tirto.id - Nama, foto, dan nomor telepon Gimy tertera jelas dalam selebaran bertajuk “Tamasya Wisata Al-Maidah”. Selebaran itu beredar melalui media sosial dan media massa daring beberapa hari menjelang putaran kedua Pilkada DKI Jakarta 19 April 2017 lalu.
Selain Gimy, ada dua nama lain yang tertera di selebaran itu: Tetet Sito dan Asma Dewi. Nama yang terakhir sedang menjadi perbincangan masyarakat dan sorotan media lantaran disebut-sebut polisi pernah mentransfer sejumlah uang kepada pengurus Saracen—sebuah kelompok yang dituding polisi menyediakan jasa ujaran kebencian.
Saat masa kampanye Pilkada DKI Jakarta, Gimy mendengar pertemuan pemenangan Anies-Sandi di Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta Timur. Sebagai relawan Anies-Sandi, Gimy merasa perlu berpartisipasi pada pertemuan itu. Di dalam pertemuan itulah namanya diusulkan sebagai salah satu narahubung kegiatan Tamasya Al-Maidah.
Gimy tidak tahu persis alasan dirinya diusulkan sebagai narahubung. Di acara itu, ia juga tidak melihat atau mengenal tokoh Tamasya Wisata Al-Maidah seperti Ansufri Idrus Sambo yang disebut sebagai ketua panitia Tamasya Wisata Al-Maidah. Gimy memandang penunjukan dirinya sebagai faktor kebetulan semata yakni lantaran tidak banyak relawan yang hadir. “Paling cuma sekitar 20 orang,” kata Gimy kepada Tirto, Selasa (12/9/2017).
Sebagai relawan Anies-Sandi, Gimy mengaku tidak terlibat dalam struktur organisasi pemenangan mana pun. Pilihan politik itu, katanya, didorong pertimbangan keagamaan dan kesukaan terhadap sosok Sandi.
“Dulu, kan, saya memang fansnya Sandi. Itu udah selesai. Bagian dari perenungan umat menghendaki pemimpin muslim,” ujar Gimy.
Setelah setuju menjadi salah satu narahubung Tamasya Wisata Al-Maidah, Gimy dimasukkan ke dalam sebuah grup Whatsapp. Ia lupa nama persisnya, namun di dalam grup itulah ia tahu sosok Asma Dewi. Menurutnya, Asma Dewi termasuk sosok kritis dan senang membagi pandangan-pandangan politiknya. Asma juga tidak segan mencibir anggota grup yang bersikap pasif.
Selain di grup Whatsapp, Gimy mengaku tidak pernah bertemu maupun berkomunikasi dengan Asma. Ia juga hanya sekali mengikuti pertemuan yang membahas tentang Tamasya Al-Maidah di sebuah masjid di bilangan Sudirman Jakarta.
Gara-gara jarang aktif dalam pertemuan itulah, Gimy mengaku memiliki hubungan kurang harmonis dengan Asma. Ia kerap mendapat cibiran di dalam grup sebagai sosok yang tidak berkomitmen dalam perjuangan.
“Karena sering tidak datang, di group dibikin sakit hati. Bukan disindir lagi, dikata-katain tidak komitmen,” katanya.
Gimy menjelaskan ketidakaktifan dalam kegiatan-kegiatan grup yang berkaitan dengan pemenangan Anies-Sandi karena pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. “Kalau saya tidak kerja, siapa yang mau kasih makan saya? Saya, kan, tidak punya orang tua,” ujarnya.
Kekesalan Asma terhadap Gimy berbuntut pencopotan dirinya sebagai narahubung Tamasya Al-Maidah. Posisi Gimy diganti Dini yang, menurutnya, ialah adik dari narahubung lain bernama Tetet. “Dulu disuruh jadi call center tapi saya enggak aktif. Saya bekerja, jadi sering bolos. Diganti Dini, adiknya Tetet,” katanya.
Meski nama dan nomor teleponnya telanjur beredar luas sebagai narahubung Tamasya Wisata Almaidah, Gimy mengaku tidak terlalu banyak dihubungi masyarakat. Ia justru lebih banyak dihubungi wartawan yang ingin tahu kepastian jumlah peserta dan agenda kegiatan secara rinci di hari H.
Gimy mengaku kaget Asma diciduk polisi karena dikaitkan dengan sindikat Saracen. Ia berharap polisi bisa membuktikan tuduhannya. Sebab, secara pribadi, Gimy tidak pernah tahu dan mendengar tentang Saracen. “Kasihan kalau cuma fitnah. Dia, kan, ada anak,” ujarnya.
Pada 8 September 2017, Direktorat Reserse Tindak Pidana Siber Mabes Polri menangkap bendahara aksi Tamasya Al-Maidah, Asma Dewi di daerah Ciledug Raya, Jakarta Selatan atas dugaan ujaran kebencian dan SARA.Tim siber Bareskrim mengklaim menemukan adanya aliran dana senilai Rp75 juta dari Asma Dewi ke rekening bendahara grup Saracen Cyber Team Rini Indrawati.
Djuju Purwantoro, dari tim kuasa hukum Asma Dewi membantah kliennya telah mengirimkan uang sebesar Rp 75 juta kepada sindikat Saracen. Djuju menegaskan kliennya tidak pernah berhubungan dengan kelompok Saracen. "Tidak benar itu semua (pengiriman uang). Tidak ada keterkaitan. Tidak kenal dia (Asma Dewi) dengan teman-teman Saracen itu," kata Djuju.