Menuju konten utama
21 Desember 1989

Soedjatmoko: Sejarah Hidup Seorang Intelektual "Sosialis Kanan"

Soedjatmoko dianggap sebagai pemimpin intelektual Indonesia yang kritis kepada Sukarno. Ia termasuk jaringan PSI Sutan Sjahrir.

Soedjatmoko: Sejarah Hidup Seorang Intelektual
Soedjatmoko. tirto.id/Sabit

tirto.id - Ketika pertama kali datang ke Indonesia, indonesianis Ben Anderson sering bertemu dan berdiskusi dengan orang-orang terpelajar. Selain untuk bertukar pikiran, Ben memanfaatkan pertemuan itu guna melancarkan bahasa Indonesia-nya.

Di antara kalangan yang ia temui adalah kolega-koleganya dari lingkaran Partai Sosialis Indonesia (PSI). Waktu itu orang-orang PSI tidak sedang hidup bahagia di masa Demokrasi Terpimpin. Partai mereka baru saja dibekukan Sukarno. Ben yang jahil mempelesetkan PSI sebagai "Primadona Sok Idealis". Soedjatmoko adalah salah satu orang yang berbincang dengan Ben, selain Goenawan Mohamad, Wiratmo Soekito, Rosihan Anwar, dan lainnya.

Ben sering mendatangi rumah-rumah mereka. “Kalau saya (jarang) ke rumah Soedjatmoko,” aku Ben dalam buku kenang-kenangan untuk Onghokham, Onze Ong: Onghokham dalam Kenang-kenangan (2007: 58). Ben agak merasa aneh dan sebal karena jika ia bertanya kepada Soedjatmoko dalam bahasa Indonesia, Soedjatmoko selalu menjawabnya dalam bahasa Inggris.

Dari Pendidikan Dokter hingga Wartawan

Berbahasa asing tentu bukan hal sulit bagi Soedjatmoko. Orang yang kerap dipanggil Koko oleh kolega-koleganya ini memang mengecap berbagai sekolah elite di zaman Hindia Belanda. Itu memungkinkan karena ayahnya, Dokter Mohamad Saleh Mangoendiningrat, adalah orang berkecukupan meski tak terhitung tajir. Sebelum militer fasis Jepang masuk ke Indonesia, Koko sempat sebentar kuliah di Geeneskundige Hogeschool (Sekolah Tinggi Kedokteran) yang di zaman Jepang diganti namanya menjadi Ika Daigaku.

Di zaman Jepang, Koko dekat dengan Sutan Sjahrir, salah satu pemimpin gerakan bawah tanah anti-fasis Jepang. Koko yang terpelajar tak satu visi dengan kaum fasis Jepang yang gandrung kepada kepala botak. Rosihan Anwar dalam In Memoriam: Mengenang yang Wafat (2002: 291) menyebut Soedjatmoko bersama Soedarpo Sastrosatomo, Sanjoto, Daan Jahja, Wibowo, dan Utarjo ditangkap Kempeitai (Polisi Militer Jepang) karena menolak penggundulan. Para mahasiswa itu ditahan selama beberapa minggu.

Sekeluar dari tahanan, Koko membantu ayahnya berpraktik kedokteran di Solo. Seperti dicatat Nursam dalam Prof Dr dr Moh. Saleh Mangundiningrat: Potret Cendekiawan Jawa (2006: 85), dia menghabiskan waktunya bersama buku-buku di perpustakaan ayahnya. Bacaannya banyak terkait dengan filsafat.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Koko hijrah lagi ke Jakarta. Kali ini bukan untuk melanjutkan sekolah dokter, melainkan terjun ke dunia jurnalistik. Tak sekadar asyik di Jakarta, tapi juga meliput ke luar Jawa. Pada akhir 1946, misalnya, Koko meliput Konferensi Malino di Sulawesi Selatan. Sepulang dari liputan, sebagaimana dicatat Aboe Bakar Lubis dalam Kilas Balik Revolusi: Kenangan, Pelaku, dan Saksi (1992: 195), Koko, Rosihan Anwar, dan Soedarpo mendirikan majalah politik yang dinamai Siasat. Ide pendirian ini datang dari Soedjatmoko.

Selain Siasat, Koko juga kemudian memimpin mingguan berbahasa Belanda, Het Inzicht. “Edisi perdananya pada tanggal 23 Januari 1946, satu minggu setelah terbitnya majalah Jawatan Penerangan Belanda (RVD) bernama Het Uitzicht,” tulis Nursam dalam Pergumulan Seorang Intelektual: Biografi Soedjatmoko (2002: 88).

Sjahrir memercayakan kepemimpinan media tersebut kepada Koko. Rudolf Mrazek dalam Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia (1996: 526) mencatat Koko di situ menulis prosa, puisi, artikel politik, dan tinjauan sastra.

Intaian Radar Amerika

Karier jurnalistiknya berhenti sampai di situ. Pada 1947 Koko dan dua kawannya diutus Sjahrir ke Amerika sebagai anggota pengamat Indonesia di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). “[Koko dan kawan-kawan dikirim ke AS] pada waktu masalah Indonesia sedang hangat dibicarakan dalam badan itu (PBB) pada tahun 1947-1949,” tulis Aboe bakar Lubis (hlm. 81).

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, seperti dikutip dalam buku Mengenang Soedjatmoko: Kumpulan Berita dan Obituari (1990: 37), sumbangan terbesar Soedjatmoko adalah ketika memberikan penjelasan kepada rakyat Amerika melalui media massa tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia. Selama di Amerika, seperti dicatat George Kahin dalam Southeast Asia: A Testament (2003: 152), Koko juga menghabiskan waktu belajar di Harvard Littauer Center dan pada 1951 ikut mendirikan Kedutaan Indonesia di Washington.

Setelah itu ia berkelana beberapa bulan di Eropa. Kahin mencatat dalam obituari "In Memoriam: Soedjatmoko 1922-1989" di jurnal Indonesia nomor 49 (April 1990: 134), di Yugoslavia Koko mendapat wawasan yang relevan bagi Indonesia dari tokoh komunis Milovan Djilas. Sepulangnya ke Indonesia, dia ikut mendirikan harian Pedoman, yang terkait dengan PSI, lalu jurnal politik Konfrontasi dan pernerbitan dengan nama Pembangun yang dipimpinnya hingga 1961. Sejak itu Soedjatmoko kian terkenal di antara kaum intelektual.

Sejak Pemilu 1955 orang-orang PSI kerap berdebat secara terbuka dengan orang-orang PKI melalui media masing-masing. Salah satu tulisan Koko di majalah Siasat pernah ditanggapi secara serius oleh Buyung Saleh, intelektual yang dekat dengan PKI. Kalangan PKI bahkan punya satire tersendiri buat PSI: "sosialis kanan" atau "sosialis salon".

Terlepas dari hubungan pernikahan Sjahrir dengan kakaknya, Siti Wahjunah alias Poppy, Koko terus menjadi dekat dengan Sjahrir dan kemudian bersama PSI dalam Pemilu 1955. Pemilu itu mengantarkan Koko menjadi anggota Konstituante. Di masa Demokrasi Terpimpin, Koko adalah orang yang kritis kepada Presiden Sukarno.

Infografik Mozaik Soedjatmoko

Infografik Mozaik Soedjatmoko. tirto.id/Sabit

Soedjatmoko berada dalam intaian radar Amerika yang sulit mesra dengan pemerintahan Sukarno. Ketika kursi kepresidenan Sukarno goyah dan Soeharto makin menanjak, Soedjatmoko adalah orang yang diajak bicara oleh pihak Amerika Serikat. Nama Soedjatmoko ada dalam catatan harian Elliot Heyness pada Desember 1967 yang terungkap dalam Arsip Kedutaan Besar Amerika di Jakarta (PDF). Elliot menyebut Soedjatmoko, yang tinggal di Jalan Tanjung 18 Jakarta itu, sebagai pemimpin intelektual Indonesia. Koko, kata Heyness, juga lancar berbahasa Inggris.

“Dia baru saja kembali dari perjalanan mengajar di Australia dan memberiku dua bahan kuliahnya,” tulis Heyness.

Dalam pembicaraan tanggal 28 November itu, mereka berbincang soal perekonomian dan bisnis, di antaranya menyinggung potensi orang Tionghoa dalam membangun perekonomian Indonesia. Menurut catatan Heyness, Soedjatmoko bersedia hadir dalam pertemuan yang hendak membicarakan masa depan Indonesia.

Di masa Orde Baru, Soedjatmoko dijadikan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat dari 1968 hingga 1971. Di sana dia mendapat beberapa gelar Doctor Honoris Causa dari berbagai universitas. Sepulangnya lagi ke Indonesia, Koko diangkat menjadi Penasihat Khusus Urusan Budaya dan Sosial untuk Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Ia sempat juga duduk sebagai Anggota Dewan Direktur Ford Foundation pada 1972. Pada 1980 dia diangkat menjadi Rektor Universitas PBB di Tokyo.

Di masa tuanya, dia sering mengisi ceramah. Bahkan, seperti disaksikan Rosihan Anwar, Koko meninggal dunia ketika mengisi ceramah di Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan di Yogyakarta pada 21 Desember 1989, tepat hari ini 30 tahun lalu.

Kala itu, seperti diakui Rosihan, “Koko lagi berpikir keras, sebab begitulah gerak tipikal yang dilakukannya, yaitu menaruh tangannya di atas jidatnya. Beberapa lama dia tidak berbicara. Hening dalam ruangan. Lalu kepalanya terkulai ke bawah seperti orang yang mau tidur.”

Ceramah terakhirnya itu bicara soal masa depan Indonesia.

Baca juga artikel terkait DUTA BESAR RI UNTUK AS atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan