Menuju konten utama

Setahun Pandemi COVID-19, Penanganan Bisa Makin Suram dan Berat

Jika penanganan setahun ini berulang, pandemi COVID-19 di Indonesia akan semakin lama, apalagi masalahnya kini kian kompleks.

Setahun Pandemi COVID-19, Penanganan Bisa Makin Suram dan Berat
Relawan memakai pakaian hazmat dan mengusung poster untuk memperingati Setahun Pandemi COVID-19 di Indonesia saat aksi di Jalan Gatot Subroto, Solo, Jawa Tengah, Selasa (2/3/2021). ANTARA FOTO/Maulana Surya/foc.

tirto.id - Kasus pertama COVID-19 di Indonesia diumumkan pada 2 Maret tahun lalu. Berkaca dari pengalaman satu tahun terakhir, diprediksi penanganan pandemi ke depan akan semakin suram.

Doktor bidang kesehatan masyarakat dari Universitas Columbia Amerika Serikat sekaligus Koordinator LaporCovid19 Irma Hidayana memberikan garis tebal soal bagaimana pemerintah sejak awal lebih mementingkan aspek ekonomi daripada kesehatan. “Tidak mau lockdown dan PSBB ketat itu pertimbangannya ekonomi,” kata Irma melalui sambungan telepon, Selasa (2/3/2021).

Kemudian mengenai krisis data. Sejak kasus pertama diumumkan, hingga kini masalah itu tak juga selesai. “Mau integrasi enggak berhasil-berhasil, perbedaan data provinsi dan nasional juga masih terjadi sampai sekarang, dan data tes PCR berbasis kabupaten/kota juga tak pernah dipublikasikan,” kata Irma.

Data kematian juga bermasalah. LaporCovid19 mencatat hingga 2 Maret 2021 sudah ada 60an ribuan kematian, sementara pemerintah melaporkan 36 ribu.

Data insentif dan santunan kematian kepada para tenaga kesehatan (nakes) juga menurutnya masih kacau.

Di sisi lain, transparansi anggaran COVID-19 juga jadi persoalan. Korupsi bantuan sosial (bansos) adalah contoh yang paling kentara.

Kemudian masalah yang baru-baru ini saja muncul: pengadaan vaksinasi gotong royong melalui penunjukan langsung. Menurutnya, hal tersebut sangat potensial terjadi penyalahgunaan.

Irma mengatakan sejumlah catatan ini yang membuat penanganan pandemi tak berjalan baik. Angka penularan tinggi, kematian--termasuk kematian nakes--juga tinggi dan rumah sakit dalam beberapa bulan lalu bahkan kolaps.

“Masa depannya akan semakin suram. Jika penanganan begini-begini saja akan semakin buruk. Akan lebih banyak fasilitas kesehatan yang kolaps dan makin banyak tenaga kesehatan yang meninggal dan kita menjadi biasa-biasa saja,” kata Irma.

Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan persoalan pandemi di Indonesia juga erat kaitanya dengan politik polarisasi. Risiko pandemi yang sedari awal disuarakan oleh para epidemiolog termasuk dirinya menjadi seolah-olah hanya politis, padahal apa yang disampaikan adalah soal kesehatan masyarakat.

Kritik-kritik berbasis sains di awal masa pandemi malah gencar dijawab pemerintah dengan penyangkalan-penyangkalan seperti menyebut tak ada COVID-19 di Indonesia hingga mengklaim COVID-19 tak bisa bertahan di cuaca panas.

Pada akhirnya respons yang ideal menjadi lebih lambat, kata Dicky. “Saat ini respons nasional kita terutama di strategi mendasar 3T (tracing, testing, treatment) belum memadai. Positivity rate yang selalu di atas 10 persen itu menunjukkan kapasitas 3T tidak memadai, tidak sesuai dengan skala penduduk dan eskalasi pandemi. Dan ini jadi bola salju dan menjadi masalah besar,” kata Dicky kepada reporter Tirto, Selasa.

Jika 3T plus 5M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, serta membatasi mobilisasi dan interaksi) terus saja tak memadai, maka menurutnya itu memperbesar potensi pemburukan pandemi. Sebab pada tahun ini Indonesia akan menghadapi munculnya banyak strain atau varian baru COVID-19.

“Ancaman strain baru ini sangat serius. Tahun 2021 ini tahun lahirnya banyak strain baru karena sudah cukup banyak wilayah yang belum terkendali,” kata dia. “Strain baru ini suatu keniscayaan. Dia punya potensi cepat menular, memperburuk angka kematian termasuk bisa jadi menurunkan angka efikasi vaksin.”

Dicky bilang semua itu harus disampaikan kepada publik agar lebih awas.

Atas indikator-indikator yang sama, epidemiologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Bayu Satria Wiratama menilai target pemerintah virus dapat dikendalikan pada hari kemerdekaan 17 Agustus kelak sulit terealisasi. “Targetnya tidak realistis. Dilihat dari upaya 5M dan 3T di Indonesia juga masih kurang bagus,” kata Bayu melalui keterangan tertulis, Selasa.

Sementara program vaksinasi sendiri menurutnya belum optimal karena masih menemui sejumlah kendala.

Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono mengakui bahwa “kita tidak pernah tahu kapan pandemi ini akan selesai atau mungkin tidak akan pernah selesai.” Dalam acara peringatan satu tahun pandemi, kemarin, dia juga mengakui bahwa tantangan penanganan pandemi akan makin sulit setelah masuknya varian COVID-19 baru di Indonesia.

“Tadi malam saya mendapatkan informasi bahwa tepat satu tahun hari ini kita menemukan mutasi B117 UK mutation di Indonesia. Ditemukan dua kasus. Artinya apa? Artinya kita akan menghadapi pandemi ini dengan tingkat kesulitan yang semakin berat,” ujarnya.

Meski begitu dia mengatakan bukan tak mungkin pandemi akan berubah menjadi endemi, yaitu penyakit yang muncul pada negara atau wilayah tertentu yang spesifik dalam rentang waktu tertentu, biasanya bertahan hingga hitungan tahun. Contohnya cacar air atau malaria. Skala endemi lebih kecil ketimbang pandemi.

Situasi itu menurutnya hanya dapat terwujud asalkan pemerintah mampu memperkuat strategi (3T) sementara masyarakat patuh terhadap protokol kesehatan 5M.

Baca juga artikel terkait COVID-19 atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino