tirto.id - “Kami yakin Garuda Indonesia mempunyai kapabilitas yang sangat baik dalam mengelola bisnis maskapai penerbangan,” kata Chandra Lie, Direktur Utama PT Sriwijaya Air melalui pernyataan resmi tertulis beberapa waktu lalu.
Pernyataan Chandra Lie ini berkaitan dengan dipercayakannya pengelolaan operasional dan finansial Sriwijaya Air Group yaitu Sriwijaya Air dan NAM Air kepada Citilink Indonesia, yang merupakan anak usaha PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Kerja Sama Operasional (KSO) ini mencakup kerja sama pengelolaan operasional maupun finansial Sriwijaya Air Group dengan Garuda Indonesia Group. KSO akan dikelola oleh Citilink Indonesia.
Namun, belum genap satu bulan, KSO antara anak usaha Garuda Indonesia dengan Sriwijaya Air Group telah menelan korban. Toto Nursatyo, Direktur Komersial Sriwijaya Air mengungkapkan ia sudah tidak bekerja lagi di perusahaan penerbangan yang didirikan oleh Chandra Lie itu.
Alasannya, adalah perbedaan pendapat atau persepsi terkait KSO yang saat ini sedang berjalan. "Sudah sejak Jumat (30/11) saya tidak bekerja lagi di Sriwijaya Air. Alasannya karena berbeda pendapat dengan konsep KSO yang saat ini terjadi. Saya ikhlas dan lega karena masalah perbedaan pendapat adalah hal yang biasa," tutur Toto kepada Tirto.
KSO yang saat ini berlangsung antara Citilink, anak usaha Garuda Indonesia Group terhadap Sriwijaya Air Group diduga terkait dengan utang piutang. Sriwijaya Air tercatat memiliki beberapa kewajiban utang kepada Garuda Group. Misalnya saja, utang jangka panjang yang dimiliki Sriwijaya Air atas pengerjaan overhaul 10 mesin CFM56-3 (PDF).
Utang tersebut baru akan lunas pembayarannya melalui angsuran selama 36 bulan atau 3 tahun. Garuda Indonesia juga merinci, jumlah saldo piutang Sriwijaya Air per 30 September 2018 adalah sebesar $9,33 juta atau setara Rp135,34 miliar dengan kurs Rp14.500 per dolar AS.
Dari jumlah utang tersebut, yang jatuh tempo dalam waktu satu tahun senilai $4,32 juta atau setara Rp62,64 miliar dengan nilai tukar yang sama. Per Desember 2017, saldo utang Sriwijaya Air terhadap Garuda Indonesia Group senilai $9,15 juta atau setara Rp132,7 miliar dan dengan nominal jatuh tempo yang sama.
Sriwijaya Air sebelumnya tercatat telah memiliki kewajiban kepada Garuda Indonesia senilai $6,28 juta dan Rp119,77 miliar (setara $8,71 juta). Namun piutang Garuda ini kemudian diambil alih oleh PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk melalui fasilitas perluasan Open Account Financing (OAF) pada Juli 2018.
Jatuh tempo utang tersebut sampai dengan Oktober 2019. Dengan demikian, utang Sriwijaya Air kepada Garuda Indonesia Group mencapai $24,32 juta atau setara Rp352,64 miliar.
“Kami berharap KSO yang akan dikelola oleh Citilink ini dapat membantu pemulihan Sriwijaya Air Group di tengah persaingan industri penerbangan yang semakin kompetitif,” imbuh Chandra Lie.
Selain utang yang tercatat dalam laporan keuangan Garuda Indonesia (PDF) itu, Sriwijaya Air Group juga memiliki utang kepada PT Garuda Maintenance Facility Aero Asia Tbk. Dalam laporan keuangan kinerja tiga bulanan yang terbit pada September 2018 (PDF) itu, GMF Aero Asia mencatat Sriwijaya Air memiliki utang senilai $22,3 juta atau setara Rp323,46 miliar.
Angka itu belum ditambah dengan utang NAM Air yang sebesar $1,84 juta atau setara Rp26,64 miliar. Dalam catatan GMF Aero Asia, utang jangka panjang Sriwijaya Air atas pengerjaan overhaul mesin CFM56-3 itu, dikategorikan sebagai piutang usaha.
KSO Sebagai Pintu Masuk Garuda
I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra, Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk mengungkapkan, KSO yang sepenuhnya akan dikelola oleh Citilink ini akan segera terealisasi setelah proses internal di masing-masing perusahaan terselesaikan. Kerja sama ini juga dapat ditingkatkan ke level kepemilikan saham Sriwijaya Group, yang akan diatur kemudian.
Ini artinya, KSO yang dilaksanakan kedua grup maskapai ini merupakan salah satu upaya Garuda Indonesia untuk memiliki saham di Sriwijaya Air Group. "KSO ini akan berjalan selama 12 tahun ke depan dengan opsi Garuda Indonesia Group bisa membeli sebagian saham Sriwijaya Air Group tanpa bidding, maksimal di tahun kelima," jelas Ari Askhara kepada Tirto.
Besarnya pembelian saham bisa antara 1-99 persen. Namun, skema pembelian saham ini menurut Ari masih dalam tahap pembicaraan. KSO juga menjadi langkah strategis yang secara langsung membantu sinergi Garuda Indonesia Group dan Sriwijaya Group dalam mengelola pangsa pasar penumpang angkutan udara sampai dengan 51 persen.
Kerja sama operasi ini ditujukan untuk membantu Sriwijaya Group dalam memperbaiki kinerja operasi dan kinerja keuangan. “Termasuk membantu Sriwijaya Air dalam memenuhi komitmen atau kewajiban mereka terhadap pihak ketiga yang di antaranya ada pada lingkungan Garuda Indonesia Group,” kata Ari Askhara.
Kerja sama ini juga diharapkan dapat memberikan dampak yang positif terhadap kinerja Citilink Indonesia. Pertama, dapat mensinergikan dan memperluas segmen pasar. Kedua, memperluas jaringan maskapai. Selain itu, memberikan dampak positif pada kapasitas dan kapabilitas perseroan. Ketiga, mempercepat restrukturisasi penyelesaian kewajiban utang Sriwijaya Group terhadap salah satu anak usaha Garuda Indonesia. Pelaksanaan KSO bertujuan membantu Sriwijaya Air Group dan juga Citilink agar keduanya mendapat benefit seperti pengaturan rute dan efisiensi pengadaan.
"Dengan manajemen rute yang baik tentunya akan menghasilkan yield yang baik dan ujungnya pasti akan bisa memperbaiki kondisi keuangan kedua pihak," jelas Ari.
Sebelum penandatanganan KSO, Garuda Indonesia Group dengan Sriwijaya Air Group telah menandatangani kerja sama codeshare untuk beberapa rute penerbangan. Kerja sama komersial tersebut dilakukan untuk wilayah penerbangan domestik, dalam rangka memperkuat kerja sama jaringan. Contohnya rute Jakarta-Kupang yang dioperasikan oleh Garuda Indonesia. Sedangkan rute Kupang-Alor, dioperasikan oleh Sriwijaya Air.
Dengan kerja sama ini, Garuda Indonesia dan anak usaha Citilink Indonesia, akan menempatkan nomor penerbangan pada penerbangan yang dikerjasamakan. Sebaliknya juga, Sriwijaya Air dan NAM Air juga akan menempatkan nomor penerbangan pada penerbangan yang dikerjasamakan dengan Garuda Indonesia maupun Citilink.
“Komitmen kerja sama dalam pelayanan ini diharapkan akan membawa kontribusi positif bagi kemajuan transportasi udara di Indonesia dan mengedepankan kepentingan pelanggan dalam melakukan perjalanannya dari Sabang hingga Merauke,” tutur Chandra Lie.
Deputi Bidang Usaha Jasa Keuangan, Jasa Survei dan Jasa Konsultasi Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Gatot Trihargo menuturkan, pembicaraan tentang KSO sudah berlangsung sejak gelaran Singapore Airshow dan Paris Airshow awal 2018. Biang keladi Sriwijaya Air Group ingin melakukan KSO adalah lantaran gejolak nilai tukar rupiah dan juga harga avtur yang melambung akibat tingginya harga dolar AS.
"Sriwijaya ingin survive di bisnis penerbangan. Banyak investor asing yang masuk, tapi Sriwijaya terlebih dahulu mendatangi Garuda Indonesia Group untuk opsi kerja sama. Ini memang keinginan Chandra Lie dan Hendra Lie yang ingin melakukan kerja sama di bawah Garuda Indonesia Group agar lebih optimal dalam hal pengoperasian. Terlebih Sriwijaya Air Group menggunakan jasa maintenance milik Garuda Indonesia yaitu GMF," jelas Gatot kepada Tirto.
Skema KSO ini memungkinkan Garuda Indonesia Group untuk memiliki berbagai lapisan 'kelas' penerbangan. Di kelas premium tentu ditempati oleh merek Garuda Indonesia. Kemudian untuk kelas Low Cost Carrier (LCC) premium atau maskapai berbiaya murah premium, dipegang oleh Citilink. Ini karena Citilink memiliki bintang empat dan menjadi penerbangan terbaik di kelasnya.
Sedangkan untuk kelas Low Cost Carrier dan Low LCC, akan ditempati oleh Sriwijaya Air dan juga NAM Air. Dengan penguasaan pangsa pasar industri penerbangan sekitar 12 persen, memudahkan Sriwijaya Air Group untuk mempertahankan pangsa pasar tersebut sejalan dengan Citilink yang memiliki pangsa pasar sebesar 13 persen di Indonesia.
Masuknya Sriwijaya Air Group ke dalam Garuda Indonesia Group diharapkan akan mampu memaksimalkan utilisasi sehingga lebih efisien. Sebab, arena bisnis penerbangan Indonesia mengalami masa-masa sulit pada tahun 2017 lalu. Selain itu, KSO dimaksudkan untuk meningkatkan economy of skill Sriwijaya Air Group dari sisi korporasi.
Saat ini perseroan baru memiliki armada lebih kurang 38 unit dan jumlah pesawat NAM Air adalah belasan unit. Kepemilikan armada angkut yang masih minim itu menurut Gatot perlu diefisienkan agar perseroan tidak goyah saat dilanda ketidakpastian industri penerbangan seperti kenaikan harga avtur hingga gejolak kurs dolar.
Skema KSO ini memungkinkan pemerintah melalui GIAA dan juga Citilink untuk membeli saham Sriwijaya Air Group pada tiga sampai dengan lima tahun mendatang. Dukungan Kementerian BUMN untuk KSO dua belah pihak lantaran kinerja Sriwijaya yang juga cukup solid. Ini terlihat dari kepatuhan perseroan dalam melunasi pinjaman perbankan seperti kepada PT Bank Negara Indonesia (BNI) Tbk.
"Sampai dengan saat ini Sriwijaya Air dapat memenuhi kewajibannya kepada BNI," kata Achmad Baiquni, Direktur Utama BNI kepada Tirto.
BNI memandang positif KSO yang dilakukan antara GIAA dengan Sriwijaya Air Group. Sebab, kepastian terhadap pelunasan maupun pembayaran utang lebih terjamin.
Skema KSO yang terjalin memang wajar bila melihat dari sisi piutang Garuda terhadap Sriwijaya. Namun, perlu diingat, Garuda juga sedang terbelit masalah keuangan yang "berdarah-darah" merugi beberapa tahun terakhir. Laporan keuangan (PDF) perseroan menyebut jumlah kerugian yang harus ditanggung GIAA selama sembilan bulan pertama 2018 sebesar sebesar $110,23 juta.
Angka itu setara Rp1,6 triliun. Padahal pendapatan usaha perseroan sampai dengan September 2018, naik 3,48 persen secara tahunan. Per kuartal III-2018, pendapatan usaha GIAA senilai $3,22 miliar lebih tinggi dibanding tahun 2016 yang sebesar $3,11 miliar.
Direktur Utama Lion Air Edward Sirait, sempat berkomentar soal langkah strategis Garuda dan Sriwijaya. Ia melihat KSO kedua maskapai papan atas itu hanya persoalan strategi efisiensi soal manajemen pasokan.
"Saya rasa Garuda ketat mengontrol supply. Mudah-mudahan nantinya keputusan ini menghasilkan dampak positif. Terjadi ekuilibrium baru di mana supply dan demand jadi seimbang karena kelebihan supply hanya akan jadi cost (biaya)," katanya Edward.
Persoalan mengelola biaya memang dibutuhkan bagi Garuda maupun Sriwijaya yang sedang bermasalah dengan keuangan. Namun, adanya opsi Garuda bisa memiliki saham Sriwijaya di masa mendatang, membuat ada peluang untung dan buntung bagi kedua maskapai. Sriwijaya tentu berpotensi melepas harga sahamnya dengan harga miring kepada Garuda, di sisi lain Garuda bisa makin berdarah-darah bila skema KSO gagal total.
Editor: Suhendra