tirto.id - Kosim masih membuka layanan jasa cukur di kawasan Kemang Timur, Jakarta Selatan. Tukang cukur berusia 35 tahun itu berulang kali menyebut nama seorang polisi dan meminta saya mencari nama tersebut di Internet. “Itu pelanggan saya. Kami kenal sudah sekitar lima tahun,” katanya dengan suara terputus-putus akibat sinyal telepon yang kurang baik.
Dari pak polisi, Kosim mendapat dana Rp250.000 atau lebih untuk sekali cukur. Biaya yang berkali-kali lipat lebih besar ketimbang tarif cukur di kiosnya yakni Rp20.000. Kosim bilang, si polisi sedang di luar kota dan tidak tahu kapan akan kembali ke Jakarta.
Pak polisi adalah salah satu dari beberapa pelanggan yang berulang kali memanggil Kosim ke rumah mereka untuk memangkas rambut. Kosim sebetulnya tidak pernah menerapkan tarif untuk jasa panggilan ke rumah. Tapi, "orang-orang gedong"--demikian Kosim menyebut para pelanggan kelas atas--tidak pernah membiarkan Kosim keluar dari rumah gedongan mereka dengan ongkos kurang dari ratusan ribu rupiah.
Selama pandemi COVID-19 ini, kisah Kosim jadi kenangan. Kami bicara pukul 11 siang dan kalimat pertama yang Kosim ucapkan ialah permintaan maaf karena tidak membalas pesan saya dengan cepat. “Saya tadi lagi sibuk. Ada tiga pelanggan,” kata pria yang mengaku selama bulan puasa biasanya ia memangkas rambut 15 orang per hari. “Biasanya sih 20 orang. Ya pandemi ini enggak beda jauh dari biasanya,” kata pria yang lebih sering tinggal di kios cukur rambut kontrakannya.
Sebagian orang yang datang kepadanya selama bulan ramadan adalah konsumen baru. Mereka datang ke kios Kosim karena tempat cukur langganan tutup. Sepengetahuan Kosim, setidaknya ada 10 kios cukur rambut di area Kemang Timur dan Ampera. "Hanya dua yang buka."
Ia memutuskan menghabiskan bulan puasa di Jakarta karena tidak menemukan mata pencaharian kampungnya, Rangkasbitung. “Pas awal pandemi, saya pulang kampung karena takut. Tapi sebulan di sana tabungan udah habis, ya saya ke Jakarta lagi. Khawatir sih tapi ya gimana,” lanjut pria yang sudah sembilan tahun jadi tukang pangkas rambut.
Selama pandemi, Kosim melindungi diri dengan masker saat melayani pelanggan. Sebisa mungkin, ia meminta para pelanggan untuk cuci tangan sebelum masuk ruangan. “Cuci tangan doang tapi enggak dikasih makan,” candanya.
Tukang cukur terbilang kelompok yang merasakan dampak signifikan akibat pandemi. Pada 13 April 2020, harian Kontan mewawancara Irawan Hidayah, Ketua Persaudaraan Pangkas Rambut Garut yang menaungi puluhan ribu tukang cukur asal Garut. Irawan mengaku pandemi membuat penghasilan para pemangkas rambut menurun nyaris 100%. Walhasil, 2.500 pemangkas rambut asal Garut pulang kampung dan memilih membuka usaha sebagai pedagang makanan atau petani. “Terpaksa hidup seadanya dan semampunya walau tidak ada harapan ke depan,” katanya.
Irawan berupaya meringankan beban kawan-kawan seprofesinya dengan mendorong pemerintah untuk meringankan cicilan rumah setiap tukang cukur asal Garut di kompleks perumahan khusus tukang cukur Garut. Perumahan ini dibangun dengan dana subsidi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Upaya tersebut bukannya mustahil. Sebagian pemangkas rambut asal Garut sudah punya reputasi di kalangan pejabat pemerintahan. Mereka memotong rambut presiden, wakil presiden, dan sejumlah staf pemerintahan lainnya. Presiden pun bersedia mengikuti acara cukur rambut massal yang sempat diadakan di Garut pada Januari 2019 lalu.
Profesi pemangkas rambut dipandang sebagai peluang bisnis yang potensial karena setiap pria perlu merapikan rambutnya. Di Garut, profesi tersebut kemudian jadi bisnis keluarga dan diturunkan dari generasi ke generasi. Banyak pemangkas rambut dari Garut pindah ke Jakarta agar pendapatan meningkat.
Menurut Irawan, pemangkas rambut asal Garut yang merantau di ibukota rata-rata mendapat penghasilan Rp200-500 ribu per hari sebelum pandemi. Ada pemangkas rambut yang membuka usaha sendiri dalam skala kecil--kios cukur, ada pula yang bekerja atau membuka usaha sekelas barbershop. Honor pangkas rambut dimulai dari Rp15.000 sampai di atas Rp60.000--untuk kelas barbershop. Para tukang pangkas yang bekerja di barbershop biasa mendapat penghasilan dengan sistem bagi hasil dengan pemilik barbershop. “Ada yang 50%-50% dan 60%-40%,” kata Irawan sebagaimana dikutip Kontan.
Nasib Barbershop
Kini usaha barbershop--termasuk yang tersohor di kalangan selebritas--juga terdampak pandemi. “Kami ini kan harus selalu dekat dengan pelanggan secara fisik seperti dokter gigi lah. Pasti sentuh kepala dan wajah. Jadi saya pikir tidak benar bila saya tetap membuka usaha di tengah pandemi apalagi sudah ada larangannya dari pemerintah. Saya merasa punya tanggung jawab juga untuk mengedukasi orang-orang di sekitar agar taat aturan,” kata Iman Taufiq Djayadiningrat, 29 tahun, pemilik Hairnerds studio ketika dihubungi Tirto (13/5/2020).
Sejak PSBB ditetapkan, ia memutuskan menutup barbershop. Seluruh karyawan tetap menerima gaji pokok selama masa PSBB. “Berdasarkan hitung-hitungan, kami masih bisa bertahan sampai empat bulan ke depan.”
Sementara itu, jenis usaha lain yang saat ini masih berjalan ialah penjualan produk untuk rambut seperti hairdust spray dan hairnerds powder. Sejak pandemi, Iman juga turut menjual cairan pembersih tangan.
Beda barbershop, beda cerita. Musthofa Walker, 29 tahun, salah satu pendiri barbershop Di Bawah Pohon tetap melayani jasa pangkas rambut dengan layanan datang ke rumah pelanggan. Dalam sehari para pemangkas rambut bisa datang ke tiga sampai empat lokasi di sekitar Menteng, Kuningan, Setiabudi, Karet, dan Bumi Serpong Damai. Untuk layanan ini Mustofa menetapkan tarif Rp200.000 per kepala--tarif normal Rp85.000.
Para pelanggan berusia 17-39 tahun. Pada masa kerja dari rumah, pekerjaan para pemangkas rambut itu kerap kali merapikan potongan rambut yang sebelumnya telah digunting sendiri oleh klien.
Mustofa menyayangkan pemerintah indonesia belum menetapkan salon dan barbershop sebagai industri yang boleh beroperasi pada masa penjarakan sosial. Menurutnya, potong rambut ialah kebutuhan pokok individu. Ia melihat Berlin dan Singapura yang mulai membuka kembali barbershop seiring dengan dilonggarkannya penjarakan sosial. Ia merasa potong rambut adalah kebutuhan pokok dan sudah seharusnya.
Musthofa meminta timnya yang terdiri dari delapan orang pemangkas rambut untuk senantiasa mengenakan masker dan sarung tangan ketika bekerja dan menjaga kebersihan tangan dengan rutin menggunakan hand sanitizer. “Setiap selesai melayani konsumen, kami membersihkan semua perangkat cukur dengan disinfektan. Di samping itu, para konsumen biasanya juga sudah siap dengan alat pelindung diri seperti face shield,” ujar pria yang membuka usaha barbershop selama lima tahun.
Hilman Sembiring, 39 tahun, pemilik Manifesto Barbershop di kawasan Wijaya, Jakarta Selatan, memilih jalan serupa Musthofa. Manifesto memiliki dua orang pemangkas rambut dan kini dalam satu hari masing-masing dari mereka maksimal berkunjung ke tiga lokasi untuk memangkas rambut. Hilman menetapkan aturan bahwa dalam sekali kunjungan, pemangkas rambut minimal mencukur rambut dua orang dengan tarif Rp160.000 per orang.
Menurut Hilman, layanan potong rambut di rumah tersebut relatif aman dilaksanakan. Selama PSBB ini ia menghilangkan layanan lain seperti creambath, pewarnaan rambut, dan perawatan rambut.
“Sekarang pelanggan malah berasal dari lokasi yang jauh seperti Bekasi dan Slipi,” tutur Hilman kepada Tirto via telepon pada Selasa (12/5/2020).
Lebih dari Sekadar Tempat Cukur
BBC dan Vogue melaporkan beberapa daerah di AS, Jerman, Spanyol Denmark, dan London kini sejumlah pemilik salon telah membuka kembali usahanya. Mereka menerapkan sejumlah aturan baru, misalnya hanya melayani maksimum 30%- 50% dari kapasitas kursi di ruangan salon, para pelanggan berjarak setidaknya satu meter, para pemangkas rambut/penata gaya rambut harus mengenakan sarung tangan, setiap orang harus mengenakan masker, komunikasi antara pemangkas rambut/penata gaya rambut dan pelanggan dilakukan seminim mungkin--bila harus bicara disarankan lewat pantulan cermin sehingga tidak berhadapan langsung.
Sejumlah penata gaya rambut merasa kebijakan ini akan mengubah karakteristik salon yang mengandalkan interaksi intens antara penata gaya rambut dan konsumen. Salon tak hanya tempat seseorang merapikan rambut melainkan juga ruang bersosialisasi dan tempat melepas penat.
Menulis di The Conversation, Melissa Godin menjelaskan makna salon bagi perempuan Republik Dominika yang tinggal di AS. Salah satu pelanggan salon yang ia wawancarai menyatakan hanya di salon tersebut ia benar-benar merasa nyaman karena merasa sedang ada di tempat asalnya dan bertemu dengan orang-orang dengan kesamaan latar belakang.
Di sana ia bertemu perempuan-perempuan yang pernah dipaksa meluruskan rambut agar tidak dipandang rendah oleh warga kulit putih. Di kelompok itu pula perubahan cara pandang perempuan Dominika bisa disaksikan. Mereka kini cenderung menerima bentuk rambut asli mereka yang keriting dan tak lagi minder.
Di kota New York, barbershop jadi bagian dari komunitas. Pada 11 Maret 2020 New York Times mengisahkan tentang queer barbershop yang awalnya dipromosikan secara online dan mendapat respons heboh dari media sosial. Barbershop ini kemudian jadi lokasi kaum queer untuk merapikan rambut dengan nyaman karena mereka kerap ditolak ketika datang ke salon atau barbershop yang didominasi pria.
Menurut catatan BBC, di India, jasa tukang cukur rambut juga jadi tempat yang menawarkan layanan menyisir rambut sampai-sampai anak-anak muda yang masih menganggur sering kongkow di sana. Barbershop juga jadi tempat lansia menghabiskan waktu dengan membaca koran atau menonton.
Di Indonesia, kedekatan interpersonal itu muncul secara organik. Para pelanggan kadang membangun bisnis baru dengan pemilik barbershop. Inilah yang terjadi pada Iman dan para selebritas yang jadi pelanggannya. Karena sama-sama memiliki followers yang besar di Instagram, mereka hendak meluncurkan produk “yang belum bisa dipublikasikan detailnya".
Editor: Windu Jusuf