tirto.id - “Hari ini pemerintah meluncurkan paket kebijakan tahap pertama September 2015 yang terdiri dari tiga langkah mendorong daya saing industri nasional melalui deregulasi dan debirokratisasi, serta penegakan hukum dan kepastian usaha.”
Presiden Jokowi didampingi beberapa menteri dan Gubernur BI dan Ketua OJK petang itu mengumumkan kebijakan baru untuk mendorong industri di tengah perlambatan ekonomi global. Program yang biasa disebut paket kebijakan ekonomi tahap I sudah berumur 1,5 tahun lamanya semenjak diluncurkan 9 September 2015.
Sayangnya kebijakan ini belum nampak hasilnya, ini terlihat dari capaian sektor industri yang tumbuh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Pada 2016 sektor industri hanya tumbuh 4,4%, jauh di bawah target 5,7%. Sedangkan petumbuhan ekonomi nasional mencatatkan pertumbuhan 5,02%. Hal ini membuat harapan sektor industri kembali menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi masih jauh panggang dari api.
Sekretaris Dirjen Industri Kimia, Tekstil dan Aneka Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Taufiq Bawazier pernah memaparkan nasib miris kinerja sektor industri terhadap kontribusi bagi ekonomi yang makin menyusut. Pada 2001 kontribusi sektor industri bagi ekonomi nasional mencapai 29%, tapi pada 2015 kontribusinya hanya 21%. Parahnya lagi bila sektor industri minyak dan gas (migas) dikeluarkan maka kinerja industri non migas hanya sebesar 18%.
“Sektor industri terus terpuruk, karena menempatkan komoditas sebagai sumber pendapatan negara dan bukan sebagai modal untuk meningkatkan nilai tambah. Seperti harga gas dalam negeri kisaran US$ 8-11 sedangkan negara pesaing hanya US$ 4-6,” kata Taufiq.
Padahal tinggal sedikit lagi Indonesia menjadi negara maju bila kontribusi sektor industri mencapai 30%, sayangnya justru sejak tahun 2002 kontribusi sektor industri malah turun terus, akibatnya persaingan dengan produk industri negara lain di pasar domestik. Persoalan ini tentu multi sebab--salah satunya kebijakan yang masih mengedepankan menjual barang mentah tanpa proses nilai tambah.
Pasca krisis ekonomi 1998, yang kemudian diikuti dengan booming sektor komoditas, khususnya batu bara di awal 2000, saat itu kebijakan pemerintah fokus pada eksploitasi sumber daya alam dan menjadikannya sebagai komponen pemasukan negara. Ekspor bahan mentah menjadi salah satu langkah pemerintah untuk meningkatkan perekonomian. Namun pemerintahan berganti dan peta pun dunia juga berubah, komoditas yang dahulunya dipuja-puja kini harganya sudah anjlok.
Pada masa pemerintahan Presiden Jokowi, untuk meningkatkan daya saing industri nasional, pemerintah berupaya melakukan terobosan kebijakan untuk menghilangkan hambatan ekonomi antara lain di perizinan, ketersediaan energi dan infrastruktur, kebutuhan lahan untuk industri. Serangkaian paket kebijakan ekonomi mulai lahir pada era Jokowi sejak September 2015. Misalnya paket kebijakan ekonomi tahap I memfokuskan pada deregulasi perizinan dan penurunan harga gas sektor tertentu. Paket kebijakan ekonomi I mencakup pembenahan terhadap 124 peraturan, hingga Mei 2016 sudah selesai 97%.
Kemudian paket kebijakan II yang memberikan kemudahan pada perizinan investasi, paket kebijakan ekonomi II terdapat perbaikan 15 peraturan dan sudah selesai 100%. Paket kebijakan III yang meliputi penurunan harga BBM, listrik, gas, perluasan penerima KUR dan kemudahan perolehan tanah untuk investasi industri. Paket kebijakan ekonomi III terdapat 8 peraturan dan sudah selesai 100% ditata ulang.
Sayangnya rangkaian paket kebijakan tersebut tidak mampu menopang momentum kebangkitan industri pada tahun lalu. Pemerintah lambat merespons upaya deregulasi, paket kebijakan tahap I yang awalnya ditargetkan tuntas September-Oktober 2015, tapi baru hampir rampung setahun sesudahnya. Padahal paket-paket kebijakan ini secara langsung sebagai upaya mengatasi efek buruk kondisi perekonomian global yang lesu termasuk di sektor industri.
Ekonomi global yang melambat beberapa tahun terakhir ditandai dengan harga minyak dunia yang berimbas pada turunnya harga komoditas, banyak perusahaan tambang yang menutup operasinya ataupun mengurangi kapasitas produksi. Hal ini terlihat dari data BKPM tentang realisasi investasi di sektor pertambangan yang sempat mencatatkan rekor di 2013 sebesar US$ 18,76 miliar anjlok 83% menjadi US$ 3,14 miliar di 2014 dan 2015 hanya US$ 3,95 miliar.
Ini sebagai sinyal bahwa pemerintah harus memiliki peta jalan untuk menciptakan sektor penopang pertumbuhan industri lain setelah era migas dan komoditas berakhir. Hilirisasi di sektor mineral adalah salah satu upaya menciptakan ruang bagi tumbuhnya sektor industri. Kasus Freeport yang membandel belum membangun pabrik pemurnian mineral atau smelter menjadi ujian yang perlu pembuktian dan ketegasan. Saat ini sebanyak 40% konsentrat Freeport sudah diolah di PT Smelting Gresik, di Jawa Timur artinya membangun smelter untuk 60% sisa konsentrat semestinya tidak sulit.
Selain Freeport, kontribusi Pertamina untuk bisa merealisasikan rencana pembangunan kilang minyak yang terintegrasi dengan industri petrochemical di Tuban dan Bontang, sangat besar dampaknya bisa mengurangi ketergantungan bahan baku industri petrochemical yang sebagian besar masih impor. Kebijakan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pertumbuhan sektor industri di masa mendatang. Persoalan ini sudah sangat disadari pemerintah, jauh sebelum ada kebijakan paket ekonomi.
“Komoditas mentah sudah tak bisa diandalkan lagi. Kita harus masuk hilirisasi ke industrialisasi,” kata Jokowi 9 Juli 2015 lalu dalam acara Presiden Joko Widodo Menjawab Tantangan Ekonomi .
Membangkitkan kontribusi industri bagi ekonomi tak ada artinya bila hanya terpusat di Jawa karena tak akan menciptakan keadilan dan pemerataan ekonomi. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian 2014, meskipun kontribusi ekonomi terhadap PDB sudah mulai berimbang antara Jawa dan Luar Jawa, masing-masing 57,99% dan 42,01%, tapi kontribusi industri non migas dan industri menengah-besar masih timpang.
Untuk industri non migas, Jawa memberikan kontribusi 77,73% sedangkan Luar Jawa baru 27,22%. Sektor industri skala menengah dan besar, Jawa memberikan kontribusi sangat besar yaitu 83,04% sedangkan luar Jawa hanya 16,96%. Artinya upaya membangun industri pengolahan di luar Jawa masih menjadi pekerjaan rumah.
Persoalan klasik seperti ketersediaan energi, infrastruktur, biaya logistik yang besar masih menjadi hambatan bagi tumbuhnya industri di luar Jawa. Persoalan logistik ini pula yang akan menjadi bagian dari rencana paket kebijakan ekonomi tahap XV. Sayangnya paket kebijakan ekonomi tahap I saja yang sudah beranjak dua tahun belum bergigi untuk memutar roda industri.
Penulis: Arief Hermawan
Editor: Suhendra