tirto.id - Kawasan segitiga emas atau CBD Jakarta yang sudah lama jadi primadona sebagai lokasi perkantoran idaman di Jakarta. Namun, perlambatan pasar properti perkantoran dalam beberapa tahun terakhir terasa juga terhadap sewa perkantoran di kawasan ini, bahkan perkantoran di luar CBD.
Laporan Jones Lang LaSalle (JLL) terbaru, kawasan CBD Jakarta, rata-rata okupansi perkantoran hanya 81 persen, turun dibandingkan dengan kondisi kuartal III-2016 sebesar 84 persen. Begitu juga dengan rata-rata okupansi perkantoran non-CBD yang hanya sekitar 76 persen, turun dari kuartal III-2016 sebesar 79 persen. Bahkan laporan JLL juga mengungkap tingkat okupansi gedung perkantoran di TB Simatupang, Jakarta Selatan, pada kuartal III-2017 paling rendah se-Jakarta, okupansinya hanya 70 persen.
Gara-gara okupansi rendah, tarif sewa kantor menjadi ikut turun. Pada kuartal III-2017, rata-rata tarif sewa kantor di CBD sekitar Rp200.660 per meter persegi per bulan, turun 10 persen dari kuartal III-2016. Adapun, untuk non-CBD turun menjadi Rp116.150 per meter persegi per bulan.
Okupansi yang rendah dan sewa yang turun membuat pengelola kantor konvensional mulai berpikir mencari cara untuk tetap meningkatkan pendapatan. Belum lama ini, muncul di media sosial promo kantor virtual atau virtual office pada sebuah kantor di Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan.
Baca juga:Angka Sewa Perkantoran di Jakarta Menurun
“Mulai dari Rp500.000 per bulan. Siapa mau?”
Virtual office memang memiliki segmen pasar yang tersendiri, di luar dari perkantoran konvensional. Namun, tak bisa dipungkiri, segmen ini menarik untuk digarap, bahkan belakangan ini, penggunaan kantor virtual tengah menjadi tren terutama di bisnis rintisan atau startup.
Virtual Office Solusi Bagi Startup
Bagi usah rintisan, masalah modal dan biaya operasional memang menjadi hal penting, salah satunya soal tempat untuk berkantor. Namun, sayangnya tarif sewa perkantoran di pusat-pusat bisnis Jakarta apalagi grade A di CBD sudah terlampau tinggi, tentu tidak cocok bagi startup yang baru berkembang. Hanya startup yang mendapatkan suntikan dana dari pemodal besar saja, yang bisa menyewa kantor di lokasi strategis.
Sebagai contoh, ruang sewa kantor Indofood Tower yang berlokasi di Jl. Jend. Sudirman Kav. 76-78, Jakarta Selatan. Dengan luas 10-150 meter persegi, tarif sewa kantor sekitar Rp8,5 juta-Rp28 juta per bulan. Ada lagi, ruang kantor Prosperity Tower yang berlokasi di District 8, Lot 28, Sudirman Central Business District (SCBD), Jakarta Selatan, dengan luas 137 meter persegi, tarif sewa dipatok Rp47,95 juta atau Rp350.000 per meter persegi.
Tarif sewa tersebut jauh lebih mahal ketimbang tarif yang ditawarkan oleh kantor virtual. Misalnya, kantor virtual yang dikelola EV Hive. Berlokasi di Gedung Equity SCBD, Jakarta Selatan, EV Hive mematok tarif Rp6 juta per tahun. Selain EV Hive, ada lagi Centerflix. Operator kantor virtual ini memiliki kantor di kawasan Central Business District (CBD) Jakarta Pusat, dengan Rp5,28 juta per tahun, usaha rintisan sudah bisa memiliki kantor virtual baru.
Peminat kantor virtual ini kebanyakan berasal dari kalangan pengusaha muda. Misalnya saja, Muhammad Avisena dari Bandung, pemilik startup di bidang fesyen bernama Flying Dog yang dirintis sejak 2014. Seiring dengan permintaan yang semakin membesar, Avisena sudah berpikir untuk dapat memiliki kantor. Selain tampil lebih profesional, kantor juga merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi agar usahanya dapat lebih legal. Kantor virtual memang cocok untuk bisnisnya yang baru berkembang.
“Saya sebetulnya berminat untuk punya virtual office ke depannya. Selain biayanya murah dan cocok di kantong, punya kantor di Jakarta Pusat itu bagus juga. Mungkin baru bisa tahun depan,” katanya kepada Tirto.
Kehadiran kantor virtual memang dimaksudkan untuk menekan biaya sewa kantor. Biasanya, kantor virtual hanya memiliki operator yang bertugas menerima dan mengirimkan kembali surat kepada penyewa. Namun ada juga kantor virtual yang memiliki ruang rapat. Sebagai perusahaan startup, kepemilikan kantor terutama yang berlokasi di pusat-pusat bisnis memang sangat menguntungkan, di antaranya adalah dapat meningkatkan citra dan branding perusahaan. Cocok bagi startup yang ingin cepat mengenalkan produknya.
Apakah keberadaan kantor virtual akan menggerus segmen pasar kantor konvensional?
Head of Market PT Jones Lang LaSalle Indonesia Angela Wibawa menilai penggunaan ruang kantor saat ini memang terus berkembang seiring dengan perkembangan teknologi. Selain kantor virtual, ada juga yang namanya co-working. Saat ini, kontribusi penggunaan kantor untuk virtual office atau co-working terbilang masih kecil. Dari total kapasitas yang tersedia di Jakarta sebanyak 5,7 juta meter persegi, virtual office hanya menyumbang kurang dari 1 persen.
Menurutnya kantor konvensional masih akan dibutuhkan ke depannya. Pasalnya, penggunaan kantor virtual hanya bersifat sementara. Perusahaan startup yang telah berkembang biasanya akan membutuhkan kantor secara fisik.
“Saya kira dalam waktu dekat ini, kehadiran virtual office tidak akan menggerus okupansi perkantoran di Jakarta. Mereka memiliki segmen pasar tersendiri, biasanya yang dibidik startup-startup baru,” tutur Angela.
Baca juga:E-Commerce Picu Pertumbuhan Bisnis Properti Perkantoran
Perhimpunan Pengusaha Jasa Kantor Bersama Indonesia (Perjakbi) menyebutkan 50.000 pelaku usaha di Jakarta sudah menggunakan jasa kantor virtual. Dengan perkembangan saat ini, jumlah pengguna kantor virtual masih akan terus bertambah.
“Jika melihat perkembangan tren saat ini, besar kemungkinan pengguna kantor virtual di Jakarta akan bertambah menjadi 500.000 usaha,” M Hadi Nainggolan, Sekretaris Jenderal Perjakbi dalam keterangan resminya.
Dari sisi regulasi, penggunaan kantor virtual untuk dapat mempunyai alamat perseroan tidak menyalahi hukum. Sesuai pasal 5 UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas disebutkan bahwa perseroan harus mempunyai nama dan tempat kedudukan.
Selain itu, perseroan juga wajib mempunyai alamat yang sesuai dengan tempat kedudukannya tersebut untuk kepentingan surat menyurat. Selain itu, dengan adanya alamat, perseroan dapat mudah dihubungi. Namun, apabila perseroan tersebut menerbitkan faktur pajak atau sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), di mana memiliki omzet Rp4,8 miliar per tahun atau lebih, maka penggunaan kantor virtual tidak dibolehkan karena petugas Ditjen Pajak akan melakukan survei ke kantor bersangkutan..
Hal itu sesuai dengan Pasal 39 ayat (1) UU No. 28/2007 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, disebutkan bahwa tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditetapkan oleh Dirjen Pajak menurut keadaan yang sebenarnya.
Kantor virtual memang menjadi solusi, setidaknya bagi usaha rintisan yang baru memulai bisnis. Di sisi lain, bagi pengelola perkantoran konvensional, mencari tambahan dari penyewaan kantor virtual bisa jadi sebuah pilihan.
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra