tirto.id - “Dalam Waktu Dekat akan diberlakukan pengaturan jam operasional angkutan barang di ruas jalan Tol Jakarta-Cikampek.”
Pengumuman PT Jasa Marga Tbk. (JSMR) melalui platform media sosial ini bisa jadi kabar baik bagi pengguna kendaraan pribadi. Namun, di sisi lain menjadi musibah bagi para sopir dan pengusaha angkutan barang atau dunia usaha.
Warganet lantas merespons pengumuman tersebut. Ratusan warganet menyukai postingan Jasa Marga ini, bahkan ada juga warganet yang menyambutnya dengan suka cita.
“Akhirnya....setelah sekian lama aku lelah melihat truk-truk itu di pagi hari, yang maunya jalan di tengah, dan lelet saat tanjakan,” kata salah satu warganet @putrilaksmana.
Pembatasan jam operasional angkutan barang merupakan salah satu dari kebijakan Kementerian Perhubungan melalui Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ). Kebijakan ini juga akan berbarengan dengan sistem ganjil genap untuk kendaraan non truk besar.
Tujuannya mengurangi volume kepadatan lalu lintas di ruas tol Jakarta-Cikampek yang memang sudah padat di tengah berbagai proyek infrastruktur LRT dan kereta cepat di ruas tol ini. PT Jasa Marga selaku operator tol ini sudah sejak tahun lalu mengajukan usulan pembatasan operasi truk di ruas tol milik mereka.
Kebijakan pembatasan jam operasi berlaku bagi kendaraan golongan III (truk dengan tiga gandar), IV (truk dengan empat gandar), dan V (truk dengan lima gandar). Sedangkan kendaraan yang dikecualikan adalah mobil pengangkut BBM dan BBG. Ruas Cawang sampai dengan Karawang Barat, berlaku dua arah berlaku sistem jam operasi truk. Ketentuan ini berlaku Senin-Jumat (kecuali libur nasional) mulai pukul 06.00-09.00 WIB, rencananya akan berlaku 12 Maret 2018.
Kemacetan di tol Jakarta-Cikampek memang sudah jadi benang kusut sejak lama dan jadi pemandangan sehari-hari. Sebagai ilustrasi saja pada 2015, volume lalu lintas kendaraan yang lalu lalang lebih kurang mencapai 214 juta kendaraan, atau rata-rata 590.000 kendaraan per hari.
Dari volume kendaraan sebanyak itu, maka perbandingan kapasitas jalan dan volume kendaraan atau biasa disebut dengan V/C Ratio di tol Jakarta–Cikampek mencapai 1,3. Angka itu di atas rasio maksimal sebesar 0,75.
Adanya larangan jam operasi atau tidak, bagi dunia usaha sama-sama tak menyenangkan. Kemacetan di Tol Jakarta-Cikampek membuat biaya operasi yang dikeluarkan mereka bertambah. Di sisi lain kebijakan pembatasan jam operasional juga merugikan karena membatasi waktu pengiriman barang. Bagi dunia usaha ibarat buah simalakama.
Proses logistrik terutama distribusi barang memang sangat komplek dan menentukan pada harga sebuah barang. Menurut Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo), terdapat lima komponen biaya yang harus dikeluarkan untuk sekali perjalanan. Pertama, depresiasi aset truk dengan kontribusi 20-30 persen terhadap total biaya.
Kedua, upah atau gaji sopir truk dengan kontribusi biaya mencapai 20 persen. Ketiga, solar sebesar 20-30 persen. Keempat, biaya administrasi sebesar 10 persen. Kelima, perawatan atau maintenance sebesar 10 persen.
“Untuk komponen seperti depresiasi truk, solar dan perawatan ini memang enggak bisa fixed, tergantung kondisi di lapangan, misalnya kemacetan,” kata Kyatmaja Lookman, Wakil Ketua Aptrindo Bidang Distribusi dan Logistik kepada Tirto.
Sehingga apabila rencana kebijakan pembatasan jam operasional bagi truk bisa efektif mengurai kemacetan, tentu di Jabodetabek akan mendapatkan dampak positif, yakni biaya operasi yang lebih efisien.
Namun, kebijakan ini juga berpotensi menambah biaya operasi angkutan barang, terutama dari upah sopir. Biasanya masing-masing sopir dan truknya sudah memiliki jadwal rutin saat distribusi barang. Sebagai ilustrasi, saat kebijakan pembatasan operasi truk berlaku maka jadwal pengiriman bisa meleset. Imbas langsung yang terasa adalah selain barang telat datang juga menambah biaya upah bagi sopir angkutan barang.
Jadwal barang yang meleset juga merugikan pelaku usaha. Barang yang telat masuk ke line produksi akan memengaruhi produksi pabrik, terutama bagi pelaku usaha yang menggunakan sistem produksi just in time (JIT). Sistem produksi JIT merupakan sistem produksi yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan tepat pada waktunya sesuai dengan jumlah yang dikehendakinya. Artinya, tepat waktu menjadi kunci agar sistem produksi ini bisa diterapkan.
Tujuan sistem produksi JIT adalah untuk menghindari terjadinya kelebihan kuantitas dalam produksi (overproduction), persediaan yang berlebihan (excess inventory), dan pemborosan dalam waktu tunggu (waiting).
Untuk dapat menjalankan sistem produksi JIT ini, perlu ketelitian dalam perencanaan jadwal, mulai dari pembelian bahan produksi, penerimaan bahan produksi, jalannya produksi, jadwal kesiapan produk hingga jadwal pengiriman barang jadi.
“Jadi dua kemungkinan dampak yang akan terjadi jika kebijakan pemerintah itu membuat jadwal antar barang menjadi meleset. Kami harus tambah biaya jalan sopir, dan pabrik harus tambah gudang agar tetap just in time,” tutur Kyatmaja.
Risiko pembengkakan biaya logistik akan semakin besar apalagi sekitar kawasan Tol Jakarta-Cikampek merupakan sentra-sentra industri besar seperti barang konsumsi, industri kendaraan, dan lain-lain. Parahnya lagi, Indonesia tengah menghadapi persoalan Logistics Performance Index (LPI) versi Bank Dunia yang trennya menurun. Pada 2016 misalnya LPI Indonesia berada di posisi ke-63 dari 160 negara. Capaian ini turun drastis dibandingkan 2014 yang sempat berada di posisi ke-53.
Imbas Kurang Antisipatif
Persoalan kemacetan di ruas tol Jakarta-Cikampek karen ada faktor pemerintah yang lambat dalam melakukan antisipasi. Faktor pertumbuhan ekonomi dan daya beli warga, terutama kendaraan pribadi selama ini, tidak disertai pertumbuhan infrastruktur yang memadai khususnya jalur distribusi bagi angkutan barang. Beberapa tahun lalu sempat ada gagasan transportasi angkutan barang melalui kanal di Cikarang hingga Pantura. Pelindo II sempat menyampaikan rencana proyek ini tapi belum ada kelanjutannya.
Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) mengakui tidak keberatan dengan adanya pembatasan jam operasional truk di ruas jalan tol Jakarta-Cikampek, asalkan pergerakan arus barang tetap lancar.
“Kami memahami rencana pemerintah itu. Kondisi sekarang memang perlu disiasati bersama. Namun, kami harap pemerintah juga sudah punya antisipasi hingga 20 tahun ke depan,” kata Yukki Nugrahawan, Ketua DPP ALFI kepada Tirto.
Menurut ALFI, contoh hal yang bisa dilakukan pemerintah guna mengantisipasi arus barang ke depannya adalah dengan memaksimalkan moda angkutan laut, atau kapal roro. Sayangnya, tarif kapal roro saat ini masih mahal.
Kemacetan yang terjadi di ruas tol Jakarta-Cikampek saat ini memang perlu dicarikan solusi. Pembatasan jam operasi truk dan sistem ganjil genap kendaraan pribadi sebagai sebuah jawaban sementara yang belum tentu efektif. Peluang truk-truk mencari jalan-jalan alternatif saat ada pembatasan operasi di tol tentu menjadi masalah serius, bahkan tak menutup kemungkinan memicu kemacetan jalan arteri.
Bagi pengendara kendaraan non truk memang bisa menjadi kabar baik karena mereka tak lagi berhadapan dengan truk-truk besar di pagi hari. Namun, perlu diingat biaya distribusi yang membengkak karena kebijakan pembatasan operasi di tol Jakarta-Cikampek tak menutup kemungkinan bisa berdampak pada biaya dan harga barang bagi konsumen.
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra