tirto.id - Afdal Makkuraga, pelanggan jalan tol dalam kota mengeluh dengan kenaikan tarif tol yang terjadi di Jakarta selama ini. Menurutnya, kenaikan tarif tol seringkali tidak diimbangi dengan perbaikan sarana dan prasarana.
“Saya setiap hari bawa mobil. Dari Kalibata ke Universitas Mercu Buana [Meruya]. Masuk tol dalam kota. Pulang lewat JOR [Jakarta Outer Ring]. Jadi kenaikan tarif tol sangat terasa. Belum lagi macetnya yang setiap hari,” katanya kepada Tirto.
Rasa dongkol Afdal barangkali bakal sedikit berkurang. Alasannya, pemerintah tengah menggodok rencana penurunan tarif tol pada ruas-ruas jalan tol tertentu dan golongan tertentu mulai tahun ini. Istilahnya rasionalisasi tarif tol. Sedikitnya ada 39 ruas tol yang bakal kena ketentuan ini.
Gagasan ini berawal dari keluhan sopir pengangkut logistik mengaku tarif tol di Pulau Jawa terlalu tinggi, dan mendapat respons Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Saya hanya minta kepada Menteri PU (Pekerjaan Umum), Menteri BUMN, menteri Perhubungan, agar tarif tol yang berhubungan dengan transportasi logistik, transportasi barang, itu bisa diturunkan sebanyak-banyaknya," kata Presiden Jokowi di kantor Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Jumat (23/3/2018).
Sebagai konsekuensi bagi investor dan operator tol, pemerintah akan memperpanjang masa konsesi tol hingga 50 tahun dari rata-rata konsesi tol selama ini 35-40 tahun. Artinya, ada ruang bagi investor mengembalikan modal meski tarif tolnya turun, hanya saja waktu pengembalian modal investasi lebih lama.
“Kalau perpanjangan konsesi tujuannya agar IRR (internal rate of return) jangan terganggu, dan selama perpanjangan konsesi masih bisa menutup investasi, maka itu bisa,” tutur Basuki Hadimuljono, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dikutip dari Antara.
Selain tarif, golongan kendaraan juga disederhanakan. Golongan II (truk dua gandar) dan III (truk tiga gandar) akan digabungkan menjadi golongan II. Sementara itu, golongan IV (truk empat gandar) dan V (truk lima gandar) digabung menjadi golongan III.
Seperti diketahui, tarif tol di Indonesia jarang sekali diturunkan. Trennya selalu naik. Hal ini juga tidak terlepas dari UU No. 38/2004 tentang Jalan dan Peraturan Pemerintah No. 15/2005 tentang Jalan Tol yang mendorong kenaikan tarif tol setiap dua tahun sekali.
Menurut UU dan Peraturan Pemerintah itu, evaluasi dan penyesuaian tarif dilakukan setiap dua tahun sekali oleh Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Kementerian PU dan Perumahan Rakyat berdasarkan tarif lama yang disesuaikan dengan pengaruh inflasi sekitar.
Jika melihat UU dan Peraturan Pemerintah itu, bisa dibilang kebijakan rasionalisasi tarif tol menabrak aturan yang ada. Namun demikian, penurunan tarif tol tetap bisa dilakukan asalkan dibuat juga payung hukumnya. “Memang kalau dilihat bertabrakan. Tapi, bukan persoalan. Asal ada payung hukumnya, bisa diterapkan,” kata pemerhati transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata Semarang Djoko Setijowarno kepada Tirto.
Ia mengapresiasi kebijakan pemerintah menurunkan tarif tol tersebut, lantaran tarif tol di Indonesia memang jarang sekali turun. Berbeda dengan di luar negeri, di mana tarif tol itu trennya terus menurun, bahkan gratis.
Singapura misalnya, tarif tol bagi kendaraan yang keluar dari Singapura via Woodlands Checkpoint diturunkan menjadi 1 dolar Singapura, dari sebelumnya 3,8 dolar Singapura, mulai Februari 2018. Selain itu, di Wales juga menurunkan tarif tol Severn-Wye Bridge pada 2018 seiring dengan tol tersebut menjadi milik publik kembali. Rencananya, tarif tol untuk mobil diturunkan menjadi 5,6 poundsterling dari sebelumnya 6,70 poundsterling.
Berpotensi Gerus Minat Investasi
Apa konsekuensi buat para investor dan operator tol dengan kebijakan rasionalisasi tarif tol? Asosiasi Tol Indonesia (ATI) menilai kebijakan rasionalisasi tarif berpotensi merusak iklim investasi jalan tol. Hanya saja, pihak asosiasi belum bisa menghitung mengingat kebijakan itu masih dikaji pemerintah.
“Tergantung keputusan pemerintah. Kalau tidak merugikan kami, ya silakan diterapkan. Yang pasti, investasi yang kami keluarkan untuk jalan tol ini tidak sedikit,” kata Ketua ATI Fatchur Rochman kepada Tirto.
Kendati demikian, ATI berpendapat masa konsesi yang diperpanjang tidaklah cukup untuk mengkompensasi penurunan pendapatan badan usaha. Pasalnya, penurunan tarif tol akan membuat tanggungan badan usaha menjadi besar di awal masa konsesi.
Dengan kondisi tersebut, dikhawatirkan akan membuat badan usaha tidak mampu memenuhi pengembalian pinjaman ke bank. Asal tahu saja, sekitar 70 persen dari dana yang dikucurkan pengelola untuk jalan tol itu berasal dari bank.
“Jadi [perpanjangan konsesi] enggak ada efeknya. Awal masa konsesi itu pasti ada gap yang harus diisi. Ini siapa yang menanggung. Saya khawatir bisa gagal bayar, dan merusak iklim investasi,” kata Fatchur.
Di sisi lain, kebijakan penurunan tarif tol dinilai tidak signifikan mengurangi biaya logistik. Pasalnya, kecil kemungkinan penurunan tarif tol itu akan diikuti penurunan biaya transportasi oleh penyedia truk.
Sebaliknya, penurunan tarif tol tersebut justru berpotensi mendorong truk barang dengan muatan overload makin banyak menggunakan jalur tol. Alhasil, kondisi itu akan memicu kemacetan yang semakin parah.
“Pemerintah harusnya menekankan tindakan tegas untuk truk overload daripada menurunkan tarif tol, karena kerugian dari truk overload jauh lebih besar,” tutur Ketua Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Zaldy Ilham Masita kepada Tirto.
Penurunan tarif tol memang kebijakan populis dan berpotensi memberikan angin segar bagi konsumen pengguna tol. Namun bagi dunia usaha bidang tol, penurunan tarif tol harus dilakukan secara hati-hati dan tepat sasaran agar tidak justru mengganggu iklim usaha.
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra