tirto.id - Pengadilan Tipikor Jakarta melarang penayangan siaran langsung atau secara live sidang korupsi e-KTP dengan terdakwa Setya Novanto (Setnov) sejak awal hingga penyampaian putusan vonis. Sidang perdana kasus ini akan berlangsung pada Rabu besok, (13/12/2017).
Pelarangan ini menimbulkan pertanyaan karena mengesankan Pengadilan Tipikor Jakarta menutupi proses persidangan itu dari akses publik secara luas. Tapi, Humas PN Jakarta Pusat sekaligus Pengadilan Tipikor Jakarta, Ibnu Basuki Wibowo membantah kritikan itu.
Ibnu menegaskan larangan siaran langsung sidang Setya Novanto itu sama sekali tidak bermaksud membela Setya Novanto.
"Dari mana? Nggak (membela Setya Novanto). Sidang sudah terbuka," ujar Ibnu pada Selasa (12/12/2017).
Ibnu menambahkan pihaknya siap menerima kritikan dari publik soal pelarangan itu. Dia mengklaim larangan itu sudah sesuai dengan Surat Keputusan (SK) Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat nomor W10.VI/KP.01.1.1705XI.2016.01 tentang pelarangan peliputan atau penayangan langsung persidangan yang diterbitkan 4 November 2016.
SK tersebut, menurut Ibnu, sudah ada sejak tahun lalu dan berlaku untuk semua pihak. Sayangnya, Ibnu enggan menunjukkan SK itu maupun salinannya kepada Tirto. Ia juga menolak menjelaskan detail isi surat itu dengan alasan harus segera menghadiri sejumlah persidangan.
Namun, ia memastikan isi SK itu sebagaimana yang disampaikan pihak Pengadilan Tipikor Jakarta ke para jurnalis televisi, pada siang hari ini. "SK-nya ada," kata Ibnu.
Pengadilan Tipikor Jakarta hanya mengizinkan sidang Setya Novanto digelar untuk umum, tanpa disiarkan secara live di televisi. Jumlah pengunjung yang memasuki ruang sidang juga akan dibatasi. Media yang masuk hanya bisa meliput dengan menggunakan identitas khusus.
Ibnu beralasan kapasitas ruangan sidang Koesoema Atmadja 1 sangat terbatas sehingga perlu dibatasi pengunjungnya. Untuk antisipasi keterbatasan ruangan bagi awak media, Pengadilan Tipikor Jakarta menyiapkan pengeras suara di luar ruang sidang.
Ibnu menegaskan pembatasan pengunjung ruang sidang juga tidak berkaitan dengan ketidaknyamanan majelis hakim terkait keberadaan media.
"Ya itu demi kelancaran persidangan, tidak menimbulkan penafsiran-penafsiran yang berbeda. Kadang orang lihat hanya sepertiga, yang sepertiga di sini tidak dilihat, tidak didengar. Nah mereka berpendapat hanya sepertiga ini padahal persidangan adalah utuh, utuh sekali baru diambil satu kesimpulan," kata Ibnu. "Nah supaya tidak terjadi opini yang berseberangan lebih baik kita tidak live."
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Addi M Idhom