tirto.id - Sejumlah perusahaan besar melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran pada semester I 2019, mulai dari BUMN Krakatau Steel (KRAS) hingga Nissan Motor Indonesia. Belakangan 140 perusahaan dari Jawa Barat pun memutuskan pindah ke wilayah lain maupun negara tetangga.
Ekonom Institute for Development Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menilai pemerintah telah salah mengambil kebijakan ekonomi. Pasalnya, saat ini Bhima mengatakan perekonomian dunia memang melambat tapi tidak sampai krisis seperti tahun 2008 lalu.
“Ini lebih buruk dari zaman SBY. Kemarin kan ada krisis dan sempat berdampak ke bailout Century. Tapi ini kan gak ada krisis. Perang dagang kan seharusnya bisa ambil peluang tapi ada yang salah nih,” ucap Bhima kepada wartawan saat ditemui usai diskusi di Millenium Sirih pada Rabu (31/7/2019).
Salah satunya, menurut Bhima, bisa dilihat dari paket kebijakan ekonomi yang ternyata tak cukup efektif memberi stimulus bagi industri. Seperti insentif pajak dan fiskal yang ternyata belum tentu diperlukan semua perusahaan.
Sejumlah perusahaan saja, katanya, mengeluhkan tingginya besaran upah di suatu daerah sehingga memilih untuk hengkang.
Menurut Bhima, persoalan ini sebenarnya sudah muncul jauh sebelum perang dagang. Namun, sejak tahun 2016 lalu, hal ini sudah mulai dapat diendus, tetapi keterlambatan antisipasi jelas memperburuknya.
“Kita tidur aja ekonomi tumbuh 5 persen karena konsumsi rumah tangga, berarti ada kebijakan pemerintah yang terlambat antisipasi. Paket kebijakannya mentah baru sekarang dikebut tapi udah terlambat,” ucap Bhima.
Hal ini, kata Bhima, juga mengandung keanehan sebabnya sebelum pelaku industri mulai merintih, ternyata retail yang terlebih dahulu menerima dampaknya. Menurut Bhima, masalah ini menunjukkan adanya pengurangan konsumsi rumah tangga yang juga terlambat diantisipasi pemerintah.
“Ini aneh harusnya produsen dulu baru retail. Tapi ini terbalik,” ucap Bhima.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Maya Saputri