tirto.id - Polri kembali menangani kasus mobil berpelat TNI di daerah Cipayung, Jakarta beberapa waktu lalu bekerja sama dengan Puspom TNI menangkap pengemudi arogan berinisial PWGA pada Selasa (16/4/2024). Pelaku adalah warga negara yang berstatus bukan pegawai TNI ternyata adalah pengusaha. Kapuspen TNI Mayjen Nugraha Gumilar mengungkapkan motif pengusaha yang menggunakan pelat tersebut untuk menghindari ganjil-genap di Jakarta.
"Motif yang bersangkutan memalsukan pelat dinas TNI Noreg 84337-00 tersebut semata-mata untuk menghindari peraturan lalu lintas ganjil genap di wilayah Jakarta," ucap Gumilar dalam keterangan, Kamis (18/4/2024).
Saat ini pelaku menjalani pemeriksaan dan diancam pasal 263 KUHP tentang tindak pidana pemalsuan dengan ancaman pidana kurungan selama 6 tahun. Kapuspen TNI mengimbau kepada masyarakat agar tidak melakukan tindakan pidana pemalsuan pelat nomor dinas TNI.
"Ancaman tindak pidana bagi pengguna pelat dinas TNI palsu jelas, yaitu pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat, kurungan selama 6 tahun,” tutur Nugraha.
Terpisah, dalam pernyataan pers bersama, Dirkrimum Polda Metro Jaya Kombes Pol Wira Satya Triputra menerangkan proses hukum berawal ketika korban Marsda Purn. Asep Adang Supriyadi didatangi oleh pihak POM TNI pada 11 April 2024.
POM TNI menyampaikan tentang ada pengemudi arogan menggunakan pelat TNI di Tol Jakarta Cikampek (Tol Japek) KM 56 dengan menggunakan kendaraan jenis Fortuner warna hitam dengan menggunakan pelat dinas Mabes TNI dengan nomor 84337-00.
Pihak POM TNI juga sudah melakukan investigasi plat tersebut terdaftar sebagai milik Marsda Purn. Asep Adang Supriyadi. Pihak POM TNI melakukan pemeriksaan fisik dan surat pelat yang viral, tetapi pelat tersebut hanya aktif hingga 30 November 2023.
POM TNI menyampaikan hasil investigasi kepada Asep. Ia membantah mobil tersebut adalah miliknya karena mobil yang teregister di pelat tersebut adalah Pajero warna hitam.
"Dipertanyakan Puspom apakah pelapor mengenal pria tersebut dan dinyatakan bahwa pelapor tidak mengenali pria tersebut. kemudian pelapor dalam hal ini merasa dirugikan karena mencatut pelat nomor dinas yang peruntukannya untuk pelapor maka pelapor membuat LP," kata Wira di Jakarta, Kamis (18/4/2024).
Wira mengatakan, kepolisian menangkap PGWA di kediamannya daerah Cipayung, Jakarta Timur, pada 14 April 2024. PGWA membenarkan dirinya adalah pengemudi arogan mobil tersebut. Ia mengaku mendapat plat dari keluarga.
"Setelah dilakukan interogasi lebih dalam, didapatkan bahwa pelaku bukan merupakan anggota TNI dan pelat tersebut adalah milik kerabatnya atau keluarganya," kata Wira.
Selain itu, mereka juga mendapat keterangan pelaku sempat membuang barang bukti pelat tersebut di daerah Bandung setelah kasus viral.
"Setelah kejadian viral pelaku ini berangkat ke Bandung, ketika di bandung pelat dibuang di sebuah sungai di Lembang yang mana setelah mendapatkan keterangan tersebut tim Subdit Resmob PMJ melakukan pencarian terhadap pelat nomor yang dibuang di daerah lembang Bandung. alhamdulillah pelat nomor tersebut berhasil ditemukan," kata Wira.
Wira mengatakan, PWGA adalah karyawan swasta yang tinggal di daerah Cempaka Putih Barat. Kepolisian juga menyita pelat asli mobil Pajero hitam dengan nomor polisi B 1461 PJS serta baju yang digunakan selain pelat TNI. Pelaku pun disangkakan 263 KUHP yabg mana pasal tersebut diancam dengan hukuman penjara selama 6 tahun.
Dirbin Gakkumplin Puspom TNI Kolonel Laut Joko Tri Suhartono menegaskan penggunaan plat mobil register TNI diatur dalam surat telegram STR Panglima TNI STR/I/2023 tanggal 9 Januari 2023 tentang penggunaan nomor register TNI nomor pinjaman.
Kendaraan harus menyertakan lampiran dokumen resmi kendaraan dan harus berpelat hitam. Kemudian pelat tersebut hanya berlaku selama 1 tahun dan nomor resmi alat organik hanya 4 digit. Joko mengaku mereka mendalami keterlibatan PGWA yang disebut memiliki keluarga berpangkat jenderal.
"Kalau yang bersangkutan tersangka menyampaikan ada saudaranya berpangkat jenderal, itu masih kita dalami untuk hubungannya. Untuk hubungannya yang bersangkutan ini apakah betul keterkaitan dengan menyebut ada saudara, kakak atau jenderal masih kita dalami hubungan," kata Joko di momen yang sama.
Joko menegaskan penggunaan pelat oleh keluarga tetap mengacu pada aturan. Ia membenarkan bahwa Asep tidak memiliki hubungan keluarga dengan PGWA.
Selain itu, Joko menuturkan kasus PGWA bukan kasus pertama. Ia mengaku sudah ada 20 kasus serupa selama 2023 hingga April 2024.
"Terkait dengan perkara yang sama yang sudah kita limpahkan kurang lebih 20 perkara yang sama, kurang lebih dari mulai tahun 2023-sekarang. Kita harapkan ini menjadi viral karena arogansinya. Tetapi kalau penyalahgunaan pelat yang hanya biasa untuk pelanggaran lalu lintas kami bekerja sama dengan korlantas," kata Joko.
Mengapa Fenomena Ini Terus Berulang?
Kejadian pemalsuan pelat kendaraan dari kendaraan sipil ke militer tidak hanya dialami oleh TNI. Arogansi pengendara dengan menggunakan pelat Polri juga terjadi pada 2023 silam. Salah satu kasus fenomenal adalah kasus David Yulianto.
David menggunakan pelat palsu kepolisian. Kasus David terjadi karena sikap arogan dengan menodongkan senjata airsoft sambil membawa kendaraan berpelat dinas kepolisian. Kala itu, kepolisian mengungkap David menerima plat dari seseorang berinisial E.
Lantas mengapa pelat TNI-Polri masih digunakan warga meski tidak patut?
Pemerhati lalu lintas sekaligus mantan Kasubdit Gakkum Ditlantas Polda Metro Jaya AKBP (Purn.) Budiyanto mengatakan bahwa pengaturan STNK maupun tanda nomor kendaraan bermotor (TNKB) sudah diatur dan dikelola ketat. Ada sejumlah syarat yang harus diikuti dan baku dilakukan. Jika masih ada kasus pelat aparat palsu, Budiyanto mendorong agar ada penegakan serius.
"Harus ada penanganan secara serius, tegas dan tuntas mulai dari kasus pengemudi yang tertangkap tangan menggunakan TKNB yang diduga palsu," tegas Budiyanto, Jumat (19/4/2024).
Budiyanto mengatakan, pelaku yang menggunakan TNKB palsu dapat dikenakan pelanggaran lalu lintas pasal 280 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan dengan pidana kurungan selama 2 bulan dan denda paling banyak Rp500 ribu.
Pemalsuan, kata Budiyanto, terjadi ketika kendaraan dilengkapi dengan STNK dinas palsu atau mengubah kendaraan tidak sesuai fisik kendaraan. Selain itu, ada juga upaya membuat STNK dinas seolah asli atau palsu. Hal itu bisa dikenakan pasal 263 KUHP dengan pidana 6 tahun.
Menurut Budiyanto, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mencegah kasus pelat palsu berulang. Pertama, ia mendorong penyidikan setiap kasus tertangkap tangan penggunaan pelat dinas palsu secara komprehensif. Ia juga mendorong agar pengawasan, salah satunya pemeriksaan gabungan antara petugas lalu lintas dan POM atau Propam terus dilakukan.
Kemudian, Budiyanto mendorong adanya pemeriksaan pembuatan TNKB di pinggir jalan atau aftermarket. Lalu, publik perlu diedukasi soal tata cara penggunaan pelat dinas, termasuk plat TNI serta mendorong partisipasi publik untuk melaporkan penemuan TNKB tidak bertanggung jawab.
Ia mengingatkan, penggunaan TNKB dinas tidak sesuai peruntukan dapat dikenakan dengan pasal 280 UU LLAJ dengan pidana penjara 2 bulan dan denda Rp500 ribu. Kendaraan pun bisa disita hingga putusan pengadilan.
"Namun, apabila ada dugaan pemalsuan terhadap STNK kendaraan tersebut (palsu atau dipalsukan) dapat dikenakan pasal 263 KUHP, pidana pemalsuan berkaitan dengan surat-surat melalui proses lidik dan penyidikan oleh petugas penyidik," kata Budiyanto.
Analis pertahanan dan keamanan dari ISESS, Khairul Fahmi, mengingatkan bahwa penggunaan pelat kendaraan dinas TNI-Polri tidak lepas dari efek gentar atau detterent effect dalam studi pertahanan. Para pelaku menggunakan pelat palsu untuk menggertak berbagai pihak, mulai dari pengguna jalan lain hingga aparat kepolisian.
"Sederhananya, ini adalah bentuk pamer kekuatan, praktik yang sama persis dilakukan berbagai negara ketika mempertontonkan kekuatan militernya agar negara lain tidak berani macam-macam dengan mereka," kata Fahmi, Jumat (19/4/2024).
Fahmi mengatakan, dalam kacamata psiko-sosiologis, praktik penggunaan pelat palsu TNI/Polri bermuara pada adanya asumsi umum bahwa TNI/Polri adalah pihak yang memiliki "privilege dan kebal hukum".
Dengan kata lain, penggunaan pelat palsu aparat tidak hanya digunakan sebagai efek gentar, penggunaan pelat palsu juga diperuntukkan sebagai "jaminan" karena para penggunanya memiliki kecenderungan untuk melanggar hukum di lalu lintas.
"Fenomena maraknya penggunaan pelat palsu TNI/Polri seharusnya menjadi refleksi dalam. Ini sebenarnya adalah bentuk kritik dari masyarakat bahwa pihak yang seharusnya menjadi teladan hukum dan ketertiban, justru seringkali menjadi pelanggar hukum dan ketertiban itu sendiri," kata Fahmi.
Di sisi lain, Fahmi menilai masalah tidak selamanya soal pelat palsu. Dalam beberapa kasus, ada fakta pelat nomor tercatat resmi, akan tetapi digunakan oleh yang tidak berhak dan tidak sesuai peruntukannya alias disalahgunakan dengan berbagai alasan, termasuk yang bersifat transaksional.
"Nah, ini kemudian menyangkut persoalan siapa yang harus disalahkan dalam hal maraknya penggunaan pelat nomor TNI/Polri. Jika pelat yang digunakan palsu, ya tentu si pengguna atau pemilik kendaraan lah yang bersalah. Namun, jika pelat nomor itu asli tapi disalahgunakan, tentunya ada oknum-oknum di lingkungan TNI maupun Polri yang harus bertanggung jawab," kata Fahmi.
Ia tidak memungkiri, pengawasan penggunaan pelat nomor istimewa ini memang relatif sulit dilakukan di jalan raya. Sulit bagi aparat kepolisian lalu lintas untuk memastikan apakah kendaraan yang melintas menggunakan plat yang sah atau tidak, hanya dengan identifikasi visual kecuali pengguna kebetulan melakukan pelanggaran atau terlibat dalam kecelakaan lalu lintas.
Fahmi menjelaskan, sulit membayangkan polisi mau ambil risiko menghentikan kendaraan tersebut hanya untuk memastikan pelat nomornya sah atau tidak. Sehingga kebanyakan akan tutup mata sepanjang si pengguna kendaraan tertib berkendara.
"Apalagi jika menyangkut pelat nomor TNI. Kecuali jika kebetulan polisi militer ikut menggelar operasi penertiban, akan lebih sulit lagi memastikannya. Polisi lalu lintas tidak akan mau repot-repot memeriksa tanpa alasan. Bisa dimaklumi. Iya kalau mereka bisa membuktikan pelat yang digunakan itu palsu, bagaimana kalau ternyata pelatnya sah? Tentu mereka khawatir itu menimbulkan masalah bagi mereka," kata Fahmi.
Bagaimana supaya kasus-kasus pemalsuan pelat TNI ini tidak terulang? Idealnya, dengan penegakan komitmen tata kelola yang bersih, jauh dari praktik-praktik kolusi dan korupsi. Perketat pemberian izin penggunaan pelat nomor dinas untuk kendaraan-kendaraan non-dinas, termasuk untuk keluarga anggota dan purnawirawan.
"Selain itu, penting juga pihak TNI dan Polri mempublikasikan dan melakukan sosialisasi untuk regulasi-regulasi yang terkait penggunaan plat nomor istimewa oleh berbagai instansi. Dengan pemahaman yang lebih baik, saya kira masyarakat juga akan bisa berpartisipasi dalam pengawasan. Jika itu pun dirasa masih sulit, ya minimal Propam Polri dan POM TNI sering-sering lah menggelar operasi penertiban," kata Fahmi.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri