tirto.id - Tengku Zulkarnain sempat berorasi dalam acara Reuni 212 di Monas, Minggu (2/12). Ulama pendukung aksi 212 ini menyindir soal jalan tol yang dibangun pemerintah dan membandingkannya pada era kolonial.
"Bikin jalan tol 14 kilometer mahal bayarnya sudah sombong. Belanda bikin 1.000 kilometer, tenang-tenang saja," ujarnya," kata Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini.
Konteks ucapan Tengku Zulkarnain saat itu adalah bahwa tujuan Indonesia setelah merdeka bukan soal pembangunan fisik saja seperti pembangunan jalan tol, bandara, pelabuhan tapi ada sisi lain soal ketuhanan yang maha esa. Sebab bila hanya mengacu pada hal fisik, pemerintah kolonial Belanda telah melakukannya dengan "tenang-tenang saja".
Pemerintah kolonial memang dianggap "tenang-tenang saja", tapi tidak untuk penduduk Pulau Jawa yang dikerahkan untuk membangun jalan kala itu. Jalan yang dimaksud Tengku Zulkarnain adalah Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan, yang dibikin di zaman Herman Willem Daendels jadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang beristana di Batavia. Waktu itu Negeri Belanda masih dijajah Perancis.
Faktanya memang sebagian jalan yang sekarang ada, sudah dibangun sebelumnya dan dibangun setelah kemerdekaan termasuk oleh pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Menurut Data Kementerian (PUPR, pada 2016, total panjang jalan provinsi mencapai 48.374,12 km; jalan kabupaten 368.496,21 km, dan jalan kota 48.358,8 km di seluruh Indonesia. Jalan-jalan ini tentu bukan hanya karya di masa pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) tapi dibangun pada masa presiden-presiden sebelumnya.
Presiden Jokowi memang sempat mengaku dalam pidatonya pada 2016, terdapat 1.268 km jalan baru telah dibangun. Selain itu, ada 355,93 km ruas jalan tol baru telah dibangun setelah 2015.
Ihwal tol yang punya tarif dan disebut mahal oleh Zulkarnain, pada dasarnya sudah ada sejak masa lampau. Sejak zaman kolonial, jalur yang disebut "tol" sudah ada tapi bukan seperti tol seperti sekarang antara lain Tol Jagorawi. Tol di zaman kolonial belum ada jalan beton seperti di masa sekarang.
Pada masa lalu bagi mereka yang melintas "tol" harus membayar cukai. "Tol" masa lalu tidak hanya berupa jalan raya, tapi juga jembatan juga bahkan sungai. Tempat membayar itu disebut juga pos bea cukai atau gerbang tol. Benny Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik (2003:56), “pos bea cukai ( gerbang tol) yang penjaganya pasti seorang Tionghoa.”
Jalan raya pos Anyer-Panarukan—yang dibangun dari 1808 hingga 1811—bukan jalan biasa yang tidak menghasilkan apa-apa untuk pemerintah kolonial. Bisa dibilang jalan ini menguntungkan pemerintah kolonial. Tak ada jalan, maka tak ada lalu lintas perdagangan dari komoditas yang dirampas dari tanah koloni Hindia Belanda yang hasil penjualannya mengisi kas-kas Kerajaan Belanda. Kolonialisasi, yang biasa dikenal sebagai penjajahan, butuh modal dan tidak bisa main keruk begitu saja.
Buku Ekspedisi Anjer-Panaroekan - Laporan Jurnalistik Kompas: 200 Tahun Anjer-Panaroekan, Jalan (Untuk) Perubahan (2008:xiii) disebut jalan raya pos ini memangkas waktu tempuh yang cukup signifikan, sebelumnya Jakarta-Surabaya butuh waktu satu bulan di musim kemarau, setelahnya adanya jalan ini Jakarta-Surabaya bisa ditempuh dalam waktu 3-4 hari. Buku tersebut juga mengutip pendapat pengajar tata kota UGM, Sudaryanto, yang menyebut kota-kota baru yang semula pasar kecil berkembang di jalur jalan raya pos itu. Banyak kota yang berusia lebih dari satu setengah abad di jalur yang dikenal sebagai Pantai Utara Jawa (Pantura).
Jalan raya pos yang dibangun dengan darah dan keringat rakyat ini, sangat berguna dalam komunikasi pemerintahan kolonial kala itu, juga pengangkutan hasil bumi untuk dijual dan lainnya. Sebelum adanya jaringan kereta api yang menghubungkan antar kota di Jawa dan juga pesawat terbang. Di masa Perang Jawa (1825-1830), waktu Belanda memerangi Pangeran Diponegoro dan pengikutnya, jalan ini seharusnya bermanfaat dalam menggerakkan pasukan ke arah Jawa Tengah.
Di kota-kota yang dilintasi Jalan Raya Pos itu belakangan dilewati oleh jaringan rel-rel kereta api. Adanya rel kereta api tidak langsung mematikan jalan tersebut. Kereta api tak menampung semuanya. Selain kereta api, sebelum ada mobil, pedati yang ditarik sapi atau delmen yang ditarik kuda juga ikut melintasi jalanan.
Jalanan tersebut masih digunakan hingga kini. Jalan-jalan tentu berkembang setelah penguasa yang menguasai Jawa silih berganti. Kota-kota yang dilewati Jalan Raya Pos kini menjadi kota-kota yang dilintasi pemudik di musim Lebaran.
Sejarah jalan tol di Indonesia tentu setelah adanya jalan-jalan aspal di Indonesia. Tentu baru ada jauh setelah Daendels memerintahkan pembangunan jalan raya pos Anyer Panarukan.
Tol Jakarta, Bogor, dan Ciawi (Jagorawi), yang panjangnya 59 km, adalah pertama yang diresmikan di Indonesia pada 9 Maret 1978, di masa Kepresidenan Soeharto. Mulai beroperasinya tol tersebut menjadi sejarah awal lahirnya PT Jasa Marga. Setelahnya tol-tol lain, seperti Jakarta-Merak, Cikampek-Padalarang, Jakarta-Cikampek, pun menyusul. Jalan tol tentu saja semakin memanjang, dari puluhan kilometer ke ratusan kilometer bahkan capai ribuan kilometer.
Berapapun panjangnya, jalan tol atau bukan, infrastruktur jalan antar kota dan provinsi yang mulus haruslah ada. Jalan yang semakin mulus dan panjang bukanlah bahan adu sombong pamer prestasi atau sarana menyindir, melainkan sebuah kewajiban yang harus dipenuhi pemerintah alias negara untuk menyiapkan sarana dan prasarana untuk warganya.
Editor: Suhendra