Menuju konten utama

Status Quo Pimpinan Parpol: Feodalisme di Alam Demokrasi

Kecenderungan parpol mempertahankan status quo kepemimpinan adalah tengara persoalan serius sistem politik nasional.

Status Quo Pimpinan Parpol: Feodalisme di Alam Demokrasi
Ketua Umum PDI Perjuangan yang juga Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri (kiri) didampingi Ketua DPP PDIP Prananda Prabowo (kanan) bersiap menyampaikan pidato politiknya saat peringatan HUT ke-51 PDI Perjuangan di Sekolah Partai di Lenteng Agung, Jakarta, Rabu (10/1/2024). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/aww.

tirto.id - Agenda regenerasi kepemimpinan partai politik di Indonesia tampaknya berjalan di tempat. Banyak parpol masih nyaman mempertahankan status quo demi menjaga stabilitas internal partai. Alhasil, demokratisasi di tubuh parpol mencerminkan demokrasi elitis.

Padahal, parpol seharusnya memahami bahwa mandeknya demokratisasi di internalnya juga bisa berpengaruh bagi iklim demokrasi negara secara umum.

Pemimpin parpol yang kemungkinan besar masih bakal bertengger di pucuk adalah Megawati Soekarnoputri. Ketua Umum PDIP itu sudah mendapatkan dukungan dari banyak kader dari berbagai daerah untuk agenda Kongres VI PDIP pada April mendatang. Sejumlah kader bahkan melakukan aksi cap jempol darah untuk mendukung Megawati kembali memimpin PDIP.

Jika Megawati terpilih lagi dalam Kongres VI PDIP, predikatnya sebagai pemimpin parpol paling lama di Indonesia semakin kokoh. Megawati menjadi ketua umum sejak awal PDIP berdiri pada 1999. Dalam agenda HUT Ke-52 PDIP di Sekolah Partai, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Jumat (10/1/2025) pekan lalu, Megawati sendiri tampak masih percaya diri memimpin PDIP.

Dalam kesempatan itu, dia sempat menyinggung permintaan kader untuk kembali menjadi Ketua Umum PDIP. Namun, Megawati berkelakar bahwa ada pihak yang juga mengincar kursi pimpinan PDIP. Dia bergurau bahwa tidak mau menjadi Ketua Umum PDIP jika kader tidak solid dan kompak.

Minta saya ketua umum lagi, ketum lagi, tetapi nek anak buahku ngene kabeh [tidak solid], emoh,” ucap Megawati.

Tak tergoyahkannya posisi Megawati di PDIP menebalkan bahwa parpol di Indonesia memang kadung betah memelihara status quo kekuasaan. Sayangnya, sejumlah pengamat politik menilai praktik itu bukan tanpa efek samping. Mandeknya regenerasi kepemimpinan parpol justru menandai kebuntuan dan lemahnya komitmen partai pada demokrasi.

Mematikan Regenerasi

Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Herlambang P. Wiratraman, menilai bahwa sikap yang jamak dan sulit berubah itu disebabkan parpol tumbuh dan berkembang dalam kultur politik feodalisme.

Hal itu sekaligus merefleksikan struktur sosial masyarakat Indonesia yang turut mempertahankan kultur feodal. Sehingga, jarang dijumpai organisasi-organisasi atau lembaga politik seperti parpol bekerja secara demokratis.

Budaya ewuh pakewuh-nya masih kuat dan bertahan,” ucap Herlambang saat dihubungi wartawan Tirto, Senin (13/1/2025).

Faktor lainnya, simbolisasi personal memang menjadi alat politik yang efektif. Sebagaimana lumrahnya kita melihat seorang figurpolitik “menyandingkan” dirinya dengan Sukarno atau Gus Dur saat berkontestasi dalam pemilu. Padahal, dia belum tentu punya ide atau gagasan sendiri.

Tak jarang, ide dan sikap politikus tersebut malah bertolak belakang dengan tokohyang dia jadikan sandaran.

Bagi Herlambang, praktik semacam itu tentu berbahaya. Alasannya adalah elemen demokrasi di organisasi parpol akan semakin melemah. Selain itu, parpol yang mengandalkan ilusi simbolisasi personal boleh jadi cenderung mementingkan citra ketimbang gagasan politik yang substantif.

Menurut Herlambang, praktik itu bikin parpol terjerumus ke dalam mistifikasi yang lama-lama malah mengikis idealismenya.Itulah salah satu sebab masyarakat kini sulit membedakan ide suatu parpol dengan parpol lainnya.

Lebih lanjut, efek paling besar dari status quo kepemimpinan parpol adalah matinya regenerasi.

Sumber kekuasaan yang hendak dipertahankan berbasis relasi kuasa oligarki, berkelindan antara mereka yang memiliki ‘kapitalisme simbolik’ tertentu, kedudukan dan kekayaan, serta kombinasi semuanya,” ungkap Herlambang.

Sementara itu, analis politik dari Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo, menilai bahwa sikap parpol yang cenderung memelihara status quo kepemimpinan itu berakar pada kebutuhan untuk memelihara konstituen dan menjaga kekuatan elektoral.

Kunto mengambil contoh PDIP dan Partai Gerindra. Sejak didirikan, Megawati dan Presiden Prabowo Subianto adalah tokoh sentral dua partai tersebut. Bisa dibilang, kata Kunto, Megawati adalah wajah PDIP dan Prabowo adalah wajah Gerindra.

Sehingga, kalau wajahnya diganti, takutnya orang tidak akan bisa mengenali lagi. Dan itu berarti berisiko turunnya elektabilitas mereka di pemilu,” kata Kunto kepada Tirto.

Alasan lain, parpol boleh jadi memang amat berhati-hati dalam melakukan rotasi kepemimpinan karena khawatir terjadi operasi politik pengambilalihan partai. Kunto mengistilahkannya dengan operasi take over parpol. Peristiwa ini terjadi berkali-kali di berbagai parpol dan tak jarang menimbulkan dualisme kepemimpinan.

Menurut Kunto, aksi take over parpol juga bukan semangat yang baik dalam demokrasi. Sebab, praktik itu lebih mencerminkan kepentingan kelompok dan ambisi politik tertentu. Itulah kenapa sejumlah parpol lebih memilih status quo kepemimpinan di tubuh mereka.

Namun, terlepas dari itu semua, rotasi kepemimpinan seharusnya tetap dilakukan secara demokratis dan sesuai aturan internal partai. Setidaknya, rotasi atau regenerasi kepemimpinan parpol mesti dilakukan secara partisipatif, deliberatif, dan demokratis.

Tidak terjadi hal ini [rotasi atau regenerasi] karena kultur partainya lebih pakai kultur feodal. Dan tidak hanya di satu partai, semua partai gitu, ketika kekuasaan ini diakumulasikan dan diterkumpul di satu orang saja,” ungkap Kunto.

Tantangan bagi Sistem Politik Nasional

Belakangan ini, memang banyak parpol yang memilih lagi ketua umum lama untuk meneruskan kepemimpinannya. Misalnya, PKB tahun lalu kembali memilih Muhaimin Iskandar dan PAN turut kembali memilih Zulkifli Hasan. Begitu pula Nasdem yang kembali mendapuk Surya Paloh sebagai ketua umum.

Analis sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, menyatakan bahwa stabilitas parpol merupakan alasan utama di balik fenomena itu. Berganti ketua umum sama dengan merotasi pula jajaran petinggi partai. Sering kali, transisi itu membuat internal parpol menjadi rapuh dan bergejolak.

Musfi mengajukan PPP sebagai contohnya. Setelah berganti ketua umum menjelang Pemilu 2024, PPP untuk pertama kalinya gagal lolos ke Senayan. Namun, Musfi menilai ada juga parpol yang justru makin solid setelah berganti ketua umum.

Misalnya Golkar dan PAN. Setelah mengambil pucuk pimpinan dari Amien Rais, PAN di bawah Zulkifli Hasan bertransformasi menjadi partai yang adaptif dan selalu masuk pemerintahan,” ujar Musfi kepada reporter Tirto.

Sementara itu, pada partai-partai tertentu yang terlanjur dipersonalisasi, pergantian ketua umum memiliki risiko yang besar. Contohnya adalah PDIP. Tidak seperti PAN dan Golkar, menurut Musfi, PDIP tidak memiliki pengalaman mengganti ketua umumnya. Keadaan ini membuat PDIP kurang bisa memitigasitimbulnya gejolak internal apabila terjadi pergeseran jajaran elite partai.

Sudah puluhan tahun PDIP menggunakan doktrin tegak lurus bersamaKetua Umum Megawati. Karisma Megawati belum tergantikan oleh figur lain, bahkan oleh anak-anaknya di PDIP.

Dalam kacamata lain, Musfi melihat fenomena itu sebagaitengara kuatnya pengaruh oligarki di tubuh parpol.

Kuatnya pengaruh oligarki disebabkan mahalnya ongkos pemilu. Di sisi lain, parpol dilarang berbisnis sehingga harus mengandalkan sokongan dana oligarki untuk memenangkan pemilu. Konsekuensinya tentu saja parpol terjerumus jadi jembatan kepentingan oligarki yang memberikannya modal.

Ini menjawab pertanyaan kenapa kebijakan pemerintah sering kali terlihat aneh dan tidak memihak rakyat kecil,” terang Musfi.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Annisa Alfath, memandang kecenderungan mempertahankan status quo kepemimpinan parpol adalah persoalan serius yang mencerminkan tantangan struktural dan kultural sistem politik nasional.

Sebagian besar parpol di Indonesia masih beroperasi dengan pola patronase. Figur pemimpin utama menjadi simbol kekuasaan dan pusat loyalitas kader. Figur sentral ini dianggap sebagai "perekat" organisasi dan pengontrol sumber daya politik sehingga sulit dilepaskan.

Selain itu, banyak parpol tidak memiliki sistem kaderisasi yang baik untuk menciptakan pemimpin baru. Kader muda tidak cukup diberi ruang untuk berkembang sehingga regenerasi dianggap berisiko bagi stabilitas partai.

Personalisasi parpol membuat demokrasi internal terabaikan. Partai politik yang seharusnya menjadi laboratorium demokrasi justru memperkuat oligarki dan melanggengkan kekuasaan segelintir orang atau kelompok.

Selama mekanisme internal partai tidak memprioritaskan demokrasi internal, tidak ada tekanan signifikan untuk melakukan regenerasi,” kata Annisa kepada reporter Tirto.

Baca juga artikel terkait PARTAI POLITIK atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi