tirto.id - Minggu, 30 Juli 2006, menjadi hari kelabu bagi penduduk desa Qana di Lebanon selatan. Sekitar pukul 1 pagi, mereka diserang bom yang dijatuhkan dari pesawat milik angkatan udara Israel. Serangan itu meluluhlantakkan pemukiman warga.
Data korban segera bergerak. Perkiraan awal, seperti dilaporkan EU Observe, ada 50 warga sipil meninggal dunia. Dan lebih dari 30 orang masih anak-anak.
Beberapa jam setelah serangan, Direktur Eksekutif Human Rights Watch Kenneth Roth mengatakan ada 54 warga sipil meninggal dunia dengan lebih dari separuh adalah anak-anak. Sementara CNN mengutip pernyataan perwakilan PBB di Lebanon Nouhad Mahmoud bahwa lebih dari 60 mayat ditarik dari puing-puing Qana. Pejabat keamanan internal Lebanon mengatakan 37 korban tewas adalah anak-anak.
Rilis Human Right Watch pada 1 Agustus 2006 menyebut serangan udara Qana merenggut nyawa 28 warga sipil.
Sementara data jumlah pasti soal korban jiwa sipil masih simpang siur di tengah kekalutan pemerintah Lebanon dan elemen lainnya untuk mengevakuasi warga Qana. Pada saat yang bersamaan, kecaman dari dunia internasional kepada Israel bertubi-tubi datang.
Hilangnya kehidupan warga sipil, dikatakan oleh Roth, sebagai kegagalan yang berulang untuk membedakan mana pejuang dan mana warga sipil. Dan Israel dituduh telah melakukan kejahatan perang.
Dilansir dari Haaretz, beberapa jam setelah serangan udara Israel di Qana itu, Menteri Pertahanan Israel Amir Peretz masih mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya akan terus melakukan serangan militer terhadap target utama yaitu Hizbullah dalam dua minggu lagi.
Angkatan Udara Israel tak langsung mengakui bahwa serangan pada tengah malam memasuki hari Minggu itu berasal dari mereka. Dalam sebuah konferensi pers pada Minggu malamnya, IAF hanya mengakui serangan pemboman pada pukul 7.30 pagi yang jaraknya 460 meter dari ledakan tengah malam di Qana itu.
Bagaimanapun, tak terbantahkan, penduduk desa Qana menjadi korban sekaligus saksi dari serangan pada dini hari. Beberapa menit setelah banyak warga berhamburan keluar menyelamatkan diri dari pemboman, mereka melihat pesawat-pesawat IAF masih menyerang bangunan di wilayah tersebut sekali lagi.
Menurut seorang pejabat Palang Merah, serangan udara di Qana itu menerjang bangunan tempat tinggal yang menampung para pengungsi.
"Mengingat kejahatan mengerikan ini, suasananya sekarang sangat, sangat, sangat tegang," kata Menteri Kehakiman Lebanon Charles Rizk.
Perdana Menteri Lebanon Fouad Siniora juga menggelorakan kecaman. "Kami berteriak kepada sesama orang Lebanon dan saudara-saudara Arab lainnya dan seluruh dunia untuk berdiri bersatu dalam menghadapi penjahat perang Israel."
Dewan Keamanan dan Sekjen PBB kala itu, Kofi Annan, menyerukan untuk segera menghentikan kekerasan di Lebanon. Sementara reaksi dunia Barat menunjukkan perpecahan. Banyak orang yang menuntut gencatan senjata sesegera mungkin, sementara Amerika Serikat dan Inggris masih menunda untuk mendukung seruan gencatan itu.
Israel kemudian setuju untuk menghentikan serangan udara di Lebanon selatan selama 48 jam untuk menyelidiki serangan tersebut, kata seorang juru bicara Departemen Luar Negeri AS. Israel pada akhirnya mengakui bahwa serangan tengah malam itu berasal dari pasukan udaranya.
"Ini adalah sebuah kesalahan, dan kami akan melakukan penyelidikan penuh," ujar juru bicara pemerintah Israel Miri Eisen menanggapi kejadian itu.
Yang mendasari serangan Pasukan Pertahana Israel (IDF) di Qana adalah keinginan menghentikan serangan Hizbullah yang telah meluncurkan banyak roket ke wilayah Israel utara. Kepala Direktorat Operasi IDF, yang kala itu dijabat oleh Mayjen Gadi Eizenkot, mencatat bahwa anggota Hizbullah menembakkan total 150 roket ke Israel.
Jubir IDF Jacob Dalal menyatakan bahwa Hizbullah dengan sengaja memilih lokasi peluncuran roket di tengah-tengah pemukiman sipil. “[...] karena mereka tahu bahwa hal seperti ini mungkin terjadi," ungkapnya.
Sejak 12 Juli 2006, Perang Lebanon berkobar yang mempertemukan antara Israel melalui Angkatan Pertahanan Israel (IDF) dan Hizbullah yang merupakan sayap paramiliter bersenjata di Lebanon. Serangan udara di Qana ini adalah bagian dari rentetan peristiwa selama perang ini.
Sedangkan The Christian Science Monitor, menyebut dua keluarga besar terbunuh saat sebuah jet israel menjatuhkan dua bom di rumah mereka dan turut menghancurkan rumah-rumah lainnya. Hanya delapan orang berhasil bertahan dari ledakan ganda besar tersebut.
Dua jenis bom dilaporkan The Guardian berjenis sama seperti yang menghancurkan kamp PBB dan menewaskan 4 pengamat PBB di wilayah Khiyam pada pekan sebelumnya (26 Juli 2006). Dari potongan fragmen amunisi yang ditemukan terbaca: GUIDED BOMB BSU 37/B.
Serangan ini adalah yang kedua terjadi di kota tua Qana atau juga disebut Kana. Sebelumnya, pada 18 April 1996, Pasukan Pertahana Israel (IDF) melepaskan peluru artileri di sebuah kompleks PBB dalam aksi perang melawan Hizbullah dengan kode Operasi Anggur Kemarahan.
- Baca juga: Hubungan Gelap Indonesia-Israel
Dari 800 warga sipil Lebanon yang berlindung di kompleks tersebut, 106 terbunuh dan sekitar 116 lainnya cedera. Empat anggota PBB asal Fiji di Lebanon juga terluka parah.
Perang Lebanon 2006 sendiri berakhir pada 14 Agustus. Jumlah korban sipil Lebanon tidak dapat diketahui pasti. Perkiraan berdasarkan data rumah sakit dan kepolisian mencapai 1,123 sampai 1.137 orang tewas dan sekitar 4,409 orang lainnya terluka.
Di pihak Israel, data dari Kementerian Luar Negeri Israel menyebut roket Hizbullah dan mortirnya telah membunuh 44 warga sipil dan 4.262 lainnya terluka selama konflik. Kebanyakan ratusan ribu penduduk Israel di wilayah yang menjadi target sasaran roket-roket Hizbullah telah dievakuasi ke bunker pertahanan anti bom. Human Right Watch mencatat ada 350.000 warga Israel yang berlindung.
Penulis: Tony Firman
Editor: Zen RS