tirto.id - Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani memberikan dua langkah untuk memberhentikan Setya Novanto (Setnov) dari posisinya sebagai Ketua DPR RI, yakni dengan cara mengundurkan diri dan diberhentikan oleh Majelis Kehormatan Dewan (MKD) DPR.
"MKD bisa memeriksa tentang pelanggaran etika yang sudah semestinya menjatuhkan sanksi pemberhentian dari kursi pimpinan karena dugaan korupsi termasuk kategori pelanggaran berat," kata Ismail di Jakarta, Kamis (20/7/2017).
Namun apabila dua cara itu tidak berhasil, maka Ismail menyarankan kepada KPK untuk melakukan penahanan kepada Ketua Umum Partai Golkar itu, meskipun penahanan hingga menjadi terdakwa belum cukup syarat untuk memberhentikan Setya Novanto.
"Dalam jangka pendek, itu bisa menyelamatkan reputasi DPR yang akan dijalankan oleh pelaksana tugas ketua hingga ada putusan yang 'inkracht'(berkekuatan hukum tetap)," tutur pengajar Hukum Tata Negara UIN Jakarta itu dikutip dari Antara.
Sebelumnya, Ketua DPR Setya Novanto telah ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP.
Dalam keterangan kepada pers Senin (17/7/2017) sore, Ketua KPK Agus Rahardjo mengkonfirmasi bahwa Setya Novanto sebagai tersangka.
"KPK menetapkan saudara SN anggota DPR periode 2009-2014 sebagai tersangka," ujar Ketua KPK Agus Rahardjo di Gedung KPK Jakarta, Senin (17/7/2017).
Dalam kasus proyek e-KTP, KPK menduga Novanto telah menguntungkan diri atau orang lain atau korporasi. Novanto juga diduga menyalahgunakan kewenangan dan jabatan. Novanto diduga ikut mengakibatkan kerugian negara Rp2,3 triliun dari nilai proyek Rp5,9 triliun.
Novanto dijerat melanggar Pasal 3 atau Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Alexander Haryanto