tirto.id - Pemerintah memutuskan menaikkan cukai rokok atau Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada 2021 dengan rata-rata tarif 12,5 persen. Dalam konferensi pers virtual, Kamis (10/12/2020), Menteri Keuangan Sri Mulyani berkata "Kami akan menaikkan cukai rokok dalam hal ini sebesar 12,5 persen."
Kebijakan tersebut efektif mulai berlaku per Februari 2021. Sri Mulyani merinci kenaikan cukai ini terbagi menjadi beberapa golongan. Sigaret Kretek Mesin I naik 16,9 persen dari Rp740/batang menjadi Rp865/batang.
Sigaret SKM IIA naik 13,8 persen dari Rp470/batang menjadi Rp535/batang. SKM IIB naik 15,4 persen dari Rp455/batang menjadi Rp525/batang. Sigaret Putih Mesin I naik 18,4 persen dari Rp790/batang menjadi Rp935/batang. SPM IIA naik 16,5 persen dari Rp485/batang menjadi Rp565/batang. SPM IIB naik 18,1 persen dari Rp470/batang menjadi Rp555/batang.
“Besaran harga bandrol atau harga jual eceran di pasaran adalah sesuai dengan kenaikan dari tarif masing-masing kelompok,” ucap Sri Mulyani.
Meski menaikkan cukai, tapi Sri Mulyani memutuskan rokok yang dibuat dengan tangan tidak naik alias nol persen peningkatan cukainya. Sigaret Kretek Tangan (SKT) IA tetap Rp425/batang. SKT IB tetap Rp330/batang. SKT II dan SKT III tetap Rp200/batang dan Rp100/batang.
“Sigaret kretek tangan tidak dinaikkan. Nol persen. Sigaret kretek tangan adalah yang memiliki komposisi tenaga kerja besar,” ucap Sri Mulyani.
Namun keputusan Kemenkeu menaikkan cukai rokok pada 2021 direspons negatif oleh pasar dan mendorong koreksi pada saham emiten rokok. Gudang Garam (GGRM) misal dibuka di level 48.000 pada perdagangan, Kamis (10/12/2020) dan ditutup melemah ke level 44.275 poin. Per pukul 12.00 WIB, Jumat (11/12/2020) posisinya terus melemah hingga ke angka 41.675 poin.
Sama halnya dengan HM Sampoerna (HMSP) yang dibuka di level 1.805 dan ditutup melemah menjadi 1.670 per Kamis (10/12/2020). Pelemahan masih berlanjut ke level 1.580, pada Jumat (11/12/2020) per pukul 12.00 WIB.
Selain pasar modal, respons serupa juga datang dari Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok (GAPPRI). Ketua Umum GAPPRI Henry Najoan mengatakan keputusan pemerintah menaikkan tarif CHT Tahun 2021 tidak wajar.
“Tidak wajar sebab kinerja industri sedang turun akibat pelemahan daya beli karena ada pandemi dan kenaikan cukai sangat tinggi di tahun 2020 kemarin. Apalagi saat ini angka pertumbuhan ekonomi dan inflasi masih minus,” kata dia dalam keterangan resmi, Jumat (11/12/2020).
Ia menjelaskan kenaikan cukai yang sangat tinggi diperkirakan akan berdampak pada semakin maraknya rokok ilegal, kematian industri menengah-kecil, serta serapan bahan baku.
“Kenaikan cukai yang tinggi ini menyebabkan gap harga antara rokok ilegal dengan legal semakin jauh. Bertambahnya jumlah penindakan rokok ilegal dapat diartikan semakin maraknya rokok ilegal, bahkan terus meningkat akibat gap yang semakin tinggi,” kata dia.
Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) Sahminudin mengatakan hal yang sama. Ia bilang pemerintah perlu memperhatikan nasib petani tembakau di Indonesia yang saat ini mengkhawatirkan penurunan serapan panen mereka oleh perusahaan rokok.
“Idealnya kenaikan cukai itu ada di kisaran 5% saja,” ucap Sahminudin dalam keterangan tertulis, Rabu (9/12/2020).
Serapan tembakau sedang turun-turunnya, kata dia. Produksi petani pun akhirnya landai karena harus mengikuti tren itu. Kondisi tentu semakin buruk jika kenaikan cukai terjadi lagi pada 2021. Sahminudin mengatakan dampak kenaikan cukai dengan rata-rata 23 persen tahun 2020 sudah terasa.
Perusahaan rokok mengalami penurunan penjualan hingga 52 miliar batang. Kenaikan 23-35 persen pada 2021 dipastikan bisa menyebabkan penurunan penjualan lagi hingga 63 miliar batang atau setara 63.000 ton tembakau.
“Ini menghempaskan pendapatan petani tembakau di Indonesia,” kata Sahminudin.
Jika tembakau petani tidak terserap oleh perusahaan rokok, maka yang terjadi kemudian adalah lahirnya permasalahan rokok ilegal. Rokok-rokok yang tidak terserap, nantinya akan dijual dengan harga rendah kepada para pengepul yang biasa menampung tembakau sisa yang tak terjual.
Hal ini terjadi karena para pengusaha rokok yang biasa menyerap tembakau nantinya berpotensi mengurangi penyerapan sebab harga rokok akan naik. Maka indikasi para pengepul yang akan jadi penampung lain di pasar ilegal pun semakin besar.
Hal tersebut terbukti dari data penindakan rokok ilegal yang dilakukan Bea Cukai. Jumlah penindakan rokok ilegal mulai melonjak tajam ketika pemerintah menaikkan cukai rokok sampai 23 persen pada 2020. Tahun ini pemerintah melakukan 8.155 penindakan dengan Jumlah Barang Hasil Penindakan (BHP) berupa rokok ilegal sebanyak 384,51 juta batang.
Pilihan lain para petani untuk beralih menyetorkan hasil penennya ke pengepul bukan pilihan yang mudah. Koordinator Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) Azami Mohammad mengatakan ada beberapa potensi yang akan terjadi dari kebijakan cukai rokok naik. Pertama, akan banyak pabrik gulung tikar.
Sebab bukan hanya tarif cukai golongan 1 saja yang naik tinggi, tapi juga tarif cukai di golongan 2A dan 2B. Padahal cukai golongan 2A dan 2B diisi oleh pabrikan kecil menengah. Sementara di cukai golongan 1 harganya sudah terlampau tinggi, tidak sesuai dengan kemampuan daya beli masyarakat.
“Maka otomatis produksi dan omzet pabrikan akan turun drastis, tinggal tunggu saatnya pabrik gulung tikar,” kata dia dalam keterangan resminya, Jumat (11/12/2020).
Kedua, kata dia, sektor pertanian tembakau dan cengkeh akan mengalami penurunan baik secara kualitas maupun kuantitas. Sebab komponen produksi yang biasanya dipangkas oleh pabrikan adalah bahan baku baik secara kualitas maupun kuantitas.
Maka nantinya pertanian tembakau dan cengkeh akan berkurang kualitas maupun kuantitasnya, kata dia. Petani pun akan rugi besar, begitu juga perekonomian di wilayah-wilayah sentra tembakau dan cengkeh.
Ketiga, kata dia, maraknya peredaran rokok ilegal. Rokok ilegal ini akan tumbuh subur ketika harga rokok legal sudah tidak terjangkau oleh daya beli masyarakat. Sekarang saja rokok ilegal sudah menjamur bukan hanya di daerah pinggiran, tapi juga di perkotaan.
“Negara akan kehilangan pendapatan dari sektor cukai, sementara masyarakat menghadapi ancaman bahaya mengonsumsi rokok ilegal karena rokok ilegal tidak memiliki standarisasi kelayakan konsumsi,” terang dia.
Pendapatan negara dari cukai rokok memang besar, tapi tampaknya pemerintah memiliki motivasi lain. Menkeu Sri Mulyani menjelaskan, kenaikan cukai diharapkan mengendalikan konsumsi rokok, menurunkan prevalensi merokok.
"Diharapkan turun dari 33,8 menjadi 33,2 persen pada 2021 dan prevalensi merokok anak usia 10-18 tahun akan tetap diupayakan turun sesuai target RPJMN. Saat ini pada angka 9,1 persen akan diturunkan ke 8,7 persen pada 2024,” kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani menjelaskan, kenaikan CHT akan membuat rokok menjadi lebih mahal sehingga affordability indeks naik dari 12,2 persen menjadi antara 13,7-14 persen. “Sehingga makin tidak dapat terbeli, besaran kenaikan tarif cukai memperhatikan serapan tembakau petani lokal. Kenaikan cukai sigaret kretek lebih rendah dan putih bahkan SKT dalam hal ini yang tidak mengalami kenaikan diharapkan akan memberi kepastian pada penyerapan hasil tembakau para petani,” jelas dia.
Sama halnya dengan Sri Mulyani, WHO pada Maret 2020 memperingatkan keadaan perokok di Indonesia masih perlu mendapat perhatian. Dalam peringatan "Hari Tanpa Tembakau Sedunia," WHO juga mengingatkan perokok yang terjangkit COVID-19 lebih mungkin mengalami gejala yang lebih parah, dibandingkan dengan mereka yang tidak merokok.
Di sisi lain jumlah perokok di Indonesia dinilai masih mengkhawatirkan. Global Youth Tobacco Survey (GYTS) mencatat prevalensi merokok pada anak sekolah usia 13-15 tahun. Pada 2009, GYTS mendapati 30,4% pernah merokok. Angka itu kemudian naik menjadi 32,1% pada GYTS 2014 dan menjadi 39,6% pada GYTS 2019.
Jumlah pelajar yang berstatus perokok aktif masih tinggi. Dari 20,3% (GYTS 2009), 18,3% (GYTS 2014), lalu 18,8% (GYTS 2019).
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) mencatat jumlah prevalensi merokok remaja berusia 10-18 tahun terus naik dari 7,2% (2013) menjadi 9,1% (2018). Pemerintah RI menargetkan angka ini harus turun menjadi 8,7% per 2024 sesuai target RPJMN.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah & Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz