tirto.id - Semenjak pekik kemerdekaan berkumandang untuk pertama kalinya di seluruh Indonesia 74 tahun silam, menyatukan perbedaan etnis dan budaya di bawah suasana kemerdekaan adalah salah satu tugas utama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Untuk itu, sejak awal pembentukannya, PPKI berusaha mengumpulkan wakil-wakil daerah agar dapat turut memuarakan pandangan atas isu kemerdekaan.
Lain halnya dengan pemilihan anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang berlandas pada latar belakang ideologis, kriteria utama anggota PPKI lebih berdasarkan pada kedaerahan. Sebagai konsekuensinya, ada delapan tokoh kunci BPUPKI yang tidak dilibatkan dalam PPKI, di antaranya Mohammad Yamin dan Agus Salim. Hal itu dipaparkan oleh Yudi Latif dalam Inteligensia Muslim dan Kuasa (2005: 342).
Hal serupa juga diungkapkan Benedict Anderson dalam Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946 (2006: 64). Anderson menyebut bahwa keanggotaan PPKI didominasi kelompok sekuler dari golongan tua. Dari 21 anggota, 12 di antaranya dapat diklasifikasikan sebagai pemimpin nasionalis. Sembilan lainnya mewakili pangreh praja yang terbagi menjadi tiga utusan Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta, dua utusan organisasi Islam (NU dan Muhammadiyah), satu wakil PETA, dan satu orang minoritas Tionghoa bernama Yap Tjwang Bing.
Keberagaman suku dan latar belakang budaya yang terdapat dalam PPKI kemudian dijadikan landasan untuk merumuskan pembagian wilayah di bawah negara. Sidang kedua PPKI pada 19 Agustus 1945 menghasilkan keputusan pembagian delapan provinsi dan dua daerah istimewa.
Bermula dari Panitia Kecil
Rencana untuk menyusun pembagian wilayah di bawah negara sudah menjadi salah satu perhatian utama di pengujung sidang PPKI pertama. Untuk itu, sebelum secara resmi menutup sidang pertama pada 18 Agustus 1945, Sukarno terlebih dahulu membentuk suatu panitia kecil.
Tanpa basa-basi, Sukarno menunjuk Oto Iskandardinata, Ahmad Subardjo, Sutaji, Iwa Kusumasumantri, Wiranatakusuma, Amir, Hamidhan, Sam Ratulangi, dan I Gusti Ketut Pudja sebagai anggota panitia kecil yang akan memulai rapat seusai sidang PPKI pertama. Panitia yang digawangi oleh Oto Iskandardinata ini bersidang secara terpisah hingga pukul 3 pagi.
Menurut catatan St. Sularno dan D. Rini Yunarti dalam Konflik di Balik Proklamasi: BPUPKI, PPKI, dan Kemerdekaan (2010: 114), panitia kecil yang dibentuk pada seore hari tanggal 18 Agustus 1945 tersebut bertugas membuat rancangan usulan tentang hal-hal yang mendesak salah satunya tentang pembentukan delapan provinsi di bawah negara Republik Indonesia.
Notulen rapat yang terangkum dalam Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI 28 Mei 1945 - 22 Agustus 1945 (1995: 462) menyebut rapat PPKI kedua dibuka dengan pemaparan Oto Iskandardinata mengenai pembagian Jawa menjadi tiga wilayah mangkubumen setingkat provinsi, yakni: Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Tiap mangkubumen dikepalai seorang mangkubumi (gubernur) yang akan ditunjuk kemudian.
Dalam pekerjaannya, lanjut Oto, seorang mangkubumi dibantu oleh panitia kebangsaan daerah atau yang dikenal juga sebagai komite nasional. Di samping itu, ada pula komite nasional kadipaten yang bertugas membantu seorang Adipati memimpin sebuah wilayah kadipaten di dalam mangkubumen.
Laporan Oto dan panitia kecilnya juga memerinci pembagian wilayah yang dikuasai oleh Angkatan Laut Kesaisaran Jepang atau Kaigun. Berdasarkan putusan, daerah Kaigun akan dibagi ke dalam empat wilayah yang disebut gubernemen yang mencakup Sunda Kecil (Bali sampai Flores), Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan. Sementara itu, Sumatera akan dimasukkan ke dalam satu wilayah utuh berjuluk provinsi.
Pemilihan julukan mangkubumi untuk menyebut pimpinan tertinggi dalam sebuah mangkubumen lantas menuai penolakan dari tiga orang perwakilan Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta. Menurut Pangeran Harjo Surjohamodjojo, nama mangkubumi memiliki makna gelar kehormatan istimewa, oleh karena itu tidak bisa dipakai kembali untuk urusan kenegaraan.
“Gelar Mangkubumi ini akan menyusahkan urusan pemerintah,” kata salah seorang perwakilan Sumatera, Abdul Abas, mendukung pernyataan Surjohamodjojo.
Setelah melewati serangkaian debat, diputuskan bahwa julukan yang disebutkan panitia kecil hanya akan berlangsung sementara, setidaknya menunggu sampai rakyat terbiasa dengan suasana selepas kemerdekaan. Selanjutnya, sebutan provinsi dan gubernur akan lebih banyak dipakai karena dianggap berkedudukan paling tinggi dan lazim dipakai di sebagian besar wilayah Nusantara.
Belum Mencapai Mufakat
Kendati disambut gembira oleh sebagian peserta sidang, pemaparan Oto menimbulkan pertanyaan baru. Apakah pembagian tersebut sudah sesuai dengan paham persatuan Indonesia?
Sukarno selaku ketua sidang merasa pembagian wilayah di bawah negara yang dikemukakan panitia kecil hanya berdasar atas etnografi dan etnogoli. Menurut Sukarno, kriteria tersebut tidak sejalan dengan asas persatuan.
Risalah sidang PPKI menunjukkan adanya upaya Oto meluruskan laporan panitia kecil di hadapan sidang. Oto berkeras bahwa pembagian wilayah di bawah negara sebaiknya dirancang berlandas pada apa yang sudah ada sehingga tidak menimbulkan kebingungan. Oto menyebut warisan ini datangnya dari pemerintahan Kolonial Belanda.
“Pembagian ini tidak bersandar atas apa-apa, hanya pada pendirian, bahwa kita mengambil suatu susunan yang sudah dimengerti oleh rakyat,” terang Oto di hadapan sidang. “Jadi itu yang menjadi alasan, yaitu keadaan ketika bahwa dulu di sini ada Nederlandsch-Indie, di Jawa dibagi menjadi tiga wilayah, hanya itulah alasannya."
Usulan Oto didukung oleh Supomo dan Hatta. Keduanya setuju membagi wilayah negara ke dalam daerah pecahan bekas pemerintahan Kolonial Belanda, meski ada catatan bahwa pembagian tersebut hanya sementara. Harus ada pemekaran di kemudian hari.
Memilih Gubernur Pertama
Benedict Anderson dalam bukunya mengutarakan pendapat yang menarik seputar pemilihan gubernur pertama dari provinsi-provinsi yang disahkan PPKI pada 19 Agustus 1945. Menurutnya, alasan utama diterimanya usulan pembagian provinsi oleh panitia kecil ialah agar para anggota PPKI yang datang mewakili wilayah-wilayah tersebut dapat dilantik menjadi gubernur pertama guna meratakan sistem pertahanan pemerintahan republik (hal. 88-89).
“Menurut pertimbangan, jaringan komunikasi sudah sangat sulit dibentuk sepanjang masa pendudukan Jepang, ketika sekutu memasuki wilayah Nusantara keadaannya akan kembali tidak menentu,” tulis Anderson.
Agar pembentukan sistem pemerintahan republik di daerah berjalan lanacar, seluruh provinsi di luar Jawa yang dibentuk saat itu wajib mengikuti skema tersebut. Anggota PPKI dari luar Jawa seperti Teuku Hasan, Ratulangi, Latuharhary, dan I Ketut Pudja masing-masing ditunjuk sebagai gubernur Sumatera, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil. Selain mereka, ada pula Pangeran Mohammed Noor, seorang bangsawan Banjar yang didaulat memimpin provinsi Kalimantan.
Di samping mencetuskan pembagian provinsi dan pemilihan gubernur pertama, sidang PPKI juga membahas pembentukan kabinet yang pertama. Sebelum sidang PPKI secara resmi dimulai, Sukarno sempat meminta Ahmad Subardjo membentuk panitia kecil lainnya yang bertugas membuat usulan daftar departemen tanpa personalia. Usulan Ahmad Subardjo kemudian disetujui anggota sidang dan menghasilkan 12 departemen dalam sebuah kabinet presidensial.
Editor: Maulida Sri Handayani