Menuju konten utama

Setya Novanto Permasalahkan Konsistensi Jaksa di Nota Pembelaannya

Tim kuasa hukum Setnov memandang, JPU KPK kerap mencantumkan nama-nama berbeda di dakwaan untuk Setnov, Irman, Sugiharto, dan Andi Narogong.

Setya Novanto Permasalahkan Konsistensi Jaksa di Nota Pembelaannya
Suasana sidang dengan agenda pembacaan eksepsi terdakwa pada perkara dugaan korupsi pengadaan e-KTP Setya Novanto, PN Jakarta Pusat, Rabu (20/12/2017). tirto.id/Lalu Rahadian.

tirto.id - Maqdir Ismail, salah satu kuasa hukum terdakwa kasus dugaan korupsi e-KTP Setya Novanto (Setnov) mempermasalahkan konsistensi Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mencantumkan nama-nama politikus di surat dakwaan perkara tersebut.

Keberatan itu disampaikan kuasa hukum dalam eksepsi (nota pembelaan) yang dibacakan pada sidang lanjutan kasus korupsi e-KTP, di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (20/12/2017). Nama-nama polititus yang dipermasalahkan adalah Gandjar Pranowo, Yassona Laoly, Olly Dondokambey, dan Ade Komarudin.

Tim kuasa hukum Setnov memandang, jaksa KPK kerap mencantumkan nama-nama berbeda di dakwaan untuk Setnov, Irman, Sugiharto, dan Andi Narogong. Tak hanya itu, jumlah uang atau harta yang diterima pihak-pihak terkait juga disebut kerap berbeda antar-dakwaan.

“Contoh, Gamawan Fauzi dalam dakwaannya Irman dan Sugiharto disebut menerima uang sebesar USD4,5 juta dan Rp50 juta. Namun, dalam dakwaan Andi jumlah fee menjadi Rp50 juta. Bahkan di dakwaan Setnov fee secara sepihak bertambah Rp50 juta ditambah satu ruko di Grand Wijaya dan sebidang tanah di Jalan Brawijaya III,” kata kuasa hukum Setnov di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Hal serupa terjadi kepada nama Gandjar, Yassona, dan Olly. Dalam dakwaan untuk Irman dan Sugiharto, Gandjar disebut menerima fee USD520 ribu. Sementara, Yassona dikatakan terima uang USD84 ribu dan Olly raup USD1,2 juta. Nama ketiga politikus PDI Perjuangan itu hilang dalam dakwaan atas nama Andi dan Setnov.

Perbedaan jumlah harta yang diterima juga terdapat dalam penyebutan mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri, Diah Anggraeni. Pada dakwaan Irman dan Sugiharto, Diah disebut terima USD2,7 juta dan Rp22,5 juta. Jumlah itu berubah menjadi USD500 ribu dan Rp22,5 juta di dakwaan Andi serta Setnov.

Hal yang terjadi pada Diah juga menimpa Drajat Wisnu Setyawan, Ketua Panitia Pengadaan Barang/Jasa Dirjen Dukcapil Kemendagri saat dugaan korupsi terjadi.

Drajat di surat dakwaan Irman dan Sugiharto dikatakan terima USD615 ribu dan Rp25 juta. Namun, pada dakwaan Andi dan Setnov jumlah harta yang diterima Drajat menjadi USD40 ribu dan Rp25 juta.

Kemudian, nama politikus Golkar Ade Komarudin juga sempat hilang di dakwaan Andi. Ade disebut menerima jatah hasil korupsi pada dakwaan Setnov dan Irman. Jumlah uang yang diterimanya disebut mencapai USD100 ribu.

Melihat fakta-fakta tersebut, Kuasa Hukum Setnov, Maqdir Ismail, meminta Majelis Hakim Pengadilan Tipikor mengeluarkan putusan sela berupa pembatalan dakwaan untuk kliennya.

“Surat dakwaan yang didakwakan kepada terdakwa mengandung cacat yuridis, karena dibuat berdasarkan berkas perkara hasil penyidikan yang tidak sah. Sehingga mengakibatkan surat dakwaan tidak dapat diterima dan disusun secara tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap sehingga harus dibatalkan," kata Maqdir.

Majelis Hakim juga diminta berkas pidana Setnov dikembalikan kepada jaksa. Kemudian, Setnov diharap bisa terbebas dari kurungan di Rumah Tahanan Negara Kelas I Jakarta Timur cabang KPK.

Terakhir, Maqdir meminta hakim melakukan rehabilitasi dan kedudukan hukum Setnov.

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Hukum
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Abdul Aziz