tirto.id - Selain saling ejek selera kuliner, orang Inggris dan Perancis juga acapkali ribut soal Serge Gainsbourg. Bagi masyarakat Inggris, Gainsbourg hanyalah lelaki tua jelek, kucel, dan memanfaatkan Jane Birkin untuk menaikkan pamornya yang sudah diambang kehancuran.
Orang Perancis tentu saja tak terima. Bagi mereka, Gainsbourg adalah simbol kemasyhuran, pemabuk karismatik, jenius pemberontak, serta seniman legendaris sepanjang masa.
Gainsbourg merupakan seniman besar di zamannya. Pengaruhnya hingga kini merentang dari Iggy Pop, Portishead, hingga Placebo—dua yang terakhir bahkan berasal dari Inggris!
Ada anggapan bahwa ia layak bersanding dengan jenius lain seperti David Bowie atau Freddie Mercurie yang berhasil meredefinisi musik pop. Melihat hayat dan karya Gainsbourg, penilaian itu tak salah.
Berawal dari Klub Malam
Gainsbourg lahir di Paris pada 2 April 1928 dengan nama Lucien Ginsberg. Ia berasal dari keluarga keturunan Yahudi Rusia yang pada 1917 pindah ke Perancis akibat Revolusi Bolshevik. Bakat seni Gainsbourg sudah nampak sejak usia belia. Di umurnya yang ke-13, ia masuk sekolah seni Montmartre.
Kehidupan keluarganya di Perancis tak serta merta berjalan mulus khususnya ketika Nazi menduduki Perancis pada 1940-1944. Layaknya orang Yahudi lainnya, ia dan keluarga harus hidup was-was. Keluarga Gainsbourg akhirnya mengungsi dari Paris dan tinggal sementara di Limoges.
Saat perang berakhir, Gainsbourg kembali ke Paris. Ia mengambil studi seni di salah satu institusi prestisius, École des Beaux-Arts. Selepas lulus, ia bekerja di klub malam terkenal di Paris, Milord L’Arsoille, sebagai pianis meneruskan kiprah ayahnya. Di sana, ia tampil rutin membawakan repertoir jazz klasik serta sesekali memainkan lagu ciptaannya sendiri bersama banyak penyanyi, salah satunya Michèle Arnaud.
Oleh Arnaud, Gainsbourg lantas direkomendasikan ke label Philip. Buat Arnaud, Gainsbourg adalah bakat yang tak boleh disia-siakan. Gayung pun bersambut. Philip dan Gainsbourg pun akhirnya sepakat meneken kontrak untuk album debut bertajuk Du Chant à la Une ! (1958).
Dalam Serge Gainsbourg: A Fistful of Gitanes (2001), Sylvie Simmons menyebut lagu-lagu di Du Chant à la Une ! sebagai “kombinasi elegan antara jazz, pop, dan chanson Perancis.”
Lewat karya debutnya itu, Gainsbourg perlahan menapaki popularitas. Tak lama setelah Du Chant à la Une !, ia merekam L'Étonnant Serge Gainsbourg (1961) serta Gainsbourg Confidentiel (1964). Selain merekam materinya sendiri, ia juga membuatkan lagu untuk Petula Clark, Juliette Greco, Dionne Warwick, Francoise Hardy, France Gall, sampai Vanessa Paradis yang ternyata lebih sukses diterima pasaran dibanding album-album miliknya.
Dari Bardot sampai Birkin
Dunia pesohor yang dimasuki Gainsbourg turut mengubah gaya hidupnya. Terlebih saat itu ia tak hanya menyanyi tapi juga berakting dalam film Estouffade à la Caraïbe (1967). Walhasil, ia mulai masuk ke hiruk-pikuk para pesohor yang diisi pesta, adu kelamin, alkohol, dan obat-obatan.
Kehidupan baru Gainsbourg membuat pernikahannya dengan Beatrice Pancrazzi yang dikaruniai dua anak kandas. Penyebabnya: Gainsbourg diketahui main gila dengan Brigitte Bardot, aktris dan penyanyi yang tenar lewat And God Created Woman (1956) dan Contempt (1963) selepas bertemu pertama kali dalam acara di salah satu program televisi Perancis.
Pertemuan tersebut membawa Gainsbourg ke dalam pusaran asmara. Ia jatuh hati pada Bardot yang saat itu sudah menikah. Namun, Gainsbourg tak peduli. Ia semakin bernafsu untuk menggaet Bardot. Akhirnya, mereka pun diam-diam menjalin hubungan gelap.
Hasrat cinta keduanya dituangkan dalam lagu “Bonnie and Clyde.” Lagu itu ditulis Gainsbourg untuk memperlihatkan perasaannya kepada Bardot yang menggebu-gebu. Tak lama berselang, ia kembali menulis lagu untuk duetnya bersama Bardot berjudul “Je T’Aime … Moi Non Plus.”
Namun, lagu ini bikin masalah. Rekaman yang berisi lirik-lirik mesum itu bocor ke tangan wartawan. Bardot pun panik dan marah karena perselingkuhannya dengan Gainsbourg terancam terbongkar. Ditambah, para juru warta sudah meminta konfirmasi ke suaminya, Gunter Sachs. Guna meredam situasi, Bardot meminta Gainsbourg tak merilis “Je T’Aime … Moi Non Plus” ke publik. Relasi mereka, baik asmara maupun profesional, pun berakhir.
Rupanya tak butuh waktu lama bagi Gainsbourg untuk memadu kasih lagi. Pada 1968, ia jatuh hati dengan Jane Birkin, artis muda asal Inggris berusia 22 tahun yang namanya menjulang lewat adegan telanjang dada di film besutan Michaelangelo Antonioni, Blow-Up (1966).
Menurut cerita Andrew, abang Jane, seperti dilansir BBC, perjumpaan Jane dan Gainsbourg terjadi saat keduanya beradu akting dalam film Slogan. Saat itu, Jane baru saja cerai dari suaminya, John Barry. Tapi, kesan pertama Jane terhadap Gainsbourg tidak positif. Ia menyebut Gainsbourg sebagai sosok yang “mengerikan, arogan, dan sombong.”
Untuk mengenal lebih dekat sosok Gainsbourg mengingat ia jadi lawan main utamanya di Slogan, Jane mengajak Gainsbourg makan malam. Seperti yang dituturkannya kepada Vanity Fair, usai makan malam, mereka berdansa. Saat momen itu tiba, Jane menyadari bahwa Serge adalah pria yang pemalu.
Jamuan makan malam tersebut berlanjut ke sebuah bar untuk menyaksikan pertunjukan penyanyi blues asal Amerika, Joe Turner, lalu ke klub pesta Rusia, dan akhirnya ke Hotel Hilton. “Tidak ada aktivitas seksual” yang terjadi, aku Jane. Semenjak itu, mereka semakin dekat dan jatuh hati satu sama lain.
Gelora asmara Birkin-Gainsbourg melahirkan kolaborasi album dan film. Bersama Jane, Gainsbourg mendapatkan ketenaran tak terkira terutama saat melepas lagu “Je T’Aime … Moi Non Plus” yang sebelumnya diciptakan untuk Bardot. Lagu itu laris manis di pasaran (nangkring pada posisi pertama tangga lagu Inggris) dan di lain sisi, dicekal di mana-mana (dari BBC, Vatikan, serta sejumlah negara Eropa) karena dianggap terlalu vulgar—dengarkan saja lagunya dan Anda akan paham letak masalahnya.
Tapi, hubungannya dengan Jane tak abadi. Setelah 13 tahun menjalin asmara, Jane memutuskan meninggalkan Gainsbourg. Alasannya: Gainsbourg sangat mengekang, terlalu 'drama', hingga ketergantungan akan alkohol dan obat-obatannya yang tinggi semakin membuat Jane merasa sulit untuk hidup bersama.
“Kamu bisa berbicara dengannya sekali waktu,” ungkapnya dilansir The Guardian. “Tapi, kamu bukan ciptaannya lagi.”
Walaupun berpisah, Gainsbourg masih menyimpan rasa sayangnya untuk Jane. Hal ini dibuktikan lewat Amours des Feintes, album terakhir sebelum kematiannya pada 1991 yang didedikasikan kepada Jane.
Mesra dengan Supir Taksi
“Bagiku, provokasi adalah nafas kehidupan,” ujar Gainsbourg suatu ketika.
Pendapat itu dibenarkan mantan kekasihnya, Jane. Ia mengungkapkan, Gainsbourg adalah sosok “yang senang namanya beredar di surat kabar.”
Dalam “The Life & Times of Serge Gainsbourg” yang terbit di The Quietus, Jeremy Allen menyatakan bahwa Gainsbourg paham cara-cara agar dirinya tetap mendapat lampu sorot, bahkan memanfaatkan kesulitan pribadinya. Misalnya, ketika kena serangan jantung dan masuk rumah sakit pada 1973, ia mengundang wartawan guna meliput kondisinya.
Kejadian kecil itu hanya secuil kisah yang menunjukkan bahwa kehidupan Gainsbourg tak bisa lepas dari kontroversi. Pada 1965, ia menciptakan lagu bernada seksual untuk penyanyi muda berusia 18 tahun, France Gall, saat berkompetisi dalam lomba menyanyi di Eurovision. Lalu, ia pernah melepas album konsep berjudul Histoire de Melody Nelson (1981) yang berkisah tentang lelaki tua kaya raya yang jatuh hati kepada gadis belia. Album ini banyak diprotes sebab dianggap memperlihatkan citra pedofil.
Enam tahun sebelumnya, Gainsbourg lebih dulu membuat geger Perancis karena karyanya, Rock Around the Bunker, kental dengan nuansa berbau Nazi. Tak sampai situ saja, Gainsbourg bahkan pernah merilis lagu kebangsaan Perancis, “La Marseillaise,” dalam versi reggae, membakar uang kertas senilai 500 franc di siaran langsung televisi Perancis sebagai bentuk protes terhadap tingginya pajak, sampai merekam lagu berjudul “Lemon Incest” bersama putrinya yang saat itu berusia 12 tahun, Charlotte.
Meski begitu, segala kontroversi yang ia lakukan tidak otomatis melunturkan kekaguman orang-orang terhadap kemampuan musiknya. Jurnalis The Independent, Robert Chalmers, menyebut Gainsbourg sebagai “musisi populer terbesar yang pernah dihasilkan Perancis” dan “setara dengan John Lennon, Paul McCartney, serta Bob Dylan.”
Sementara dalam "Serge Gainsbourg’s Historie de Melody Nelson" (2013), Darran Anderson mengatakan Gainsbourg adalah pria yang cinta keluarga, romantis, seniman yang berdedikasi, tapi juga seorang penakut dan moralis.
Pada akhirnya, seperti yang dituturkan Charlotte, putrinya yang meneruskan jejak sang ayah sebagai penyanyi dan bintang film, di balik segala gempita dan warna-warni semesta hidupnya, Gainsbourg hanyalah manusia biasa yang pemalu dan mudah tersentuh oleh kejadian-kejadian yang kelihatan remeh di dunia nyata.
“[…] setiap aku naik taksi [di Paris], aku mendengar cerita tentang ayahku. Dia terbiasa naik taksi sepanjang hari dan supir-supir memberitahuku betapa manisnya dia. Suatu hari, seorang supir taksi bercerita kepadaku bahwa ayah telah membayar perawatan giginya. Dia cuma punya hubungan nyata dengan orang-orang yang hidup di jalanan,” jelasnya kepada Vanity Fair.
Kebesaran Gainsbourg telah membuat sebagian masyarakat Perancis tak henti-hentinya merapalkan namanya selepas kematiannya pada 1991. Mereka berkabung, memadati jalan kecil di sekitar kediaman Gainsbourg yang terletak di Saint-Germain, sampai menyanyikan lagu-lagunya tiap malam dengan lilin-lilin kecil yang berpendar cahaya.
“Aku sukses dalam semua hal, kecuali hidupku,” ucap Gainsbourg sembari mengisap rokoknya dalam-dalam dan menenggak botol alkohol di hadapannya.