tirto.id - Institute Criminal and Justice Reform (ICJR) menanggapi pemberian remisi kepada I Nyoman Susrama, terpidana kasus pembunuhan berencana terhadap seorang reporter Radar Bali, AA Gde Bagus Narendra Prabangsa.
Meskipun pemberian remisi merupakan hal yang wajar dalam konteks hukum, namun peneliti ICJR, Erasmus Napitupulu tetap menyayangkan karena pemerintah, khususnya Kemenkumham, tidak menyaring nama-nama atau latarbelakang kasus narapidana yang akan diberi remisi.
Alhasil, kata Erasmus, pemberian remisi seringkali menimbulkan polemik di masyarakat, salah satunya kasus Susrama. Selain itu, ia juga menduga Presiden Joko Widodo tidak mempelajari dengan baik nama-nama yang akan diberi remisi.
“Saya menduga selama ini Presiden [Jokowi] pasti enggak baca, bisa jadi dia enggak baca karena banyak kerjaan, yang kedua adalah pembantunya gak mau nge-source dia dengan baik, dengan cukup informasi sehingga presiden tidak punya cukup informasi,” kata Erasmus kepada Tirto, Selasa (22/1/2019) malam.
Ia menduga, langkah Kemenkumham, khususnya Dirjen Pemasyarakatan (Dirjen PAS) sebagai institusi pemberi remisi juga berkaitan dengan penyelesaian masalah kelebihan kapasitas di lapas-lapas Indonesia.
“Karena mereka memang terbiasa untuk melihat remisi sebagai peluang untuk mengatasi overcrowding,” ungkap Erasmus.
Oleh karena melihat remisi sebagai peluang untuk menyelesaikan masalah kelebihan kapasitas di lapas, maka Erasmus menilai, Dirjen PAS seringkali kurang teliti saat menyerahkan nama-nama yang mendapat remisi kepada Presiden.
“Dirjen PAS ini ya ini admin saja, ditanya Kemenkumham siapa yang kira-kira dapat remisi dia kasih aja namanya tanpa harus ngecek siapa orangnya,” kata Erasmus.
Sementara itu, Kabag Humas Ditjen PAS Ade Kusmanto membenarkan bahwa pemberian remisi sementara kepada 115 narapidana termasuk Susrama merupakan upaya Kemenkumham menyelesaikan masalah kelebihan kapasitas di lapas.
Akan tetapi, Ade membantah apabila pemberian remisi tersebut dilakukan secara sembarangan. Menurut dia, pemberian remisi kepada narapidana sudah sesuai dengan aturan.
“Ini kan sudah sesuai regulasinya, memenuhi persyaratan tidak. Kan tidak semua narapidana pada saat itu diusulkan remisi, yang memenuhi persyaratan saja yang mengusulkan,” kata Ade kepada Tirto.
Ade mengatakan, proses pemberian remisi dilakukan sesuai dengan Keppres 174 tahun 1999. Narapidana tersebut harus memenuhi syarat formil sebelum bisa mengajukan remisi. Syarat formil adalah berperilaku baik selama 5 tahun dan diajukan langsung.
Saat pengajuan, tim pemasyarakat lapas akan menilai apakah layak narapidana tersebut mendapatkan remisi perubahan. Apabila layak, maka dokumen tersebut disetujui oleh kepala lapas dan diarahkan langsung ke Kanwil Kemenkumham.
Setelah itu, diarahkan ke Dirjen Pemasyarakatan, hingga Kemenkumham. Tim pemantau pun turun secara berjenjang sebelum diajukan ke Presiden untuk disahkan.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Alexander Haryanto