekade 1920-an. Salah satu aspek yang ditengarai jadi pemicunya adalah kesuksesan bisnis OTHC itu.
Sejarawan Yoshihara Kunio dalam “Oei Tiong Ham Concern: The First Business Empire of Southeast Asia” yang dimuat jurnal Southeast Asian Studies (1989, PDF) mengungkapkan Oei Tiong Ham adalah putra Oei Tjie Sen—seorang mantan buronan Dinasti Qing yang lari ke Hindia Belanda karena terlibat Pemberontakan Taiping (1850–1864).
Oei Tjie Sen tiba di Semarang sekira 1858 dan kemudian berdagang kecil-kecilan. Pada 1863, Oei Tjie Sen dibantu seorang koleganya Ang Thay Liang mendirikan perusahaan dagang Kian Gwan. Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 19 November 1866,Oei Tiong Ham lahir.
Bila kita mengikuti kisah yang dituturkan oleh Oei Hui Lan—putri Oei Tiong Ham—dalam Hui-Lan Koo (Madame Wellington Koo): An Autobiography as told to Mary van Rensselaer Thayer (1943), salah satu komoditas penting yang dirambah Kian Gwan pada masa awalnya adalah beras. Namun, Kian Gwan sebenarnya berdiri pada dua kaki. Ia melakukan perdagangan baik barang-barang asal Tiongkok maupun barang lokal. Dengan demikian, komoditasnya sudah pasti lebih luas.
Dalam The Rise and Fall of Revenue Farming: Business Elites and the Emergence of the Modern State in Southeast Asia (1993), Howard Dick, dkk. mengungkapkan Kian Gwan juga menjual teh, sutra, dan obat-obatan herbal. Selain itu, masih ada pula gula, tembakau, dan gambir.
Pada masa ini, Oei Tjie Sien disebut selalu menyisihkan uang untuk dikirimkan pada Dinasti Qing sebagai biaya “membeli” pengampunan. Dia masih punya keinginan untuk dapat kembali ke Cina Daratan dan melakukan tugas moral untuk mengenalkan putra pertamanya—Oei Tiong Ham—kepada orang tuanya yang mukim di Provinsi Fujian.
Bisnis rintisan Oei Tjie Sien mulai mengalami akselerasi pertumbuhan ketika Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan liberalisasi ekonomi pada 1870. Liberalisasi ekonomi tersebut membuka tanah-tanah perkebunan di Jawa bagi investasi modal swasta. Hal itu membuka peluang bagi pebisnis seperti Oei Tjie Sien untuk melebarkan bisnisnya pada usaha produksi.
Berkat ledakan ekonomi itu pula Oei Tjie Sien mampu memperoleh pengampunan dari Dinasti Qing pada 1874. Dia lalu membeli hak pemanfaatan tanah di daerah Simongan yang mengitari Kelenteng Sam Poo Kong di Semarang.
Oei Tjie Sien lantasmemanfaatkan kepemilikan itu untuk mengangkat prestise keluarganya. Dia membuka akses Kelenteng Sam Poo Kong secara gratis yang kemudian membuatnya makin dihormati oleh komunitas Tionghoa Semarang. Oei Tjie Sien pun semakin dekat dengan kelompok elite Tionghoa Peranakan yang lebih berkuasa, yaitu kaum Cabang Atas yang terdiri dari para kapitan atau mayor Tionghoa.
Legenda Modal dari Pensiunan Diplomat
Lalu, apakah modal materiel dan sosial dari sang ayah tersebutlah yang membuka jalan bagi kesuksesan Oei Tiong Ham?
Menurut Kunio, Oei Tiong Ham punya jalannya sendiri. Dengan bersandar pada keterangan dalam autobiografi Oei Hui Lan, Kunio menyebut Oei Tiong Ham dan ayahnya memiliki perbedaan pandangan yang kontras. Boleh jadi, mereka pun berbeda pandangan pula dalam soal bisnis.
“Filosofi hidup dan metode bisnisnya tampak sangat berbeda dari ayahnya. Oei Tjie Sien bangga menjadi orang Tionghoa tradisional. [...] Sebaliknya, Oei Tiong Ham lebih berorientasi modern,” tulis Kunio.
Dalam beberapa kesempatan wawancara dengan keluarga dan kerabat Oei Tiong Ham, Kunio sering kali diceritakan tentang “legenda” asal mula modal bisnis Oei Tiong Ham. Kisah ini melibatkan seorang mantan diplomat Jerman yang menghabiskan masa pensiunnya di Hindia Belanda.
Si pensiunan diplomat tersebut menyewa sebuah rumah di tanah milik Oei Tjie Sien. Oei Tiong Ham sering dikirim ke sana untuk menagih sewa dan itulah mulanya mereka berinteraksi. “Legenda” kemudian berkata sang diplomat terkesan pada watak ulet Oei Tiong Ham. Karenanya, dia tak ragu menawarkan modal kepada Oei Tiong Ham untuk membuka bisnisnya sendiri.
Berdasarkan keterangan Oei Hui Lan yang dikutip Kunio, pensiunan diplomat itu memberi modal sebesar 300.000 gulden. Sementara itu, menurut Liem Tjwan Ling—seorang penulis biografi Oei Tiong Ham, dia diberi 300.000 dolar.
Episode ini disebut sebagai legenda karena tidak ada bukti yang mendukung maupun membantah kisah ini—sekalipun bersumber dari narasumber yang memiliki kedekatan Oei Tiong Ham dan masa peristiwa itu terjadi.
Pada pokoknya, modal itulah yang kemudian digunakan Oei Tiong Ham untuk membeli lima pabrik gula pada 1890-an. Itulah yang nantinya menjadi kunci perkembangan bisnis sang pengusaha.
Terlepas dari perdebatan yang melingkunginya, modal pemberian pensiunan diplomat itu adalah faktual. Ia adalah kunci Oei Tiong Ham untuk bebas dari pola pikir bisnis ayahnya dan membentuk model bisnis pilihannya sendiri. Terlebih, menurut Kunio, Kian Gwan sejak semula adalah perusahaan tradisional yang sulit dikembangkan menjadi konglomerasi.
Pada 1893, Oei Tiong Ham mulai memegang kendali Kian Gwan. Ketika kemudian OTHC berdiri, Kian Gwan dimasukkan menjadi bagiannya dan menjadi perusahaan dagang multinasional.
Jantung bisnis OTHC adalah perkebunan tebu dan pabrik gula. Meski begitu, OTHC juga mengembangkan sayap bisnis ke bidang perdagangan, pelayaran, konstruksi, lahan yasan (real estate), dan perbankan. Kiprah bisnis Oei Tiong Ham yang disebut terakhir merupakan bank Tionghoa pertama di Jawa.
Berkat konglomerasi bisnis gula yang besar itu, awam menjulukinya Raja Gula dari Semarang.
Jalan Bisnis Oei Tiong Ham
Lalu, apa kunci utama dibalik moncernya bisnis dan skala OTHC? Faktor pertama yang segera bisa diajukan adalah modernisasi bisnis. Oei Tiong Ham dengan pemikirannya yang modern membebaskan dirinya dari mentalitas perusahaan tradisional Tionghoa yang selalu berpola perusahaan keluarga.
Dalam sebuah perusahaan keluarga, adalah lazim meletakkan anggota keluarga dalam manajemen perusahaan. Padahal, tidak setiap anggota keluarga mampu menjalankan bisnis. Jika tidak dikelola dengan baik, hal ini berisiko memunculkan nepotisme dan merusak kesehatan perusahaan.
Karena itulah, Oei justru membatasi keterlibatan keluarga dalam perusahaan dan menggunakan tenaga profesional. Oei juga menerima pegawai dari berbagai kelompok masyarakat—bahkan golongan Eropa—untuk mengisi pos manajemen OTHC. Misalnya, pada dekade 1930-an, Oei menempatkan banyak orang Eropa di Pabrik Gula Krebet, Malang.
Selain itu, hampir semua administrator pabrik gula milik OTHC adalah orang Eropa. OTHC sangat mungkin merupakan konglomerasi Tionghoa yang paling banyak mempekerjakan orang-orang Eropa kala itu.
Dengan pola manajemen modern seperti itu, OTHC akhirnya mampu menaungi rangkaian bisnis gula dari hulu ke hilir pada periode puncaknya di pertengahan dekade 1920.
Lini-lini bisnis yang berada di bawah naungan konglomerasi OTHC di antaranya adalah NV Handel Maatschappij Kian Gwan (perusahaan dagang gula internasional), NV Algemeene Maatschappij tot Exploitatie der Oei Tiong Ham Suikerfabrieken (perusahaan penaung produksi gula), Kian Gwan Western Agency, Ltd. (pos Eropa dari perusahaan dagang OTHC, berkantor di London), Kian Gwan (Malaya) Ltd. (pos Asia Tenggara, berkantor di Singapura), Kian Gwan Company India, Ltd. (pos Asia Timur dan Selatan, berkantor di Kolkata, Mumbai, Karachi, Shanghai, Hong Kong, dan Guangzhou/Amoy).
Selain itu, masih ada pula NV Midden Java Veem (perusahaan pergudangan), NV Heap Eng Moh Steamship Co. (perusahaan pelayaran regional), dan NV Bank Vereeniging Oei Tiong Ham (perusahaan perbankan).
Editor: Fadrik Aziz Firdausi