tirto.id - Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta nomor urut 2 Djarot Saiful Hidayat mengakui adanya kesenjangan sosial yang terjadi di DKI Jakarta. Bahkan, levelnya hampir menyamai dengan skala nasional yakni di 0,41. Namun, Djarot mengatakan hal tersebut wajar terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta.
Untuk itu, Djarot mengaku terus mengupayakan subsidi bagi warga yang tidak mampu. Subsidi tersebut berupa transportasi, sembako, pendidikan, dan kesehatan. Hal tersebut sebagai upaya untuk mempersempit kesenjangan sosial di Ibukota.
Subsidi tersebut berupa pemberdayaan masyarakat, memberikan lapangan kerja dan memberikan modal usaha.
"Anda harus ingat, orang yang paling kaya itu numpuk semua di Jakarta. orang-orang yang super kaya itu ada di Jakarta. Yang miskin juga ada di Jakarta. makanya ada kesenjangan. Tetapi kesenjangan yang bisa kita turunkan ini akan meningkatkan menumbuhkan pertumbuhan ekonomi," lanjut dia di Penggilingan, Jakarta Timur, Selasa (4/4/2017).
Bahkan Djarot berjanji bahwa ia akan menurunkan kesenjangan sosial hingga 0,38 dengan cara memberikan subsidi kepada warga yang tidak mampu dan memberikan jaminan modal dan lapangan kerja.
Angka kemiskinan di Jakarta, kata Djarot merupakan terendah se Indonesia yakni sampai 3,5 persen. Kesenjangan sosial tinggi sangat ekstrem dikarenakan adanya gabungan antara orang termiskin dengan orang terkaya di Jakarta.
Sementara, sosiolog dari Universitas Ibnu Chaldun, Musni Umar menyatakan sebaliknya. Menurut dia, Pemprov DKI telah gagal menurunkan angka kesenjangan sosial. "Gagal. Bagaimana menurunkan, pemerintahan sudah berjalan kok," ujar Musni saat dihubungi Tirto, Selasa (4/4).
Menurut dia, kesenjangan sosial yang terjadi di Jakarta dikarenakan sistem yang lebih memihak ke orang-orang kaya. Ia mencontohkan, Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta sekitar Rp70 triliun lebih, namun hanya hanya terserap sekitar 60 persen.
"Sekarang e-budgeting sistem harus di tender. Orang yang bisa mendapatkan pekerjaan harus di tender sebagai proyek. Dulu proyek Rp20 juta ditunjuk, sekarang gak ada penunjukan. Selain itu juga hibah, gak ada sekarang," kata dia.
Akhirnya, kata dia, anggaran besar tidak memberikan dampak ekonomi di masyarakat bawah. Belum lagi anggaran itu dibagi ke Bank DKI dan Bank daerah. Penyerapan daerah sekitar 60 persen paling besar itupun mencapai seperti itu karena diberikan ke BUMN termasuk subsidi Transjakarta.
Hal tersebut, menurut dia menjadi sebab kesenjangan di Jakarta merajalela. Terlebih, ditambah dengan penggusuran. "Yang digusur kehilangan pekerjaan tempat tinggal. Semua hilang dan mereka memulai kehidupan baru meski kelihatan indah karena diterapkan di rusunawa tapi kan gak gratis. Gak sampai satu juta. Tapi kalau bagi mereka kan bukan hal kecil. Besar sekali," ungkap dia.
Ia juga menilai para nelayan yang digusur dan ditempatkan di lokasi jauh merupakan proses pemiskinan. Selebihnya, meskipun warga bisa menikmati fasilitas namun warga tetap membayar fasilitas tersebut.
Lebih lanjut ia menyarankan Pemprov DKI untuk menggratiskan Rusunawa bagi yang tidak memiliki rumah. Hal tersebut didasari pada anggaran APBD DKI yang besar. Ia menyebutkan, Pasal 34 UUD 45 mengatakan orang miskin dan terlantar harus dipelihara Negara.
"Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah. Mereka (warga miskin) perlu diperlakukan khusus. Sekarang kan persaingan bebas. Jadi omong kosong. Bagaimana mereka bisa bersaing dengan bebas? Kalau sekarang persaingan bebas jadi tingkat kemiskinan Jakarta," pungkas Musni.
Penulis: Chusnul Chotimah
Editor: Alexander Haryanto