tirto.id - Pidi Baiq, sosok sentral di balik populernya tokoh Dilan, dalam beberapa kesempatan kerap menyebut anak-anak zaman dulu lebih punya nyali ketimbang anak-anak zaman sekarang. “Dulu mah gak ada Kak Seto, kalau ada masalah diberesin sendiri,” kata Pidi, bersambut gelak tawa pendengarnya.
Meski di satu sisi terdengar lucu, di sisi lain, ungkapan semacam itu justru memberikan gambaran mengenai minimnya perhatian atas kasus-kasus yang melibatkan anak-anak di masa silam. Ya, dalam kapasitasnya sebagai Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), sosok Seto Mulyadi alias Kak Seto kerap muncul di televisi manakala berbagai pemberitaan mengenai anak-anak menjadi bagian dari perbincangan publik.
“Reaksi kita tak boleh terburu-buru. Kita tenang dulu, menunggu pernyataan resmi dari berbagai lembaga yang ada,” katanya, saat kasus Audrey mulai ramai dibicarakan. Di lain kesempatan, saat sekelompok remaja yang tergabung dalam geng motor di Cirebon melakukan pembunuhan, Kak Seto juga tak ketinggalan memberikan tanggapan. “Seorang anak bisa melakukan tindak kekerasan karena belajar dari lingkungan,” ungkapnya.
Valentina Ginting, Asdep Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyebut saat ini kasus kekerasan terhadap anak memang lebih mudah menjadi bagian dari pembicaraan publik lantaran, selain era keterbukaan informasi, undang-undang yang mengaturnya juga lebih lengkap.
“Makanya sekarang banyak kasus yang terungkap. Dulu, jika ada orangtua yang memukuli anaknya, kebanyakan dari kita mungkin menganggap hal itu biasa saja. Tapi sekarang orang-orang sudah lebih berani bicara, bahkan menegur,” kata Valentina.
Konteks pernyataan Valentina adalah “Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2018” yang dirilis Kemen PPPA. Survei tersebut—lingkup penelitiannya mencakup 13.900 rumah tangga yang tersebar di 1.390 blok sensus di 232 kecamatan yang berada di 150 kabupaten/kota dari 32 provinsi—menunjukkan angka kekerasan terhadap anak lumayan tinggi.
Sebagai gambaran, berdasarkan SNPHAR 2018, 1 dari 17 anak laki-laki dan 1 dari 11 anak perempuan pernah mengalami kekerasan seksual. 1 dari 2 anak laki-laki dan 3 dari 5 anak perempuan pernah mengalami kekerasan emosional. 1 dari 3 anak laki-laki dan 1 dari 5 anak perempuan mengalami kekerasan fisik.
“Dapat disimpulkan bahwa 2 dari 3 anak dan remaja perempuan dan laki-laki di Indonesia pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya,” demikian keterangan resmi pihak Kemen PPPA yang diterima Tirto.
Hasil SNPHAR 2018 juga menunjukkan: anak tidak hanya menjadi korban kekerasan, tapi juga menjadi pelaku kekerasan. Sebagai bukti, 3 dari 4 anak melaporkan bahwa pelaku kekerasan emosional dan kekerasan fisik adalah teman atau sebaya. Selain itu, pelaku kekerasan seksual (baik kontak ataupun non kontak) yang paling banyak dilaporkan adalah teman atau sebaya (47%-73%) dan pacar (12%-29%).
Terkait angka-angka di atas, Valentina mengingatkan, tingginya jumlah kekerasan terhadap anak dalam SNPHAR tidak bisa dimaknai sebagai peningkatan. “Bahwa prevalensinya tinggi, itu bukan berarti sebelumnya lebih rendah. Dulu tidak semua anak berani bicara soal ini,” katanya. Selain itu, sosok yang terlibat dalam Tim Pelaksana SNPHAR tersebut menambahkan, hasil survei yang dikeluarkan KPPPA kali ini tidak bisa dibandingkan dengan hasil survei sebelumnya sebab metodologi, jumlah sampel, serta cakupan wilayahnya amat berbeda.
“Survei ini sangat komperehensif, namun hasilnya tidak relevan jika dibandingkan apple to apple dengan survei-survei terdahulu.” Diketahui, SNPHAR 2018 melibatkan 9.844 sampel—terdiri atas 4.754 laki-laki dan 5.090 perempuan di rentang umur 13-17 dan 18-24 tahun.
Fenomena Gunung Es dan Kehadiran Negara
Menteri PPPA Yohana Yembise menyebut tingginya tingkat kekerasan terhadap anak yang tercermin dalan SNPHAR 2018 merupakan salah satu bentuk kejahatan luar biasa atau extraordinary crime. Karenanya, dalam kapasitasnya sebagai kementerian koordinator yang tak punya kebijakan eksekutorial, Yohana menilai pihaknya tak bisa bekerja seorang diri.
“Kejahatan tersebut tidak mungkin bisa diselesaikan tanpa adanya kerjasama seluruh pemangku kepentingan, baik antar Kementerian/Lembaga, aparat penegak hukum, masyarakat, termasuk keluarga. Semua pihak harus mengambil peran terhadap upaya perlindungan anak, khususnya mencegah agar anak-anak tidak menjadi korban maupun pelaku tindak kekerasan,” papar Yohana.
Yohana juga menyebut tingginya angka kekerasan terhadap anak sebagai salah satu fenomena gunung es dalam masyakat Indonesia. Pasalnya, data-data kekerasan yang banyak digunakan selama ini—termasuk yang ditunjukkan SNPHAR 2018 sekalipun—bisa jadi merupakan potret kecil dari kenyataan yang sebenarnya. “Kemungkinan besar data yang tidak terlaporkan jauh lebih banyak dibandingkan data yang terlaporkan.”
Secara umum, salah satu tujuan SNPHAR 2018 adalah mengukur prevalensi tindak kekerasan emosi, fisik dan kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia. Hal demikian penting dilakukan untuk memperjelas upaya-upaya pengembangan kebijakan dan program penghapusan kekerasan terhadap anak di masa depan. Selain itu, SNPHAR 2018 juga dirancang untuk estimasi level nasional dan menjadi bahan Background Study Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020–2024.
“Hasil survei diharapkan dapat menjadi dasar perencanaan, implementasi, serta evaluasi kebijakan-kebijaka terkait pemenuhan hak anak dan program perlindungan anak,” pungkas Yohana.
Deputi Bidang Perlindungan Anak Kemen PPPA, Nahar, menyatakan untuk melengkapi proses pelaksanaan SNPHAR 2018, Kemen PPPA menyusun Response Plan bagi responden yang memerlukan pelayanan lanjutan. “Sebagai penanggungjawab Response Plan, Kemen PPPA menerima 151 Kasus yang terjadi pada 73 Kabupaten/Kota di 22 Provinsi,” katanya.
Semua laporan kasus tersebut, sambung Anhar, telah ditindaklanjuti dengan rincian: 31,78% kasus dapat ditangani dan diselesaikan; 6,62% lokasi kasus tidak berhasil dilacak atau ditemukan oleh DP3A setempat; dan 61,58% kasus tidak mendapatkan feedback dari DP3A Kabupaten/Kota.
SNPHAR 2018 digelar atas kerjasama Kemen PPPA dengan Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung, Badan Pusat Statistik, Kementerian Sosial, Pusat Kebijakan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Universitas Gajah Mada (PKMK UGM) serta Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA UI).
Dwi Yuliani, Kepala Pusat Penelitian STKS, menyebut SNPHAR 2018 adalah wujud kepedulian negara. “Negara hadir untuk memahami secara jelas kasus kekerasan terhadap anak. Survei ini betul-betul bisa memberikan informasi lengkap bagaimana seharusnya negara menyikapi kasus-kasus kekerasan terhadap anak yang marak terjadi di negeri ini.”
Andai sejak dulu kesadaran mengenai kekerasan terhadap anak menjadi perhatian publik, bukan tidak mungkin Pidi Baiq menyebut anak-anak zaman dulu tidak sendirian menghadapi persoalannya. Itulah hal yang di awal tulisan ini, dalam nada humor, dipelesetkan Pidi sebagai bentuk keberanian.