tirto.id - Gejolak industri penerbangan yang terdampak kenaikan harga bahan bakar sejak 2017 tak menghalangi maskapai penerbangan tetap ekspansi. Singapore Airlines (SIA/SQ) belum lama ini meluncurkan rute penerbangan super jauh (ultra long haul flight) pada 11 Oktober 2018. SIA juga akan meluncurkan penerbangan non-setop Singapore-Los Angeles pada awal November 2018.
Maskapai Singapura ini melayani penerbangan Singapura-New York dengan waktu tempuh sekitar 18 jam. SIA akan melayani sebanyak tiga kali per pekan. “Kami bersemangat menyediakan konektivitas yang lebih baik antara Singapura dan AS, dan berkomitmen untuk menempatkan kebutuhan pelanggan di garis terdepan,” kata Goh Choon Phong, CEO Singapore Airlines dikutip dari laman resmi SIA.
Rute penerbangan super jauh menjadi sebuah prestasi tersendiri bagi SIA, karena memecahkan rekor sebagai rute penerbangan terjauh di dunia dan berlangsung non-setop.
Rute penerbangan Singapura-New York oleh SIA mengalahkan rekor rute penerbangan sebelumnya, yakni Doha-Auckland yang dilayani Qatar Airways. Rute Doha-Auckland ini memiliki waktu tempuh sekitar 16 jam non-setop.
Sebelumnya, SIA pernah melayani penerbangan langsung Singapura-New York. Namun, karena biaya bahan bakar yang sangat tinggi saat itu, membuat rute tersebut tidak menguntungkan, sehingga terpaksa ditutup beberapa tahun lalu.
Setelah lima tahun vakum, SIA kembali melayani rute super jauh itu dengan pesawat terbaru Airbus A350-900ULR. Pesawat berbadan lebar ini dirancang mampu terbang lebih dari 20 jam non-setop. Menurut klaim Airbus, konsumsi bahan bakar A350 lebih hemat 26 persen ketimbang Airbus A340-500 yang kala itu dipakai Singapore Airlines untuk melayani Singapore-New York, sebelum rute itu ditutup pada 2013.
Namun, rekor penerbangan terjauh non-setop yang ditorehkan SIA ini bisa saja pecah sewaktu-waktu mengingat kemampuan pesawat terus berkembang, baik dari waktu terbang hingga konsumsi bahan bakar yang semakin efisien.
Boeing 777-200 LR masih menjadi pesawat dengan jarak tempuh terjauh di dunia, yakni mampu menjelajah hingga 21.601 km atau sekitar 22 jam 42 menit. Jumlah penumpang yang bisa diangkut pesawat itu mencapai 300 penumpang.
Airbus juga memiliki pesawat untuk penerbangan super jauh di antaranya adalah A350 XWB Ultra Long Range yang mampu terbang sampai dengan 18.000 km, atau sekitar 20 jam. A350 ini juga mampu mengangkut sekitar 280-366 penumpang.
Dalam satu dekade terakhir ini, maskapai global berlomba-lomba membuka rute penerbangan jarak jauh. Namun, membuka rute penerbangan dengan tarif mahal itu tidak mudah. Hanya maskapai dengan modal kuat yang mampu membuka itu.
“Semakin jauh perjalanan, tentu semakin besar juga biayanya. Belum lagi, soal makanan dan hiburan. Pelanggan pasti menginginkan segalanya premium,” kata Arista Atmadjati, Direktur Arista Indonesia Aviation Center (AIAC) kepada Tirto.
Rata-rata harga tiket penerbangan jarak jauh selalu mahal. Tiket pesawat Etihad Airways untuk rute New York-Mumbai misalnya, dipatok US$38.000 atau setara dengan Rp577 juta untuk sekali jalan. Pada 2016, harga tiket tersebut sempat menjadi harga tiket termahal di dunia.
Sementara itu, dalam laman resminya, tiket SIA untuk rute Singapore-New York pada Senin 15 Oktober 2018 pukul 23.35 waktu setempat dipatok 2.975 dolar Singapura atau setara dengan Rp32,76 juta untuk kursi premium ekonomi, dan 7.895 dolar Singapura atau setara dengan Rp86,95 juta untuk kursi bisnis.
Meski harga tiket mahal, permintaan dari penumpang tidak surut. Alasannya, konsumen yang disasar kebanyakan orang-orang kaya, yang tidak mempersoalkan masalah harga. Mereka malah menanti fasilitas premium apa yang ditawarkan maskapai.
Baiknya permintaan juga membuat maskapai terus membuka rute penerbangan jarak jauh. Menurut data OAG yang dikutip dari Economist, jumlah penerbangan jarak jauh atau di atas 13.000 km sudah mencapai 19 penerbangan berjadwal.
Yang Jauh Yang Semakin Diminati
Meski harga tiket penerbangan jarak jauh terbilang mahal, penerbangan jarak jauh ini menjadi penyumbang pendapatan cukup besar karena layanan-layanan makanan-minuman dan fasilitas premium. Dari sejumlah rute paling menguntungkan di dunia, sebagian besar berasal dari rute penerbangan jarak jauh.
Dikutip dari Forbes, rute penerbangan yang memberikan pendapatan terbesar pada April-Maret 2018 antara lain rute New York JFK-London Heathrow yang menyumbang pendapatan hingga US$1,04 miliar bagi British Airways.
Di posisi kedua ditempati Qantas Airways untuk rute Melbourne-Sydney dengan pendapatan US$855 juta. Kemudian, London Heathrow-Dubai (Emirates) US$819 juta, rute London Heathrow-Singapura (SIA) sebesar US$710 juta. Ada juga rute Los Angeles LAX-New York JFK (American Airlines) sebesar US$698 juta, rute San Francisco-Newark (United Airlines) US$688 juta, dan rute Hong Kong-London Heathrow (Cathay Pasific Airways) US$632 juta.
Juga ada London Heathrow-Doha (Qatar Airways) sebesar US$553 juta, rute Vancouver-Toronto Pearson (Air Canada) sebesar US$552 juta, dan rute Sydney-Singapura dari SIA sebesar US$544 juta.
Dari 10 rute penerbangan itu, empat rute merupakan penerbangan jarak jauh (6-12 jam), dua rute penerbangan super jauh (di atas 12 jam), tiga rute penerbangan menengah (3-6 jam) dan satu rute penerbangan pendek di bawah 3 jam. Artinya membuktikan bahwa penerbangan jarak jauh memberikan pendapatan bagi korporasi penerbangan.
Meski rute penerbangan jarak jauh memiliki potensi yang besar, tapi rute tersebut tidak bisa sembarangan dibuka. Selain mempertimbangkan biaya dan modal, pangsa pasar juga wajib diperhatikan maskapai. Belum lagi, jika maskapai yang bermain di rute jarak jauh semakin banyak.
Pasar yang dibidik untuk penerbangan jarak jauh tidak seluas pasar untuk penerbangan jarak pendek atau menengah. Kebanyakan, pasar penerbangan jarak jauh adalah seorang pebisnis dan pelancong. Umumnya rute penerbangan jarak jauh dibuka di wilayah pusat bisnis atau menjadi hub dari sebuah kawasan. Singapura dan Hong Kong misalnya. Kedua wilayah itu merupakan pusat bisnis dan juga hub untuk Asia. Oleh karena itu, tidak heran jika dua lokasi ini memiliki rute-rute penerbangan jarak jauh maupun super jauh.
Berbeda bila membuka rute penerbangan jarak jauh dari dan ke Jakarta lebih sulit. Maskapai Garuda bahkan terpaksa menutup penerbangan Jakarta-London mulai 30 Oktober 2018 karena sepi penumpang.
“Jadi enggak heran kalau SIA banyak buka rute penerbangan jarak jauh. Lokasinya strategis. Beda dengan Indonesia. Pangsa pasar untuk penerbangan jarak jauhnya agak lebih terbatas,” jelas Arista.
Tren layanan penerbangan super jauh non-setop bakal menentukan arah kategori pesawat di masa depan. Namun, kondisi ekonomi global juga akan sangat menentukan kelanjutan nasib layanan penerbangan super jauh di masa mendatang, dan Singapore Airlines sudah merasakannya.
Editor: Suhendra